Suasana lantai atas Kantor Relawan untuk Orang dan Alam (ROA), Sabtu (14/10/2023) siang, tampak hampir penuh.
Ruangan berbentuk persegi yang disulap menjadi kedai kopi itu dihadiri belasan orang selama lebih dari tiga jam.
Semua terlihat memandang ke arah yang sama. Padahal, aktivitas di kedai kopi lazimnya didominasi oleh obrolan dua arah atau lebih dengan topik lepas, sembari menyesap kopi panas bersama kudapan.
Situasi berbeda ini tersaji karena belasan orang yang hadir saat itu sedang takzim mengikuti pelatihan menulis berita feature dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Palu.
Adapun para pengunjung dadakan ini merupakan jurnalis muda lintas media yang tersebari di Sulawesi Tengah.
Meski cuaca sedang panas-panasnya, bahkan cahaya matahari dari ufuk barat merembes ke tengah ruangan melalui celah tirai bambu, antusiasme para pencari berita mengikuti kegiatan ini jelas terlihat. Semilir angin yang berhembus plus sajian es teh dan stik pisang lumayan jadi pelepas dahaga.
Tepat pukul 14.30, seorang pria berperawakan sedang mengambil mikrofon dan berdiri di hadapan 18 jurnalis yang berasal dari Palu, Sigi, Parigi Moutong, dan Luwuk. Sosok yang dimaksud bernama Yardin Hasan, Ketua AJI Kota Palu.
“Kami membuat kegiatan ini karena prihatin dengan keragaman isu atau pemberitaan di Sulteng,” ungkap Yardin. Kegelisahannya kian mencuat usai bertemu sejumlah pejabat Kementerian PUPR beberapa waktu lalu yang menilai berita feature di Sulteng masih minim.
Menurut wartawan Palu Ekspres ini, pewartaan di Sulteng masih berkutat pada topik bergaya straight news, soft news, dan hard news. Jarang ada berita bergaya indepth reporting dan feature.
Pernyataan Yardin di atas tak sepenuhnya keliru. Tapi, perlu ada semacam survei bulanan atau tahunan untuk membuktikan klaim tersebut.
Dalam dunia jurnalistik, straight news memaparkan peristiwa atau fenomena yang sedang berlangsung sesuai kejadiannya tanpa interpretasi.
Beda lagi dengan indepth reporting alias laporan mendalam yang menjelaskan sesuatu atau mengupas lebih dalam di balik sebuah peristiwa.
Sedangkan feature (baca: ficer) mengedepankan gaya bercerita yang khas dalam melaporkan sebuah kejadian. Agar bisa terus memikat, gaya tulisan ini harus menyentuh minat insani (human interest) dan tidak mudah bikin pembaca bosan.
Beberapa orang memadankan feature dengan warita yang dalam KBBI berarti berita (warta) yang bercerita.
“Feature ini tidak gampang basi bagi pembaca alias tak lekang oleh waktu,” ujar Yardin melanjutkan. Ia sembari memaparkan contoh berita feature, kiat-kiat menulis feature, dan pengalaman menulis feature. Sesekali jurnalis senior ini mengumpan para peserta untuk berdialog.
Yardin juga mengingatkan ulang mengenai sosok Goenawan Mohammad dan Pramoedya Ananta Toer, dua penulis legendaris Indonesia yang tulisannya awet menggaet pembaca hingga sekarang.
Sama seperti berita straight dan indepth reporting, lanjut Yardin, menulis feature juga akan bisa dijalani jika punya kesabaran, ketekunan, dan tentu saja rajin menulis atau melakukan reportase.
Tingkat tertinggi karya jurnalistik
Setelah hampir sejam, posisi Yardin digantikan Amran Amier. Pria bertubuh tinggi semampai ini tampil bergaya kasual dan enerjik ketika berbagi pengalaman dengan para wartawan muda.
Amran menjabat Manager Government Relation and Permitt PT Citra Palu Minerals. Dengan kata lain, Amran merupakan penghubung korporat milik Bakrie Grup dengan pemerintah, masyarakat, termasuk media massa di Sulteng.
Namun, bagi keluarga besar AJI Kota Palu, figur Amran tak bisa dipisahkan lantaran pernah menjabat ketua AJI Kota Palu.
Ketika masih bergelut dengan dunia jurnalistik, Amran kerap dilabeli “wartawan konflik” karena rutin mengulik Peristiwa Kerusuhan Poso medio 2000-an.
Amran mengibaratkan berita feature laiknya karya jurnalistik di level paling tinggi di banding lainnya. “Kalau straigth news berada di tingkat paling bawah, maka berita feature tempatnya paling atas,” ujar Amran.
Menurut Amran, hampir semua wartawan menguasai straight news hingga indepth reporting, tetapi belum tentu bisa menulis berita feature.
“Misal kalau ada peristiwa kecelakaan, straight news-nya paling hanya soal kejadiannya. Tetapi, kalau wartawan memaksimalkan panca inderanya, maka berita feature bisa dituliskan,” terang Amran.
Ia mencontohkan sosok Darlis Muhammad, wartawan senior Majalah Tempo. Figur satu ini disebutkannya hampir tidak pernah bersuara saat menghadiri konferensi pers, tapi mampu menghasilkan tulisan berbeda dibandingkan wartawan lain yang menghadiri konpers tersebut.
Hal lain yang juga membedakan straigth news, indepth reporting, dan feature terletak pada pemilihan kata (diksi). Ada taburan unsur sastrawi di sana. Kerap pula memakai perumpamaan, peribahasa, dan semacamnya.
Tak ingin ketinggalan dengan Yardin, Amran menyebut Andrea Hirata sebagai figur yang laik jadi rujukan seputar tulisan bergaya feature.
Menurut Amran, sosok Ikal di Laskar Pelangi tak lain adalah Andrea Hirata dan segudang kisahnya. Bila ingin menulis feature, maka wartawan harus memposisikan dirinya di dalam cerita, menulis rentetan peristiwa, seolah-olah sedang mengajak pembaca masuk ke dalam cerita itu seperti Andrea Hirata.
Berita feature, lanjut Amran, selain tak terbatas oleh waktu atau timeless, juga punya skala pembaca yang lebih luas dari sekadar segmented usia, golongan, bahkan wilayah.
Ia juga meminta wartawan asal Sulteng terus mengasah diri agar punya kecakapan menulis berita bergaya feature yang menembus ruang-ruang pembaca di luar Sulteng. Tak melulu bertahan pada gaya straight news.
Sadar atau tidak, Yardin dan Amran sedang mengingatkan ulang tentang adagium latin kuno berbunyi verba volant scripta manent bermakna yang terucap akan lenyap, yang dituliskan akan abadi.
feature tulisan menulis karya jurnalis wartawan jurnalistik media massa AJI palu sulteng