Siasat menyelamatkan bahasa daerah dari ancaman kepunahan menjadi bahan diskusi pada sebuah sore yang cerah di pelataran Kantor Dinas Kearsipan dan Perpustakaan (Diskarpus) Kota Palu, Kelurahan Tondo, Sabtu (2/8/2023).
Adalah Komunitas Seni Lobo (KSL) yang mengambil langkah melahirkan ruang diskusi ini dalam "Bincang Seni". Ini merupakan rangkaian dari kegiatan Festival Sastra Tadulako Notutura yang rencananya berlangsung Oktober nanti.
Bincang seni yang telah memasuki edisi ke-14 ini secara khusus membahas topik "Melihat Regenerasi Bahasa Daerah Melalui Karya Sastra, Sudahkah Genting?".
Diskusi terbuka yang dihadiri sekira 40 orang ini mendapuk Dr. Gazali Lembah, M.Pd dan Neni Muhidin sebagai pembicara.
KSL yang telah berusia satu dekade itu sedari awal pembentukannya menginsafi betul pentingnya kerja-kerja melestarikan karya-karya sastra yang mengusung kearifan lokal, salah satunya dengan menggunakan bahasa daerah.
Oleh karena itu, tak berlebihan jika penyelenggaraan Festival Tadulako Notutura 2023 memilih karya-karya milik TS. Atjad sebagai tema utama. Pemilik nama asli Tjatjo Tuan Sjaichu Al-Idrus itu telah puluhan tahun melestarikan ragam dialek Bahasa Kaili melalui berbagai ragam syair dan cerita pendek.
Harapan di balik penyelenggaraan festival ini, plus pemilihan karya-karya TS. Atjad, agar Bahasa Kaili juga bisa makin dekat jaraknya dengan generasi muda.
Menggali makna bahasa daerah di Tana Kaili
Etnik Kaili memiliki khazanah tradisi lisan yang cukup beragam. Keberagaman tradisi lisan itu disebabkan oleh kekayaan dialek maupun subdialeknya.
Termaktub dalam buku Tata Bahasa Kaili yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, secara garis besar dialek Bahasa Kaili terklasifikasi dalam lima kelompok besar, yaitu dialek Ledo dengan subdialek Doi; dialek Ado dengan subdialek Edo dan Tado; dialek Da'a dengan subdialek Inde, Unde, dan Ende; Ija dengan subdialek Ta'a; serta dialek Rai dengan subdialek Tara.
Belum lagi menyebut dialek Taje, dialek Kori, dialek Njedu, dialek Pendau, dan masih banyak lainnya.
Walaupun memiliki banyak rumpun bahasa, TS. Atjad tetap menyimpan kekhawatiran bahwa kelak ragam dialek Kaili akan makin ditinggalkan oleh para penuturnya. Kecemasan tersebut makin terasa memasuki era polusi teknologi saat ini.
Kepala Balai Bahasa Provinsi Sulteng Dr. Asrif pernah mengungkap lebih gamblang lagi. “21 bahasa daerah lokal yang ada di Sulteng berada dalam posisi yang tidak aman. Dalam artian tidak memiliki stabilitas, lestari, dan tangguh,” ujar Asrif kepada Tutura.Id, Februari lalu.
Oleh karena itu, terbitnya buku-buku semisal Soyo Lei, Penembulu, Tovau Loba, dan Pantun Masyarakat Kaili jadi penting sebagai upaya melestarikan bahasa Kaili melalui karya sastra.
Menurut pegiat literasi Neni Muhidin, senarai kata yang lahir dari bahasa daerah memiliki unsur sastrawi yang lekat dengan makna.
"Bahasa Kaili itu sastra sekali. Karena mengajak kita punya kuriositas yang tidak sekadar kosa kata itu dipakai sebagai percakapan, tetapi sebagai makna," tutur Neni saat tiba giliran memberikan pemaparan kepada para peserta diskusi.
Ambil contoh toponimi alias penamaan tempat di Lembah Palu yang lekat dengan nama-nama vegetasi, tumbuhan, hingga peristiwa monumental terkait bencana alam. Jadi nama-nama tersebut tak sekadar menempel tanpa menyimpan makna.
I Wayan Nitayadnya dkk. dalam buku Perlindungan Tradisi Lisan Etnik Kaili: Aset Nusantara Sebagai Pemerkukuh Karakter Anak Bangsa bahkan mengungkap, istilah Kaili yang menjadi nama etnik Lembah Palu berasal dari nama pohon yang banyak tumbuh di tepian sungai dan Teluk Palu.
Dahulu kala Pohon Kaili menjadi penunjuk arah atau panduan bagi nelayan dan pelaut yang ingin mengarungi Teluk Palu.
Penggunaan Bahasa Kaili sebagai pengantar tradisi sastra lisan juga bisa ditemukan dalam berbagai prosa rakyat, puisi rakyat yang meliputi puisi kepahlawanan, gane (doa) dari adat istiadat, syair-syair, folklor verbal, dan masih banyak lagi.
Dr. Gazali Lembah, selaku tokoh sastra sekaligus akademisi di Universitas Tadulako, berharap Bahasa Kaili makin diperluas penggunaannya dalam ke karya-karya sastra tulis populer.
"Ketika kita sudah menggunakan karya sastra berbahasa daerah. Kita sebenarnya sudah menyelamatkan bahasa daerah. Jika orang membaca itu, maka ia akan bertanya asal usulnya," jelasnya kepada Tutura.Id.
Menarik atensi pembaca generasi muda
Catatan penting dalam sesi diskusi ini adalah upaya membuat karya-karya sastra tulis berbahasa Kaili dapat menjangkau lebih banyak pembaca, wabilkhusus menarik atensi kalangan anak muda.
Neni Muhidin menyebut sebenarnya karya-karya sastra daerah di Sulteng cukup banyak yang menarik. Hanya saja belum secara maksimal dapat menjangkau para pembaca.
Ia mencontohkan sebuah buku bertajuk Lanoni karya Rifai Hadi yang diterbitkan oleh Lingkar Mata pada 2016. Buku fiksi berlatar sejarah tersebut memuat kisah perjalanan sang tokoh utama bernama Lanoni, seorang pejuang dari Dondo, Tolitoli, pada masa pendudukan Jepang.
Mayoritas peserta yang sejak awal takzim mengikuti acara “Bincang Seni” tersebut sontak terkesiap. Mereka mengaku baru mendengar judul buku yang dimaksudkan Neni. Sebuah fenomena nyata yang banyak terjadi sekarang.
Dr. Gazali Lembah mengaku tak kaget. "Jangankan bahasa daerah, bahasa Indonesia (saja) seolah telah ditinggalkan oleh generasi kita,” ujar dosen pengajar di program studi magister Pendidikan Bahasa Indonesia Untad itu.
Salah satu cara memelihara regenerasi para penutur bahasa daerah, khususnya Bahasa Kaili, menurut hemat Dr. Gazali bisa dilakukan dengan formulasi mengabadikan bahasa daerah ke dalam kebiasaan atau kesukaan anak muda sekarang. "Cara mengabadikannya bisa dengan menciptakan puisi maupun nyanyian."
Ketersediaan buku berbahasa daerah di perpustakaan
Saat Tutura.Id menyambangi gedung baru Diskarpus Kota Palu yang beralamatkan di Jalan Sukarno-Hatta, Kelurahan Tondo, deretan buku berbahasa daerah terpajang memenuhi rak, mulai dari kamus, antologi puisi, maupun morfologi tata bahasa daerah.
Songgo, salah seorang pegawai Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Tengah, menjelaskan upaya pelestarian bahasa daerah ini telah dilakukan sejak 2009 dan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.
"Balai bahasa sebagai koordinator turut memantau apa yang dilakukan pemerintah daerah dalam bentuk melakukan penelitian-penelitiaan. Contohnya, menerbitkan berbagai kamus bahasa daerah dan buku penelitian tentang morfologi tata bahasa daerah," jelas Songgo dalam wawancara via telepon (31/8).
bahasa daerah Bahasa Kaili karya sastra bincang seni diskusi literasi Komunitas Seni Lobo Festival Sastra Tadulako Notutura Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kota Palu Balai Bahasa Provinsi Sulteng Tjatjo Tuan Sjaichu