Kemarau panjang dari fenomena El Nino telah mengakibatkan beberapa wilayah Sulawesi Tengah (Sulteng) mengalami kekeringan. Alhasil bikin sumber air menyusut, bahkan mengalami kekeringan.
Peristiwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang belakangan marak terjadi tak lepas pula karena faktor kekeringan.
Merujuk data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sulteng, jumlah karhutla mencapai 11 kejadian sejak Agustus-September 2023. Serentetan peristiwa ini cukup membetot atensi berbagai pihak.
Untuk mengatasinya, atau minimal mencegah peristiwa serupa tidak bertambah banyak, PT Poso Energy mengampungkan rencana untuk menerapkan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC). Rencana tersebut bersambut dukungan dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah.
PT Poso Energy yang notabene unit bisnis Kalla Group di bidang energi berkepentingan melakukannya lantaran melihat kondisi debit air Danau Poso yang menyusut.
Danau terdalam ketiga di Indonesia ini jadi tempat PLTA Poso yang notabene dibangun dan dioperasikan oleh PT Poso Energy mencaplok sumber energi.
Menurunnya debit air Danau Poso tentu mengancaman kinerja PLTA Poso memproduksi energi listrik yang disalurkan ke berbagai wilayah, termasuk Sulteng.
"Usulan ini kemarin sudah ada tindak lanjut. Juga sudah jadi pembahasan teman-teman BMKG. Dan disepakati untuk dilakukan Teknologi Modifikasi Cuaca," ungkap Andi Sembiring, Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BPBD) Sulteng, saat bersua Tutura.Id di ruang kerjanya, Rabu (18/10/2023).
Andi menyebut BPBD Sulteng telah berencana menjadikan TMC program mengingat tingginya peristiwa karhutla. Pemprov yang segendang sepenarian dengan rencana tersebut jadinya tak memperumit perkara perizinan.
"Kami juga sudah mengeluarkan SK Siaga Darurat. Itu juga mendukung pelaksanaan untuk permintaan TMC," tambah Andi Sembiring.
Menurut penuturan Moh. Fathan Labanu, prakirawan cuaca di Stasiun Meteorologi Kelas II Mutiara Sis Aljufri Palu, penerapan TMC jika benar dilaksanakan akan jadi yang pertama di Sulteng.
Pun demikian, sebelum tiba masa pelaksanaannya, segala persiapan harus dilakukan secara cermat, mulai dari melihat kondisi atmosfer, labilitas udara, dan potensi pertumbuhan awan di sekitar wilayah yang akan dimodifikasi.
Faktor yang dituliskan terakhir ini penting karena TMC bisa efektif saat wilayah target telah mulai berawan. Tujuannya agar Natrium Klorida alias garam dapur yang disebarkan ke awan benar-benar menjadi umpan reaksi hingga menimbulkan hujan.
Berdasarkan data BMKG Mutiara Palu, atmosfer di Sulteng beberapa hari ini mulai menampakkan pertumbuhan awan yang cukup baik. Bahkan tiga hari belakangan, hujan sudah mengguyur beberapa wilayah, mulai dari Parigi Moutong, Donggala, Sigi, Toli-toli, dan Poso.
Padahal, wilayah Sulteng secara umum seharusnya sudah memasuki musim hujan per akhir Oktober. "Karena kondisi sekarang sedang El Nino, kemungkinan ada hujan, tapi intensitasnya tidak setinggi biasanya," sambung Moh. Fathan.
Soal kapan eksekusi penerapan teknologi yang bisa menurunkan hujan ini dilaksanakan, harus melihat kondisi awan. "Kalau tidak ada awan, tidak bisa juga dilakukan modifikasi. Jadi kondisi yang sudah berawan ini kita masukkan (umpan) supaya dia cepat jadi hujan," urainya sembari menunjukan titik-titik awan yang mulai muncul di langit Sulteng melalui layar monitor radar cuaca.
Hingga saat ini BMKG Sulteng masih terus memantau perkembangan pertumbuhan awan hingga benar-benar berada di wilayah yang ditargetkan untuk dilakukan modifikasi. Perlu trik-trik khusus agar penerapan TMC berlangsung maksimal. Oleh karena itu, akan pendampingan langsung oleh tim pusat.
Rugi bandar jika penerapan TMC tidak sesuai ekspektasi mengingat anggaran yang harus digelontorkan.
Melansir CNN Indonesia (3/1), Badan Riset dan Inovasi Nasional mengungkap biaya operasional melakukan TMC menghabiskan Rp200 juta per hari. Sebagian besar biaya dialokasikan untuk membeli bahan bakar pesawat alias avtur. Sisanya untuk bahan semai awan dan biaya operasional personel.
Tentu saja jumlah tadi belum termasuk studi kelayakan pelaksanaan TMC yang juga menyedot biaya. Jika berkaca apa yang pernah dilakukan Pemprov DKI Jakarta, ongkos studi kelayakan pelaksanaan hujan buatan menghabiskan Rp25 juta per laporan.
musim kemarau kekeringan karhutla hujan buatan Teknologi Modifikasi Cuaca BPBD Sulteng Pemprovo Sulteng BMKG Mutiara Palu PT Poso Energy PLTA Palu Danau Poso