Wahyu (20) mendapati kampung halamannya di Kabupaten Donggala geger dengan peristiwa tersebarnya sebuah video pribadi di Facebook. Video itu memperlihatkan aktivitas salah satu warga di kamar mandi.
Korban adalah seorang ibu rumah tangga. Menurut Wahyu, si ibu menggunakan ponsel yang telah diretas sehingga dapat merekam aktivitasnya di kamar mandi.
Setelah mendapatkan rekaman singkat video tersebut, peretas lantas menggunakannya sebagai senjata untuk memeras korban. Pelaku meminta korban untuk mengirimkan sejumlah uang. Bila tidak, video akan disebarkan.
Lantaran takut videonya tersebar dan menjadi aib, korban akhirnya menuruti permintaan pelaku. Dia terpaksa mengirimkan uang. Sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Merasa posisinya di atas angin, pelaku terus melakukan aksinya memeras korban. Total ada tiga kali pelaku meminta korban mengirimkan uang. Estimasi total ada sekitar Rp10 juta uang korban telah dikirim kepada pelaku.
Akhirnya korban memilih ogah tunduk dengan aksi pemerasan tersebut. Tak bersedia mengirimkan uang lagi. Pelaku kemudian menyebarkan video rekaman sang korban sedang mandi tadi ke media sosial. Warganet memberikan dukungan dengan bersama-sama melaporkan konten tersebut karena melanggar standar komunitas Facebook.
Pun demikian, kejadian tadi begitu membekas. Korban trauma dan enggan diajak bercerita lebih lanjut masalah tersebut kepada orang. Termasuk kepada Wahyu. Selama kasus ini terjadi, korban tak pernah melaporkan kepada pihak berwajib.
"Saya pernah ajak bicara korban soal itu. Jangankan melapor, ba ceritakan saja dia so takut," ujar Wahyu kepada Tutura.Id saat dihubungi via WhatsApp, Rabu (26/7/2023).
Dua orang teman Wahyu lainnya, Nabila dan Wafik Azizah, mendapat kenyataan yang sama dari cerita-cerita kekerasan seksual yang menimpa orang-orang tak jauh dari mereka. Bahkan pada orang-orang keluarga terdekat di sekelilingnya.
Keresahan itu membuat mereka berpikir mencari solusi. Salah satunya dengan membentuk komunitas yang bisa saling berbagi informasi dan memecahkan masalah.
Wahyu bersama Nabila dan Wafik kemudian membentuk komunitas Rapotovea. Berdiri sejak Juni 2023, komunitas ini ingin menjadi wadah perlindungan bagi perempuan dan anak dalam menghadapi masalah-masalah kekerasan seksual di lingkungan sosialnya.
Mencari keadilan bagi korban
Kisah nahas sang ibu yang berujung pemerasan tadi menjadi salah satu alasan Wahyu dkk. menggelar diskusi kelompok terpumpun (focus group discussion) bertajuk “Bagaimana Status Kedudukan Pelaku dan Korban Pada Kasus Revenge Porn (Penyebaran Video Syur Yang Bersifat Mengancam Dan Merugikan)”.
Kegiatan FGD yang dilaksanakan di gedung Aula Perpustakaan Kota Palu, Senin (24/7), menjadi salah satu upaya mencari keadilan bagi korban dalam kasus revenge porn alias konten porno balas dendam.
Pasalnya, Wahyu menyebut kasus revenge porn memiliki status abu-abu di Indonesia. "Kasus ini menjadi ambigu di Indonesia. Ada kemungkinan korban akan jadi pelaku jika videonya tersebar," tutur Wahyu.
Istilah revenge porn merujuk pada perilaku penyebaran konten pornografi berupa foto dan video seseorang sebagai wujud kecemburuan, balas dendam, maupun pengancaman. Awalnya dilakukan oleh orang terdekat, biasanya oleh pasangan, yang memiliki akses untuk mendapatkan atau merekam konten yang dimaksudkan.
Namun, pelaku revenge porn kini tidak hanya bisa dilakukan atau didapatkan oleh orang terdekat. Orang asing juga bisa menjadi pelaku. Caranya dengan meretas ponsel milik korban lalu mencuri semua data-data yang tersimpan dalam ponsel, termasuk konten-konten sangat personal.
Gaby Botilangi dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (YLBH Apik) Sulteng menyebut, revenge porn bukan istilah yang tepat untuk bentuk kekerasan yang dialami korban. Seolah pelaku berhak melakukan pembalasan dendam tersebut yang menguntungkan pelaku untuk melakukan pemerasan.
Pemerasan yang bisa terjadi adalah pelaku meminta sejumlah uang dan yang paling parah adalah sebagai alat untuk mengancam korban melakukan hubungan seksual dengannya.
"Saat kasus revenge pron terjadi dalam hubungan berpacaran, mereka melakukan hubungan seksual entah direkam diam-diam atau lainnya. Istilah revenge porn terkesan seolah seseorang yang dominan berhak melakukan pembalasan dendam itu dalam hubungan," jelas Gaby yang menjadi salah satu pemateri dalam FGD.
Sebagai gantinya, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mengenalkan istilah Non-Consensual Intimate Images Violence (NCII) atau Penyebaran Konten Intim Non-Konsensual.
Menurut Gaby, istilah NCII dinilai lebih inklusi yang berperspektif korban. Sehingga dapat menjadi langkah awal untuk memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai kasus serta menumbuhkan empati terhadap korban.
Pasal karet yang menjebak
NCII merupakan salah satu bentuk Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Biasanya pelaku memanfaatkan konten intim/seksual berupa foto atau video dari korban dengan tujuan mengancam dan mengintimidasi korban agar menuruti kemauan pelaku. Komnas Perempuan mencatat ada 8 kasus KGBO di Sulteng.
Direktur LBH Apik Sulteng Nining yang ikut serta dalam FGD tersebut menyebut, jumlah kasus bisa lebih besar. Hal ini diakibatkan masih ada keengganan dari korban untuk melapor dengan berbagai alasan.
Salah satunya ketakutan korban yang bisa ikut menjadi tersangka, diakibatkan adanya pasal karet yang menjebak. Gaby dalam sesi diskusi itu melanjutkan, di Indonesia status hukum dalam pendampingan kasus KGBO cenderung ambigu.
Dia mengungkapkan catatan LBH Apik Jakarta dalam pendampingan kasus ini. Aparat Penegak Hukum (APH) sering menggunakan UU ITE pasal 27 untuk menangani kasus KGBO. Hal ini dinilainya belum maksimal dan cenderung tidak layak pakai untuk korban kekerasan seksual.
"Pasal 27 ayat 1 pada UU ITE bermuatan melanggar kesusilaan dan Ayat 3 terkait pencemaran nama baik. Kedua pasal ini justru berpotensi mengintimidasi, menghubungkan ekspresi, bahkan mendiskriminasi korban kekerasan seksual. Poin ini biasanya malah digunakan kembali oleh tersangka," jelas Gaby selama diskusi berlangsung.
Pun kasus pidana UU ITE biasanya ditangani oleh unit cyber yang tidak dikhususkan untuk penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan.
Dalam penanganan kasus NCII, Gaby mengungkapkan lebih tepat menggunakan undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). UU TPKS hadir sebagai undang-undang lex specialist yang dapat memberikan perlindungan komprehensif bagi korban tindak pidana kekerasan seksual.
Meskipun demikian, hukum di Indonesia dinilai belum memberi ruang aman untuk perlindungan korban kekerasan seksual. Pasalnya, dalam beberapa kasus KGBO, ada UU 44 tahun 2008 tentang pornografi yang dapat kembali menjerat korban.
Ichan staf YLBH Apik Sulteng membenarkan hal itu. Ia mengatakan dalam UU pornografi, siapa pun yang membuat atau merekam konten pornografi dapat dikenai pidana. Korban yang videonya tersebar akhirnya bisa ikut terseret karena terlibat dalam konten video tersebut.
"Pasal karet ini membuat status hukum pada kasus ini di Indonesia masih buram. Bahwa bisa saja korban kembali dituntut kenapa membuat konten porno, kenapa anda menyimpan, dan mengapa disebar," ungkap Ichan di sela-sela diskusi.
revenge porn konten porno balas dendam NCII KBGO kekerasan berbasis gender perempuan Komunitas Rapotovea focus group discussion diskusi kelompok terpumpun