Agus Suryaningprang melakoni seni tari lebih dari 40 tahun
Penulis: Robert Dwiantoro | Publikasi: 17 September 2023 - 20:30
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Agus Suryaningprang melakoni seni tari lebih dari 40 tahun
Agus Suryaningprang (60), koreografer dan pendiri Sanggar Seni Maradika Palu (Foto: Robert Dwiantoro/Tutura.Id)

Sekelompok remaja terlihat berlenggok-lenggok di sebuah taman yang berada di kompleks Museum Negeri Sulawesi Tengah, Jalan Kemiri, Palu Barat, pada suatu sore nan cerah, pertengahan pekan lalu.

Belasan putra-putri ini antusias menirukan gerak tari dari Sang Koreografer yang memandu mereka. Tanpa tanda komando, mereka berinisiatif memeragakan gerak yang diajarkan. Ada pula yang sedikit terlihat kaku, tetapi berusaha menirukan gerakan itu berulang kali.

Meski keringat membasahi wajah, tak ada raut yang menampilkan aura kelelahan. Padahal mentari perlahan bergerak menuju peraduannya di ufuk barat. Mereka juga tampak tersenyum. Sesekali terdengar gelak tawa seperti tak ada beban.

Sang Koreografer cermat melihat situasi agar anak didiknya tetap semangat. Ia bertepuk tangan dan menyoraki anak didiknya yang berhasil menirukan gerakannya dengan akurat.

Bila keliru, ia mengulang kembali koreografinya tanpa mengeluh. Tak ada suara teriakan yang lazim terdengar dari mulut seorang pelatih kepada juniornya.

Sosok penata tari yang dimaksud adalah Agus Suryaningprang (60). Sementara belasan remaja yang dilatihnya merupakan anggota Sanggar Seni Maradika Palu.

“Boleh menunggu sebentar? Soalnya ini hari pertama kami latihan untuk pementasan akhir September nanti,” ujar Agus kala menyambut kedatangan Tutura.Id, Rabu (13/9/2023).

Sanggar Seni Maradhika Palu dipilih oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Museum Negeri Provinsi Sulawesi Tengah untuk tampil dalam agenda penyambutan ribuan tamu yang berasal dari seluruh Indonesia.  

Sanggar Seni Maradhika akan menampilkan tarian penyambutan dalan event Parade Budaya 2023 yang bakal diselenggarakan di Museum Negeri Sulteng pada 27 September 2023 mendatang.

Usai melatih anak didiknya menari dan menunaikan salat magrib, Tutura.Id berbincang dengan Agus selama hampir satu jam. “Tadi itu saya lagi ajarkan koreografi Tari Petomunaka,” ungkap Agus membuka obrolan kembali yang sempat jeda.

Tari Petomunaka jadi salah satu yang dikreasikan Agus selama melakoni dunia tari lebih dari 40 tahun. Maknanya menyambut atau menjemput tamu.

Tari berjumlah delapan gerak berbeda ini tidak murni dari diciptakan oleh Agus. Pasalnya ia mengombinasikan beberapa gerak dari tarian dan irama Suku Kaili, Pamona, dan Saluan. Ini sebagai lambang keragaman tari-tarian dari wilayah Sulteng ketika menyambut tamu dari luar.

Agus Suryaningprang kala melatih perempuan penari (Foto: Robert Dwiantoro/Tutura.Id)

Awal menekuni seni tari

Pria kelahiran tahun 1962 ini menghabiskan lebih dari separuh umurnya dalam dunia seni atau selalu bersentuhan dengan kesenian.

Sebelum menjadi seorang koreografer, ayah dua anak ini lebih dulu menjajal seni peran. “Semasa berkuliah, saya awalnya bergelut di teater bersama almarhum (Pak Pasaulolo dan Pak Malindu),” kenang Agus.

Selama menyelami dunia teater, Agus kerap berlatih di Gedung Olahraga dan Seni (Golni) Palu. Di Golni, rupanya juga dijadikan tempat latihan oleh almarhum Hasan M. Bahasyuan, maestro seni asal Parigi Moutong.

Karena sering melihat latihan maupun pertunjukan seni tari yang diajarkan oleh almarhum, bikin Agus tertantang untuk menekuni seni tari.

“Sosok almarhum (Hasan Bahasyuan, red) sangat menginspirasi saya menekuni dunia tari. Sementara pemberian nama sanggar seni ini lahir dari Pak Pasaulolo dan Pak Malindu,” tuturnya.

Meski lebih dulu menjajal dunia teater, Agus mengaku bahwa cikal bakal Sanggar Seni Maradhika Palu telah ada sejak ia masih duduk dibangku sekolah menengah atas, menjelang tahun 1980.

Walau pun sudah bersentuhan dengan seni olah tubuh sedari remaja, Agus yang kala itu masih berstatus pelajar kelas III SMPP 57—sekarang Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 4 Palu—belum menekuninya dengan serius.

Pertemuannya dengan Rein Puragombo, salah satu penata tari legendaris asal Poso, turut menginsipirasi dirinya untuk kian serius mengambil profesi koreografer.

Sekitar tahun 1985, usai lulus dari Universitas Tadulako, Agus mengikuti seleksi penerimaan calon pegawai negeri sipil di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sulteng.

Agus lalu ditempatkan di Kolonodale—dahulu masuk wilayah daerah tingkat II (Dati II) Kabupaten Poso—sekarang beralih jadi pusat pemerintahan Kabupaten Morowali Utara.

“Kebetulan waktu itu ada pelatihan tari untuk guru-guru, ditunjuklah saya sebagai salah satu pelatih karena menurut beliau (Rein Puragombo, red) saya dilihat aktif menjadi pelatih senam,” ujarnya.

Sekalipun baru menyeriusi koreografi kala berstatus PNS, Agus sebenarnya pernah diminta untuk menggarap sebuah tari kreasi dalamajang  akbar bertajuk “Pertemuan Ikatan Pencak Silat se-Indonesia Timur” awal tahun 1980.  

Bersama Sanggar Seni Maradhika, Agus menciptakan satu tari bernama Tari Paganisi Roso. Tari kreasi ini bermakna saling berpegangan erat secara bersama-sama. Tari Paganisi Roso melibatkan sekitar 150 penari. Tari ini bahkan menjadi koreografi pertama Agus selama di dunia tari, bahkan turut melambungkan minat orang-orang bergabung di Sanggar Seni Maradika.

Agus sedang mengajarkan beberapa gerakan tari untuk laki-laki penari (Foto: Robert Dwiantoro/Tutura.Id)

Tantangan dunia tari hari ini

Menurut Agus, selama membangun Sanggar Seni Maradhika, ia kerap mendapat tantangan. Salah satunya sokongan dana untuk sebuah acara pementasan. Ia bilang, jika tak ada acara yang membutuhkan jasa penampilan tari dari Sanggar Seni Maradhika, maka ia berusaha mencari ceruk pendanaan lain.

Selain mendapat cuan dari event, Agus juga acapkali bersentuhan dengan seni tarik suara. Ia berulangkali menjadi bintang tamu hingga mengikuti lomba menyanyi yang diselenggarakan oleh Radio Republik Indonesia (RRI) Palu.

Jenis suara bass yang dimilikinya terkadang bikin orang-orang tertarik meminta Agus menjadi pengisi suara dalam acara hiburan di pesta pernikahan. Bahkan, Agus kerap dipanggil untuk menjadi master of ceremony (MC) dalam acara resepsi pernikahan.

Karena dikenal hingga ke level akar rumput, tak jarang anggota Sanggar Seni Maradika ikut terlibat. “Banyak kali tarian dari Maradhika ikut kami tampilkan di pesta perkawinan. Dari situ ada pemasukan sedikit,” ungkapnya berkelakar.

Agus hanya mengambil peluang pendanaan dari acara kecil semacam itu untuk menghidupkan Sanggar Seni Maradika.

Apalagi Agus tak memungut sepeser pun uang dari generasi muda yang ingin menekuni seni tari dan menjadi anggota Sanggar Seni Maradhika. Bahkan, para orang tua yang menitipkan anaknya untuk dibina Sanggar Seni Maradika, acapkali menolak bila Agus memberikan uang saku kepada anak-anak mereka.

Alasannya, dengan mengikuti kegiatan positif dan menempa minat bakat generasi muda, itu sudah lebih dari cukup. Tetapi Agus beralasan, ada jasa dan waktu yang bernilai dengan uang dari penampilan mereka bersama Sanggar Seni Maradhika. Lagi pula, ada pihak yang bersedia merogoh kocek lebih dalam untuk membayar penampilan mereka.

Tantangan lain yang dihadapi oleh Agus ketika mengampu Sanggar Seni Maradhika adalah persoalan tata rias dan busana. Bagi seorang penari, tampilan luar dalam bentuk riasan dan busana menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan dalam dunia tari.

Awal membangun sanggar seni, Agus hanya mengandalkan keterampilan secara autodidak. Untuk meningkatkan skill dalam dua bidang ini, Agus menjalani proses magang di Natya Lakshita Dance School, sekolah tari yang didirikan oleh Didik Hadiprayitno atau biasa dikenal dengan nama Didik Nini Thowok, seorang maestro tari asal Yogyakarta.

Lambat laun sumber pemasukkan pribadi Agus maupun Sanggar Seni Maradhika juga berasal dari permintaan penataan busana hingga tata rias penari. Tak jarang ada permintaan dari keluarga kelas atas untuk sekadar menata busana dan riasan pengantin.

Selain tantangan dari sisi pendanaan, tantangan yang sering didengar oleh Agus adalah stigmatisasi dari sebagian orang.

Stigmatisasi itu berupa pelabelan ejekan bencong kepada penari berjenis kelamin laki-laki. “Pernah dengar tapi tidak secara langsung. Hanya dari mulut ke mulut sesama pegiat seni tari dan komunitas yang bergerak di isu kesenian,” sanggahnya.

Meski tidak ada penelitian yang spesifik tentang itu, tetapi dalam kacamata Agus, Sanggar Seni Maradhika sering keteteran bila membutuhkan penari laki-laki. Untuk menghilangkan stigmatisasi itu, Agus selalu menciptakan gerak tari yang perbedaannya cukup signifikan antara laki-laki dan perempuan.

Gerak tari seorang laki-laki lebih cenderung menampilkan sisi kewibawaan dan maskulinitas, sedangkan perempuan diatur agar menjadi lebih luwes. Ketika dua koreografi ini berkalibrasi, akan ada kreasi yang menawan, tanpa ada kesan meninggalkan identitas gender yang dimiliki.

Meski tak mudah menghapus stigma itu, tetapi hingga kini masih banyak laik-laki penari di Sanggar Seni Maradhika. Saban tahun setiap ada perekrutan, selalu ada remaja putra yang ikut mendaftar.

Dua penghargaan sebagai praktisi seni dari Gubernur Longki Djanggola dan Wali Kota Hadianto Rasyid (Foto: Agus Suryaningprang/dokumentasi pribadi)

Melahirkan karya dan penerus

Selama lebih dari empat dekade, Agus tercatat telah melintas di pelbagai seni. Mulai dari seni olah vokal, olah peran, hingga olah tubuh.

Menariknya, dari semua grup yang pernah ia bentuk, dari grup penyanyi hingga sanggar seni, semuanya memuat kata maradika. “Kalau bahasa Kaili, maradika berarti golongan raja atau bangsawan. Tetapi, menurut Pak Pasaulolo dan Pak Malindu waktu itu, maradika bermakna sebagai mamala radika alias bisa ditampilkan, dipentaskan, atau dipertunjukkan,” terangnya sembari tersenyum.

Pemberian nama itu nampak masuk akal. Pasalnya, semua aktifitas seni yang dijalani Agus selama ini mewujudkan sebuah makna mamala radika sebagaimana perspektif Hasan Bahasyuan.

Saat masih menekuni seni tarik suara dalam grup vokal Maradhika, Agus pernah menciptakan sebuah lagu berjudul “Nipalaisi”. Lagu ini cukup berkesan bagi Agus karena pada jaman itu lagu bergenre pop daerah lagi ramai digandrungi orang. Bersaing dengan keroncong.

Masriyani Sukri, salah satu penyanyi kenamaan asal Sulteng, bahkan sering melantunkan lagu yang bermakna momen perpisahan yang tidak diinginkan oleh sepasang kekasih ini.

Selain lagu “Nipalaisi”, tarian Paganisi Roso, dan Petomunaka, Agus juga telah menelurkan belasan lagu pop daerah dan lebih dari 30 kreasi tari. Hanya saja, Agus mengaku punya kelemahan jika ditanyakan perihal hasil koreografinya.

“Saya tidak pernah dokumentasikan tiap tarian yang saya ciptakan. Akhirnya saya lupa, apalagi umur makin tua. Tetapi, kalau lihat foto dari arsip lama atau melihat pertunjukkan tari, saya bisa tahu apa nama tariannya,” jelasnya.

Tak hanya karya berupa lagu dan tarian, rupanya Agus telah menciptakan bakat koreografi dari beberapa mantan anak asuhannya di Sanggar Seni Maradhika.

Pria yang karib dengan panggilan Kak Agus dan Ayah dari junior dan anggota Sanggar Seni Maradhika generasi paling termuda menyebut, sebagian besar anak didiknya saat ini merupakan anak kandung dari generasi pertama Sanggar Seni Maradika.

Generasi pertama Sanggar Seni Maradhika, ada yang mengikuti jejaknya sebagai koreografer dan mendirikan sanggar seni masing-masing. Mereka tersebar di Palu, Donggala, Sigi, dan Poso.

Agus juga berulang kali mendapat penghargaan dari level lokal hingga provinsi. Pada tahun 2014, Gubernur Longky Djanggola mengganjar Agus sebagai penata tari terbaik tingkat provinsi. Sementara Wali Kota Hadianto Rasyid memberinya penghargaan sebagai Maestro Seni di Sulteng pada 27 September 2021.

Teranyar, Agus bersama sembilan orang seniman dan budayawan dari Tana Kaili diberi apresiasi oleh penyelenggara Festival Tangga Banggo (FTB) ke-IV, pada 8 September 2023 lalu.

 
 
 
 
 
Lihat postingan ini di Instagram
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Sebuah kiriman dibagikan oleh Tutura.Id (@tutura.id)

Selain menelurkan karya dan penerus, Agus juga punya kebanggaan tersendiri karena kedua anaknya, Febrina Hidayani Agindra dan Agri Dwiyanto Sentanu, mengikuti jejaknya di ranah seni dan kreatif.

Anak pertamanya, Febrina pernah tampil sebagai pemenang di ajang pageant Puteri Pariwisata Indonesia tingkat Provinsi Sulteng tahun 2012. Setahun berselang, tampil di ajang serupa tingkat nasional mewakili Sulteng. Di laman linkedin miliknya, alumni Fakultas Hukum Untad ini mengisi profilnya sebagai experienced choreographer.

Sementara anak keduanya, Agri Sentanu saat ini menjadi personel Prince Of Mercy (POM), band asal Palu yang membawakan genre musik pop punk. Agri mengisi posisi sebagai bassis. Agri juga hingga saat ini tercatat sebagai ketua umum Gerakan Ekonomi Kreatif (Gekraf) Palu.

Saat ini, Agus tengah mempersiapkan tiga hal. Ia akan menyiapkan tata busana untuk perwakilan Sulteng yang akan tampil di Thailand, penampilan Sanggar Seni Maradika pada 25 September 2023 di Museum Negeri Sulteng, dan parade tari di FDP 2023 di Tentena.

“Saya tidak muluk-muluk. Semoga junior dan anggota Sanggar Seni Maradhika nantinya terus mengembangkan diri dan melestarikan budaya daerah masing-masing, secara khusus di seni tari,” pungkasnya.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
6
Jatuh cinta
0
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Narsisisme politik penghasil sampah visual
Narsisisme politik penghasil sampah visual
Momen tahun politik kini makin identik dengan sampah visual. Penyebabnya lantaran pemasangan alat peraga kampanye…
TUTURA.ID - Menyaksikan tarian balia dan momen trans di Kumbasa
Menyaksikan tarian balia dan momen trans di Kumbasa
Tubuh perempuan itu gemetar hebat, matanya melotot, dan suaranya jadi berat. Satu momen yang saya…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng