Dua orang pengguna media sosial diamankan polisi, (13/1/2024), lantaran mengirimkan komentar bernada ancaman kepada calon presiden Anies Baswedan melalui akun TikTok.
AWK (23 tahun) dan AN (22 tahun) sama-sama menggunakan akun anonim saat melayangkan ancaman penembakan. Satu contoh lagi bagaimana pengguna yang bersembunyi di balik akun palsu bisa kebablasan dalam mengirimkan komentar di medsos.
Saat ini menggunakan medsos ibarat sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari. Penggunanya berasal dari berbagai latar belakang dan usia.
Berdasarkan laporan “Digital 2023: Indonesia” yang dipublikasikan melalui datareportal.com, ada 167 juta pengguna medsos di Indonesia hingga Januari 2023. Laki-laki jadi pengguna yang sedikit lebih dominan dengan 53,2 persen berbanding 46,8 persen pengguna perempuan.
Platform ini tidak hanya dimanfaatkan sebagai ruang interaksi, namun bisa juga menjadi wadah berekspresi secara bebas. Akses yang mudah akhirnya bikin siapa pun bisa menjadi apa saja yang diinginkan.
Jika merasa persona yang ingin ditampilkan melalui akun medsos jadi kurang bebas lantaran berbagai pertimbangan, ada opsi menggunakan akun anonim alias second account. Jati diri tersembunyikan.
Ini memberikan rasa aman kepada pengguna untuk menjadi sebuah identitas merdeka yang tak dimilikinya dalam dunia nyata.
Anonimitas dalam bermedsos ini kerap disalahgunakan beberapa oknum untuk menyampaikan ujaran kebencian. Pun tak segan mengirim komentar melecehkan, cabul, menyebar fitnah, atau mengancam sekalipun.
Ketika dihubungi oleh Tutura.Id, Kamis, (18/1/2024), I Putu Ardika Yana, salah satu psikolog klinis di Kota Palu, menjelaskan bahwa tendensi tersebut timbul karena adanya tindakan agresi yang terpendam dari pelaku. Tindakan agresi ini kadang dimuntahkan begitu saja tanpa berpikir panjang.
“Jenis orang ini beda-beda. Ada yang nyablak, ada juga yang memendam karena takut menyesal menyakiti orang. Nah, bahayanya ketika orang yang suka memendam ini menemukan tempat untuk meluapkan itu, kadang hal tersebut tidak terkontrol,” jelas Ardi, demikian sapaan akrabnya.
Ardi menjelaskan hal ini terjadi karena beberapa faktor. Misalnya, faktor budaya, kebiasaan-kebiasaan yang terbentuk dalam lingkungan terdekat, dan adanya faktor internal dari individu bersangkutan.
“Biasanya kita kadang ingin menegur seseorang. Karena mempertimbangkan banyak hal, dari status, perasaan orang itu, kitanya juga takut menyesal, maka lebih baik dipendam saja,” kata Ardi menambahkan.
Ketidakmampuan mengelola emosi akhirnya membuat si individu tadi menumpahkannya dengan cara membuat alter ego atau dirinya dalam versi yang ia inginkan. Tujuannya agar bisa meluapkan semua yang ingin diungkapkan secara bebas di dunia maya.
Alasan menggunakan akun anonim, akun palsu, akun kedua, dan beragam istilah lain biasanya untuk meminimalisir rasa takut dan bersalah saat mengungkapkan emosi terhadap orang lain.
Pilihan menggunakan alter ego bikin seseorang jadi lebih leluasa, tidak takut ketahuan, dan merasa kehidupan dunia nyata juga lebih aman.
“Pakai second account itu mereka bisa meluapkan segala perasaan. Kalau misalnya nanti ketahuan, dia bisa menyangkal ke orang lain, bahkan ke dirinya sendiri dengan mengatakan bahwa itu bukan dirinya yang asli,” Ardi menambahkan.
Lantas, bagaimana dengan orang-orang yang menerima ujaran kebencian dari akun-akun model anonim? Apa yang bisa dilakukan?
Pendiri komunitas Sejenak Hening itu menjelaskan, setiap orang yang telah memutuskan untuk menggunakan medsos harus siap mendapatkan respons dari orang lain. Menerima segala konsekuensi yang nanti akan muncul, baik atau buruk.
Semisal muncul komentar buruk, yang bisa dilakukan adalah tidak ambil pusing dengan hal tersebut. Cara lain bisa dengan selalu menjadikan komentar tersebut sebagai bahan introspeksi.
Bisa juga dengan memanfaatkan opsi yang disediakan tiap platform, seperti mematikan fitur komentar dan memblokir akun-akun anonim yang kerap mengirimkan komentar bernada kebencian. Fitur lain yang juga bisa digunakan adalah memfilter kata-kata tertentu agar tak muncul dalam akun kita.
View this post on Instagram
Sebagai seorang pemengaruh alias influencer dan konten kreator, Andri Jamril yang telah memulai kariernya sejak 2016 tak luput dari komentar pedas ala warganet.
Ketika dihubungi melalui fitur pesan langsung di Instagram, ia menyebut biasanya komentar pedas yang diterimanya berisi hujatan terhadap caranya membawakan sebuah konten. Bahkan tak jarang ada komentar menyasar perawakannya. “Mereka serang fisik. Bilangnya saya terlalu lembek,” ungkap Andri.
Tak hanya kolom komentar, dahulu ia kerap kali menerima pesan langsung yang berbau kebencian. Waktu kemudian menempa mentalnya jadi lebih kuat. Andri lebih memilih fokus pada kariernya dan kini lebih legawa menghadapi hal-hal tersebut.
“Kalau dulu gampang sekali baper dengan hal begitu, tapi makin ke sini makin sadar kalau memang begitu sudah hidup. Kadang kita ada yang suka, kadang juga tidak,” katanya bijak.
Apa yang ingin disampaikannya sekarang kepada para haters atau orang yang pernah mengirimkan berbagai komentar pedas? “Terima kasih saja. Kalau sekarang saya lebih fokus ke karier dan tidak perduli lagi dengan omongan netizen. Ha-ha-ha,” jawabnya.
Sebenarnya ada beragam alasan yang melatari seseorang menggunakan akun palsu. Tidak melulu agar bisa melakukan tindakan yang menyakiti atau bahkan untuk aksi kejahatan.
Wulan salah satunya. Perempuan berumur 24 tahun ini mengaku menggunakan akun kedua semata karena ingin merasa lebih bebas saat mengunggah sesuatu, sementara privasi tetap terjaga.
“Kembali ke individunya. Kalau saya jadinya supaya tidak jaim, bisa post apa pun tanpa rasa takut. Lebih privat saja rasanya,” ungkapnya.
Selain itu, menggunakan akun kedua menurutnya bisa menghindarkan dirinya dari tekanan dalam sosial media yang terkadang membuatnya merasa tidak percaya diri melihat postingan orang lain.
Pun demikian, ia mengaku sering kali mengirimkan cuitan misuh-misuh untuk sekadar meluapkan kekesalannya di platform X (dulu Twitter). Hanya saja cuitan tersebut tak ia kirimkan kepada siapa pun.
“Walaupun tidak ada yang membaca, setidaknya kesalku ini sudah saya keluarkan. Jadi semacam diary elektronik. Nanti biasanya saya baca ulang dan jatuhnya jadi healing-ku. Ha-ha-ha.”
media sosial akun anonim akun palsu ujaran kebencian psikologis psikolog influencer konten kreator medsos etika literasi internet Instagram Twitter warganet