“Radio Ramayana 87.6 FM, sentralnya dangdut.” Demikian terdengar rekaman suara dari balik sebuah bilik penyiaran. Rekaman suara ini lah yang jadi tagline utama mereka agar mudah diingat publik, terutama bagi pendengar setia.
Dua menit berselang, sebuah lantunan lagu dangdut berbahasa Bugis dengan judul “Toto’e Mapatanttu” diputar. Lagu itu jadi penanda kalau sesi acara telah berakhir, saya melirik jam sudah menunjukkan pukul 14.00 WITA.
Radio Ramayana yang beralamat di Jalan Sarikaya, Palu Barat, boleh dibilang sebagai salah satu radio tertua yang masih aktif mengudara di Sulawesi Tengah, bila melihat sebuah plakat yang tergantung di dinding ruang tunggu.
Dalam plakat berbingkai kayu itu tertera “Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), nomor anggota: 435-XXI/1982, PT. Radio Swara Ramayana, call sign PM 9 Del, yang ditandatangani oleh Siti Hardianti Rukmana selaku ketua umum, Jakarta, Maret 1995.”
Saya memang sengaja berkunjung ke tempat ini untuk mendengar langsung bagaimana geliat penikmat radio di Lembah Palu. Kebetulan beberapa hari sebelumnya bertepatan dengan peringatan Hari Radio Sedunia (13 Februari).
Setelah menunggu pergantian sesi, seorang penyiar yang baru saja meninggalkan bilik siar menghampiri saya. Setelah berkenalan, pria yang karib disapa Faruq itu menceritakan kalau dia baru saja mengampu program “Sandiwara”, salah satu program unggulan Radio Ramayana kala sedang on air.
“Radio Ramayana dulu sebenarnya berlokasi di kompleks pertokoan Jalan Hasanuddin. Sebelum punya tagline sentralnya dangdut, Radio Ramayana lebih banyak putar lagu beraliran pop rock.” ungkapnya kepada Tutura.Id, Selasa (14/2/2023).
Pria bernama Mohammad Hatta ini berkata kalau alasan pergantian aliran lagu-lagu, karena pada masa itu sudah banyak siaran radio memutar lagu serupa.
“Jadilah dipilih lagu dangdut yang menyasar pendengar khusus, seperti pedagang di pasar, sopir angkot, sopir truk, serta pendengar dari kelompok usia diatas 50-an tahun.” kata penyiar 52 tahun itu.
Pria yang juga karib disapa pendengar dengan nama Ambo ini bilang geliat penikmat radio di Palu, secara khusus bagi Radio Ramayana, masih terbilang bagus. Gempuran beragam aplikasi penyedia musik daring populer, sebut saja Spotify atau YouTube, tidak bikin mereka surut.
“Sehari bisa lebih dari seratus yang request lewat telepon, termasuk sesi kirim salam, pemutaran lagu, dan dialog interaktif (seperti program ‘Sandiwara’). Itu baru jumlah pendengar aktif. Belum lagi kalau misalnya setiap penyiar yang bergantian siaran langsung lewat Facebook. Bisa lebih banyak lagi pendengar pasif,” jelasnya.
Pondasi yang menopang kokohnya Radio Ramayana bisa tetap mengudara hingga sekarang tak pelak berasal dari simbiosis mutualisme antara pemilik radio, pendengar, dan pengiklan.
“Contoh pemilik usaha obat herbal yang jadi salah satu pengiklan di sini. Lebih dulu survei ke lapangan (baca: segmen pendengar) sebelum memilih radio mana yang jadi tempat promosi. Katakanlah penjual sayur di Pasar Inpres. Kalau misalnya Radio Ramayana yang disebutkan itu bisa satu poinnya. Bisa bertahan seperti sekarang ini karena Radio Ramayana dikenal luas. Pengiklan jadi percaya untuk promosi di sini terus,” tutur Ambo.
Selain “Sandiwara”yang sering dapat perhatian khusus dari pendengar, ada juga program lainnya, seperti “Kopi Dangdut”, “9 Duta Teratas”, “Musik Daerah Kaili” (MDK), “Musik Daerah Bugis Makassar” (MDBM), dan “Soneta” (Lagu Rhoma Irama). Keragaman program yang disiarkan juga punya magnet tersendiri bagi pendengar setia mereka.
View this post on Instagram
Masih punya pendengar
Fitri Mastura, pemilik MS Radio 98,3 FM, sependapat dengan Mohammad Hatta. Industri radio di Palu masih punya ceruk pendengar. Beragam platform digital juga memungkinkan radio konvensional juga bisa terdengar secara daring.
“Hampir semua mobil pasti punya radio. Belum lagi yang punya smartphone. Dia bisa instal aplikasi radio online supaya bisa dengar siaran radio favoritnya, misal Ramayana dan RRI. Bahkan sejumlah toko yang pernah saya jumpai di Palu, selalu saya lihat pemilik toko staytune mendengar siaran radio, termasuk MS. Radio juga,” ungkap Fitri ketika dihubungi Tutura.Id (14/2).
Dari segi bisnis, karena industri radio hidup dari periklanan, maka pemilik industri radio harus berkolaborasi. Radio harus mendapat kepercayaan dari publik.
“Selama 11 tahun aktif on air, MS Radio punya klien tetap seperti Gramedia, perbankan, hingga instansi pemerintah. Ini pertanda terjadi peningkatan produk penjualan (bisnis) dan terjadi perubahan kebiasaan masyarakat lewat informasi dari klien yang dikemas dengan bagus oleh kami,” lanjut Fitri.
Bagi Fitri, perlu juga kreatif memanfaatkan kemajuan teknologi hingga pemanfaatan media sosial untuk menjangkau masyarakat. Paling penting supaya program yang dikemas bisa diminati dan berdampak.
“MS Radio itu punya alat mixer hibrid dan aplikasi streaming yang bisa dijangkau oleh pendengar yang tinggal di Jakarta sekali pun. Kalau dulu request lagu hanya lewat telepon atau SMS, sekarang bisa lewat WA atau IG.”
Beberapa program siaran radio yang populer dengan tagline “Spreading love and hits” ini, antara lain: “MS Tribute”, “Retro”, “Talkshow Mari Dengarkan Obrolan Seputar Kesehatan” (MADEGOS), dan “VOA Morning”. Selain itu, dalam sejumlah kerjasama dengan klien untuk momen tertentu, MS Radio juga kerap memberikan reward kepada pendengar. Acara semacam ini dilakukan untuk mendekatkan MS Radio dan masyarakat.
View this post on Instagram
Muhammad Ramadhan Tahir, anggota Komisi Penyiaran Informasi Daerah (KPID) Sulawesi Tengah, menyatakan bahwa tidak ada indikator yang bisa menentukan geliat penikmat siaran radio di Sulawesi Tengah.
Apalagi sejak penerapan UU Omnibus Law Tahun 2020, praktis semua bentuk perizinan lembaga penyiaran diterbitkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo).
“Dari 25 lembaga penyiaran khusus radio yang ada di Sulteng, ada beberapa yang punya keluhan sama; mulai kehilangan pendengar sehingga terjadi pergeseran iklan yang berpengaruh dengan pemasukan,”kata Ramadhan saat ditemui Tutura.Id di kantornya, Selasa (14/2).
Sebagai informasi, melansir laman radio station world, terdapat 34 lembaga penyiaran publik dan swasta kategori radio di Sulawesi Tengah.
Koordinator bidang perizinan itu bilang, meski tidak ada statistik resmi apakah perizinan radio meningkat atau menurun yang bisa jadi salah satu rujukan untuk melihat antusias penikmat radio, namun bila melihat sejarah radio sebagai lembaga penyiaran tertua di dunia, sekalipun digempur dengan beragam aplikasi sosial media yang dapat diakses tanpa batasan ruang dan waktu, radio masih terus bertahan hingga kini karena masih punya pendengar setia.
“Seperti Radio Nebula 101 FM dan beberapa radio lainnya, mereka punya komunitas pendengar setia yang bikin mereka terus bertahan sampai sejauh ini,” sambungnya.
Menurut Ramadhan, radio masih punya peran penting dalam kehidupan masyarakat dan punya karakteristik berbeda dengan kebanyakan sosial media.
“Seperti peristiwa bencana alam Padagimo lalu. Radio lebih banyak dibutuhkan dibandingkan medsos untuk berkomunikasi. Radio juga punya sesi dialog interaktif yang bisa jadi sarana mengobrol dua arah,” pungkas Ramadhan.
Kurun 2017-2020, jumlah pendengar radio meningkat di Indonesia hingga 21 persen. Radio juga menjangkau 22,759 Juta orang per hari di 10 kota dengan rerata mendengar sebanyak 120 Menit per hari atau lebih dari 2 jam.
Dalam temuan Nielsen Radio Audience Measurement (2016) di Indonesia, 57 persen dari total pendengar radio berasal dari generasi Z dan millenial atau para konsumen masa depan, 4 dari 10 orang mendengarkan radio lewat ponsel. Hal ini bisa menampik wacana bahwa orang tua lebih banyak mendengarkan radio.