Suku Kaili yang mendiami Sulawesi Tengah memiliki banyak warisan budaya, terutama yang bentuknya tradisi lisan, seperti dadendate, vaino, kayori, dan rego. Menambah khazanah kesenian di daerah ini.
Pun demikian, mencari generasi penerus yang bersedia menjaga, merawat, dan melestarikan aneka bentuk tradisi tadi agar tak hilang ditelan zaman bukan pekerjaan gampang.
Alhasil banyak produk kesenian tradisional warisan leluhur yang hanya tersisa cerita karena tak memiliki penerus. Semata mengandalkan rombongan pemain atau pelaku yang berasal dari generasi terdahulu jelas punya batas. Tiba masa ketika mereka mangkat, tak ada lagi yang bisa melanjutkan.
Kelompok seniman yang menamai diri mereka Komunitas Seni Tadulako—Yayasan Tadulakota tampaknya menyadari hal tersebut. Oleh karena itu, mereka berupaya terus menjaga dan memperkenalkan warisan budaya lisan di Tanah Kaili kepada generasi muda agar tak lekas punah.
Salah satunya dengan menggelar berbagai panggung kesenian, termasuk acara pentas seni "Merangkai Kearifan Lisan Bumi Tadulako" yang berlangsung di auditorium Museum Provinsi Sulawesi Tengah, Jalan Kemiri, Kelurahan Kamonji, Kecamatan Palu Barat, Sabtu (31/8/2024) malam.
Acara ini mendapat sokongan penuh oleh Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Hasil dari proses pengayaan selama beberapa pekan sebelumnya dalam bentuk lokakarya dari bengkel kesusastraan berbasis tradisi lisan ditampilkan dalam acara ini. Nosavadaka Undercover, Terapi Majelis Kopi, Lentera Silolangi, dan Kelompok Notesa jadi penampil di atas panggung.
Pertunjukan tampak begitu segar karena semua penampil membawa kebaruan dalam bentuk terjemahan-terjemahan tradisi lisan.
Kelompok Notesa, misalnya, memainkan pertunjukan "Tesa Notesa" yang berangkat dari spirit dadendate.
Walaupun penyajian laiknya dadendate, tapi lantunan syair yang dinyanyikan menggunakan bahasa Indonesia. Musik pengiringnya yang biasa menggunakan kecapi, gimba kodi, mbasi-mbasi, yori, dan pare’e digantikan oleh instrumen musik modern.
Penonton yang berasal dari kalangan remaja kekinian jadi bisa lebih menikmati pertunjukan tersebut karena memahami makna dari syair yang disampaikan. Pertunjukan yang berlangsung jadi terasa lebih hidup.
Bentuk kesenian yang mengandalkan improvisasi para senimannya dalam melantunkan syair dengan spontan ini berbalas tepuk tangan dan entakan kaki para penonton. Pertanda bahwa mereka ikut menikmati pertunjukan yang disajikan.
Hapri Ika Poigi, Ketua Dewan Kesenian Sulawesi Tengah sekaligus sebagai pengampu dalam proses pengayaan penampil di bengkel sastra seni pertunjukan menuturkan, tradisi lisan dengan pendekatan teks ini bisa dihadirkan dalam beberapa bahasa. Bahkan tak menutup kemungkinan disajikan dalam bahasa Inggris sebagai upaya memperkenalkannya kepada dunia internasional.
Namun, Hapri juga menyadari kondisi tradisi lisan yang ada di Sulawesi Tengah, khususnya Suku Kaili, yang mulai terancam dan cenderung diam di tempat.
Bahkan saat ditemui Tutura.Id, awal tahun lalu, Kepala Balai Bahasa Provinsi Sulteng Dr. Asrif mengungkapkan semua bahasa daerah lokal di Sulteng memiliki kencederungan ditinggalkan.
“21 bahasa daerah lokal yang ada di Sulteng berada dalam posisi yang tidak aman. Dalam artian tidak memiliki stabilitas, lestari, dan tangguh,” ujar Asrif kala itu.
Maka terasa wajar jika Hapri berharap ada upaya bersama dan saling berbagi tugas. Pemerintah bisa ambil peran struktural yang hadir sebagai fasilitator, sementara komunitas-komunitas ambil bagian dalam mengeksekusinya.
Masih banyak kekhawatiran akan keberlangsungan tradisi-tradisi lisan di masa depan. Bukan hanya lantaran minim regenerasi, tapi juga akibat kurangnya pendampingan dan peluang yang cukup untuk menerjemahkannya ke dalam bentuk-bentuk praktik yang konkret.
kesenian tradisional tradisi lisan Suku Kaili komunitas seni Yayasan Tadulakota dadendate kayori vaino rego Dewan Kesenian Sulawesi Tengah Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek