Melihat ulang posisi masyarakat adat dalam Pemilu 2024
Penulis: Robert Dwiantoro | Publikasi: 30 November 2023 - 20:46
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Melihat ulang posisi masyarakat adat dalam Pemilu 2024
Puluhan tokoh organisasi masyarakat adat mengikuti sosialisasi Pemilu 2024 | Foto: Robert Dwiantoro/Tutura.Id

Sejumlah tokoh masyarakat adat yang tersebar di Sigi dan Donggala mengeluhkan kurangnya negara melibatkan organisasi masyarakat adat dalam setiap momen pesta demokrasi.

Hal itu terkuak dalam agenda “Sosialisasi Pemilih pada Segmen Masyarakat Adat dalam Rangka Peningkatan Pemilih pada Pemilu 2024”. Acara diselenggarakan oleh KPU Sulteng di Hotel Santika, Palu, Kamis (30/11/2023).

“Organisasi masyarakat adat dan tokoh adat hanya dipandang sebelah mata. Kami hanya dilihat sebatas pada kegiatan yang sifatnya ritual atau budaya,” ungkap Sekretaris Badan Musyawarah Adat (BMA) Sulteng Adriansyah Lamasitudju.

Adriansyah juga menilai jika selama ini negara melakukan pembiaran terhadap praktik culas para kandidat jelang tahun politik. Adriansyah menyoroti tentang politik uang sebagai salah satu contoh.

“Benar ada slogan tolak politik uang, tapi realitas di lapangan berbeda. Ada pengalaman, orang tua terpaksa menerima uang Rp50 ribu untuk beli obat anaknya yang sakit dari salah satu calon tanpa tahu seperti apa visi misinya. Ini jelas bikin rusak tatanan beradab di tengah masyarakat,” keluhnya.   

Lain hal dengan fakta yang disampaikan oleh Sitti Norma Mardjanu, salah satu pemuka adat di Sulteng. Norma menyebut bahwa siklus dari praktik curang justru tak menghasilkan wakil rakyat yang pro kepada masyarakat adat.

“Saat ini tidak ada satu pun dari wakil rakyat di Sulteng yang lahir dari organisasi masyarakat adat. Meski ada 36 ormas perempuan di Sulteng, tak ada yang notabene berasal dari ormas perempuan apalagi masyarakat adat,” ujarnya.

Padahal menurut Norma, jauh sebelum tatanan negara apalagi politik terbentuk di Indonesia, masyarakat adat telah lebih dahulu punya aturan soal kehidupan sosial, ekonomi, termasuk politik dan pemerintahan.

Beberapa tokoh adat yang hadir juga mempertanyakan posisi mereka jelang Pemilu 2024 hingga Pilkada 2024 mendatang.

Pasalnya, sanksi adat yang selama ini berlaku hanya dipakai kepada mereka yang melanggar norma dan etika, sementara praktik politik uang dan kampanye negatif sejatinya melanggar hal yang sama.

Meski begitu, para pemuka adat ini mengapresiasi langkah KPU Sulteng karena sejak empat pemilu terakhir, baru kali ini segmen masyarakat adat diminta berpartisipasi menaikkan angka pemilih di Pemilu 2024.

Seperti termuat dalam Pasal 1 Undang-Undang (UU) 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, masyarakat hukum adat ialah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.

Melansir situsweb Badan Regitrasi Wilayah Adat (BRWA), terdapat 69 wilayah adat di Sulteng yang saling beririsan dengan daerah administratif tingkat dua, antara lain Palu-Donggala (1), Sigi-Donggala (1), Palu (1), Donggala (6), Sigi (18), Parigi Moutong (8), Poso (22), Tojo Una-Una (4), Banggai (4), dan Morowali (4).

Akademisi Untad, Drs. Muhammad Marzuki, M.Si (depan) memberi masukkan kepada pemuka adat terkait partisipasi dalam Pemilu 2024 | Foto: Robert Dwiantoro/Tutura.Id 

Peran masyarakat adat di Sulteng jelang Pemilu 2024

Drs. Muhammad Marzuki, M.Si, akademisi Universitas Tadulako (Untad) menilai, sedikitnya ada empat problem utama yang dialami masyarakat adat selama ajang pesta demokrasi di Tanah Air.

Pertama, sosialisasi pemilih tak pernah menyasar langsung kelompok atau organisasi masyarakat adat. Sejauh ini, pendidikan pemilu sebatas kalangan umum saja.

Kedua, masyarakat adat sama sekali tak mengenali siapa calon atau wakil yang nantinya akan duduk mengatur kebijakan politik untuk mereka.

Ketiga, visi misi, program, atau rencana kerja para calon malah tidak diketahui oleh kalangan masyarakat adat. Keempat, pelibatan tokoh adat dalam momen politik tidak berjalan maksimal.

“Pemuka adat laki-laki dan perempuan dianggap sebagai simbol kekuatan masyarakat adat. Kehadirannya sanggup mengubah konstelasi di tengah masyarakat. Tak sebatas pada kemenangan, tapi tatanan bermasyarakat,” kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Untad ini.

Marzuki kasih contoh tiga hal soal kekuatan adat untuk konteks Sulteng. Di Sigi, terutama di wilayah Suku Kulawi, bila terjadi pertikaian antarwarga atau gesekan lainnya, para pelaku dan masyarakat akan tunduk serta menyelesaikan masalah bila seorang tokoh mengenakan siga (ikat kepala), salah satu lambang pemuka adat di wilayah Lembah Palu.

Marzuki juga membandingkan kontrasnya momen Pilkada Poso 2005 dan Pilkada Tolitoli 2010.

Awalnya banyak yang menduga pemilihan langsung pertama kali bupati dan wakil bupati Poso tak bakal berjalan mulus. Hal itu ditengarai karena situasi Poso yang belum terlalu stabil usai konflik.

Tapi, menurut Marzuki yang juga terlibat dalam momen itu, dengan adanya pakta integritas di antara pemuka agama dan tokoh adat, ketakutan tersebut pada kenyataannya tidak terjadi.

“Kita justru kebobolan di Tolitoli yang selama ini tak pernah ada gesekan sosial. Tapi, faktanya terjadi peristiwa pembakaran beberapa kantor Panitia Pemilihan Umum di Kota Cengkeh itu,” terangnya.

Staf pengajar di Progam Studi Antropologi ini memberi saran agar masyarakat adat dipandang kuat oleh kandidat.

Masyarakat adat berhak mengundang para calon untuk memaparkan programnya. Gunakan siga dalam pertemuan itu, bikin di baruga, lobo, atau tambi (salah tiga bangunan lokal di Sulteng) dengan dengan konsep molibu (sidang/rapat/musyawarah) mengunakan moali (lesehan memakai tikar).

Anggota KPU Sulteng, Nisbah berpendapat sanksi adat bisa diberikan kepada kandidat apabila sesuai dengan aturan adat | Foto: Robert Dwiantoro/Tutura.Id

Komisioner KPU Sulteng Nisbah menjelaskan, alasan di balik penyelenggaraan kegiatan ini sebagai refleksi atas peran para leluhur Lembah Palu, yang menjadi cikal bakal tatanan bermasyarakat seperti sekarang.

“Suku Kaili dulu punya struktur pemimpin kolektif kolegial bernama Dewan Adat Pitunggota (dewan yang mewakili tujuh penjuru wilayah di Lembah Palu). Mereka ini lah yang atur sanksi, sistem politik, dan pemerintahan di masa itu,” kata Nisbah.

Anggota KPU Sulteng periode 2023-2028 ini menyebut, tokoh adat masa kini seharusnya punya peran yang sama seperti para pendahulu. Apalagi masyarakat adat di Sulteng punya kekuatan meredam perpecahan yang kerap terjadi jelang pemilu.

Nisbah berpendapat, sanksi adat bisa diberlakukan oleh tokoh atau organisasi masyarakat adat kepada para kandidat sepanjang memenuhi unsur pelanggaran hukum adat.

“Seperti politik uang atau kampanye hitam. Kalau terbukti melanggar aturan adat, tokoh adat bisa kasih sanksi,” pungkasnya.

Sekalipun tak diatur dalam regulasi, ia berharap agar pelibatan masyarakat adat dalam pemilu dapat dilanjutkan oleh KPU di 13 kota/kabupaten di Sulteng.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
0
Jatuh cinta
0
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Empat peninggalan sejarah masuknya Islam di Lembah Palu
Empat peninggalan sejarah masuknya Islam di Lembah Palu
Meski terjadi berabad-abad lalu, jejak penyebaran Islam di Lembah Palu, dapat dilihat hingga kini. Jejaknya…
TUTURA.ID - HEY BOSKU: Kritik atas realitas politik hari ini
HEY BOSKU: Kritik atas realitas politik hari ini
Lagu tunggal terbaru PARAPPPA bertajuk "HEY BOSKU" hadir untuk merespons musim kampanye politik yang menciptakan…
TUTURA.ID - Kerentanan perempuan dalam tren kasus narkoba di Sulteng
Kerentanan perempuan dalam tren kasus narkoba di Sulteng
Kasus narkoba di Sulteng meningkat tiap tahun. Tersangkanya tak hanya lelaki, tapi juga kaum hawa.…
TUTURA.ID - Berharap regenerasi politik sejati pada Pemilu 2024
Berharap regenerasi politik sejati pada Pemilu 2024
Pemilu 2024 bisa jadi momen regenerasi politik di Sulteng. Namun bisakah terjadi regenerasi yang sehat?…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng