Suasana hiruk pikuk memenuhi ruangan lantai atas Hotel Astoria, Jalan S. Parman, Palu Timur, Rabu (15/5/2024) malam. Para pengunjung datang menyaksikan acara pembukaan pameran seni “Rasi Batu: Residensi Seribu Megalit” yang diinisiasi Forum Sudutpandang.
Organisasi nirlaba kolektif pekerja seni yang berbasis di Kota Palu ini menampilkan karya dari 16 seniman lintas disiplin yang berasal dari Palu dan beberapa daerah di Indonesia.
Karya-karya yang mereka pajang dalam pameran merupakan hasil riset setelah mengunjungi berbagai situs megalit yang tersebar di Lembah Pekurehua dan Behoa, Kabupaten Poso.
Residensi dan pameran "Rasi Batu" ini dikuratori Rahmadiyah Tria Gayathri dan Taufiqurrahman Kifu. Keduanya juga merupakan pendiri dari Forum Sudutpandang.
Dalam proses risetnya, para seniman dibantu oleh tiga orang pakar dalam menggali dan menggunakan gagasan ihwal megalitikum di kawasan Tampo Lore tersebut, yakni Iksam Djorimi, budayawan dan arkeolog; Neni Muhidin, pegiat literasi dan kebencanaan; dan Ahmad Arief, jurnalis harian Kompas yang berfokus pada jurnalisme kebencanaan.
Pemilihan tajuk "Rasi Batu" ini boleh dibilang sebagai narasi alternatif atas pemujaan batu-batu pada era kiwari macam nikel, emas, dan kerikil yang dijadikan komoditi ekonomi.
Hal yang lantas berseberangan dengan tujuan Forum Sudutpandang yang menganggap peninggalan zaman megalitikum itu adalah bentuk dari jejak hubungan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Jauh dari kepentingan ekonomi politik.
Hasil perkawinan seni dan sejarah dalam ranah seni kontemporer memang mampu memantik imajinasi para penikmatnya. Terbukti saat kaki memasuki ruangan pameran.
Narasi kuratorial terpampang menyambut para pengunjung yang hendak masuk ruangan. Bahwa para seniman dalam acara ini hendak dan mengupayakan untuk merekam sebuah warisan peradaban. Merekam sesuatu yang memiliki soalan tersendiri ketika dihadirkan dan dipresentasikan.
Metodologi ketat yang terus ditekankan agar masa lalu dapat direkonstruksi dengan seakurat dan seobjektif mungkin agaknya dikesampingkan pada karya-karya yang tersaji.
Di sini, seniman mengutak-atik kronologi—mungkin meleburkan fakta dan fiksi—berdasarkan riset dan pengalaman residensi mereka untuk mengundang refleksi.
Pengunjung bisa menikmati ragam karya yang ditampilkan di sini dengan tertib, yakni berjalan mengitari ruangan dari kiri ke kanan atau sebaliknya. Bisa juga langsung menuju ke tengah ruangan, lalu bergerak bebas ke mana saja untuk menikmati karya. Saya memilih opsi kedua.
Lukisan di atas kain yang menjuntai di tengah ruangan langsung membetot perhatian saya. Itu karya Ipeh Nur, alumni Institut Seni Indonesia Yogyakarya jurusan Seni Rupa Murni.
Ipeh menggunakan pewarna alam yang berasal dari lokasi residensi. Mata saya menangkap gambar seperti patung, kalamba, manusia, dan tulisan yang tidak begitu jelas terbaca.
Terpampang dalam deskripsi, karya tersebut berjudul “Buku Langit: Bukit Keabadian” yang mempertanyakan dan membayangkan keabadian di tanah bergerak. Di dalamnya Ipeh memuat catatan pengalaman tubuh serta tafsir subjektifnya. Pun membayangkan leluhur memilih tempat tinggi nan indah menuju alam kekal sebagai konsep kematian, serta perngorbanan dari ancaman bencana.
Sangat logis bila melihat fakta bahwa situs-situs yang ada lebih tinggi di antara hamparan padang rumput yang luas di Lembah Pekurehua dan Lembah Behoa.
Berikutnya kaki saya melangkah menghampiri karya Ririn Wulansari yang berupa sketsa hitam putih. pada salah satu panel yang menempel di dinding.
Jika diperhatikan dengan saksama, seniman lintas media asal Palu ini tampak memadukan interaksi dua generasi berbeda dalam sebuah kesatuan medium. Hanya hitam dan putih saja pembeda paling jelas.
Dwiki Nugroho Mukti yang berdomisili di Surabaya lain lagi. Seniman dan kurator dari Komunitas Serbuk Kayu ini menyajikan kolase gambar bertajuk “Plastikum (Zaman Plastik)”. Isinya potongan-potongan sampah berbahan plastik yang ia pungut di lokasi tempat situs-situs megalit.
Mengapa demikian? Dirinya menggambarkan sampah plastik sebagai warisan peninggalan generasi kiwari yang punya daya rusak alam. Berbanding terbalik dengan megalit. Sederhana dan keren.
Persis di bawah karya Dwiki, ada kumpulan benda dan teks yang berasal dari cerita personal Marianus Nuwa asal Maumere. Judulnya “Bunga dan Kuburan”. Ada refleksi tentang kelahiran dan kematian dalam karya tersebut.
Beberapa seniman juga menampilkan karya berupa audio dan gabungan audio visual yang menyita perhatian pengunjung. Gunakan headphone alias penyuara jemala yang telah disediakan agar bisa lebih maksimal menikmatinya.
Pertama karya Renaldy Lomo bertajuk “Menuruni Pijakan” yang coba bereksperimen menggunakan suara. Personel band Tardigrada dan kelompok hiphop Blurum ini agaknya menggunakan pendekatan budaya notutura alias budaya bertutur khas Suku Kaili. Ia lantas menyambungkannya ke era ketika masyarakat mengenal budaya tulis sebagai medium penciptaan kembali ingatan individu secara komunal.
Albert Rahman Putra asal Solok, Sumatera Barat, menyajikan karya audio visual yang berisi empat fragmen. Narasi di dalamnya memuat keterputusan dan hubungan antara wacana “Negeri Seribu Megalit” dengan situasi di Sulawesi Tengah akhir-akhir ini.
Kukuh Ramadhan yang biasanya lekat dengan karya-karya grafis dan visual kali ini menyuguhkan pula kepada pengunjung untuk ikut merasakan pengalaman audio. Seperti Lomo, karya ciptaan Kukuh ini bersifat interaktif dan bisa diintervensi oleh pengunjung. Setiap hari selama pameran berlangsung karya Kukuh ini juga selalu memberikan pengalaman berbeda.
Selanjutnya beranjak menikmati karya teks Ilham Natsir dari Mamuju, Sulawesi Barat. Ilham dengan latar belakang pendidikan jurnalistik menyajikan kumpulan cerita berdasarkan hasil reportasenya. Kumpulan cerita itu ia tulis “lompat-lompat” alias tidak linear dalam sebuah buku catatan dan beberapa panel kertas berukuran A3.
Syachrinaldy Cante pun nyaris serupa dengan apa yang disajikan Ilham. Namun dirinya menggunakan medium stiker yang saling tumpang-tindih. Isinya narasi dan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab berdasarkan pengalaman risetnya.
Setelahnya ada sajian audio visual dari Fauzan Kurnia Muttaqin. Sineas yang menimba ilmu film dan televisi di Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini coba membawa kita merumuskan kembali konsep hubungan antara masa lampau dengan masa kini. Mediumnya sebuah monitor televisi yang dilengkapi dua output suara berbeda.
Bergeser dari karya Fauzan, terdapat 90 kumpulan tulisan pendek Prashasti Wilujeng Putri dari Jakarta. Karyanya bertajuk “Repertoar untuk Menyusun Kolase”. Isinya berbagai pengalaman ketubuhan selama mengikuti residensi yang tercetak menggunakan mesin tik jadul.
Selepas mengamati semua karya-karya yang dipamerkan di ruangan utama, selanjutnya saya bergeser memasuki ruangan di sebelah yang pintu masuknya berupa tirai hitam. Ada tiga karya seni di sana. Dan ketiganya memantik rasa penasaran, sebab berada di ruang yang minim cahaya.
Karya pertama yang saya hampiri milik Ragil Dwi Putra. Alumni Institut Kesenian Jakarta ini menuangkan karyanya lewat sebuah proyektor. Ditemani suara alam khas perdesaan, kita bisa melihat bentuk-bentuk tekstur batu yang sangat abstrak.
Pada sesi lain, Ragil menyajikan karyanya dalam bentuk lain. Dimulaikan dengan membenturkan kedua batu di tangannya, lalu kemudian dirinya mengajak para pengunjung untuk melingkar kemudian membagi stiker tato bergambar tekstur batu untuk dibubuhkan pada anggota tubuh. Dirinya bermaksud mengajak penonton untuk memaknai bahwa batu adalah bagian dari penanda zaman. Interaktif.
Karya selanjutnya dari M. Rais asal Makassar beda lagi. Lewat seninya yang bertajuk “Kronologi Bayangan Cahaya: Ingatan Masa Depan dan Rencana Masa Lalu”, Rais bermain-main dengan cahaya dan bayangan dari bidak patung yang menyerupai beberapa bentuk megalit.
Terakhir karya Dea Widya. Merujuk deskripsi karyanya, seniman dengan latar belakang arsitek ini hendak membawa kita untuk berimajinasi tentang metafisik ruang. Pengunjung harus memicunya lewat suara melalui sebuah mikrofon agar dapat melihat perubahan pada proyeksi gambar.
Pameran seni “Rasi Batu: Residensi Seribu Megalit” ikut menampilkan karya duo Mutuals dan Fitri Anggraini dalam bentuk performance art.
Dalam pertunjukannya yang berdurasi satu jam, Mutuals menghadirkan dua orang yang saling tatap dan mengintervensi (bentuk, fungsi, makna, dan imajinasi) tubuh secara bergantian.
Sedangkan Fitri yang menghadirkan pertunjukan berjudul “JEDA: Lore Lindu Experience” juga menampilkan dua orang penari. Mereka saling merespons melalui eksplorasi gerak keseharian seperti berjalan, berlari, dan jongkok. Ada jeda sebagai transisi dari gerak satu menuju gerak berikutnya dengan bunyi dari decitan sepatu, dan pukulan tangan.
Mengunjungi pameran seni “Rasi Batu: Residensi Seribu Megalit” tak hanya bisa menikmati hasil pertemuan dan pertukaran gagasan antarseniman yang terlibat, tapi juga memberikan narasi alternatif tentang situs megalit. Pameran gratis ini berlangsung hingga 4 Juni 2024.