Setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa, tiba saatnya merayakan Idulfitri. Hari Kemenangan.
Bermaaf-maafan jadi salah satu bentuk perayaan sekaligus pengingat diri bahwa zahirnya manusia tak luput dari khilaf dan dosa.
Tradisi yang juga sering kita lihat saban lebaran adalah melakukan ziarah alias nyekar ke makam sanak saudara.
Biasanya para anggota keluarga akan datang setelah pelaksanaan Salat Ied, entah pagi atau sore.
Merawat tradisi ini bukan hanya untuk mendoakan keselamatan bagi anggota keluarga yang lebih dahulu wafat, tapi juga jadi pengingat tentang kepastian ajal yang akan menjemput.
Dengan begitu sisa hidup bisa diisi dengan berbuat amalan kebajikan sebagai bekal menuju akhirat.
Beberapa literatur mengungkap bahwa tradisi nyekar di Nusantara diperkenalkan oleh Wali Songo, tokoh-tokoh penyebar Islam di Pulau Jawa pada abad ke-14.
Kebiasaan yang konon sudah berlangsung sejak zaman Hindu-Buddha itu lantas diadaptasi sesuai ketentuan Islam.
Praktik ini yang kemudian berlangsung turun-temurun hingga menjadi tradisi. Jumlah orang yang ziarah atau nyekar biasanya makin bertambah menjelang Ramadan dan saat hari raya Idulfitri atau Iduladha.
Ramainya kunjungan ke makam akhirnya jadi semacam tempat untuk coba mencari peruntungan, termasuk di Palu yang punya beberapa titik Tempat Pemakaman Umum (TPU).
Beberapa profesi itu mulai dari penjual kembang kubur atau bunga tabur, pembaca doa, hingga tukang bersih-bersih.
Sabtu (22/4/2023) siang, bertepatan dengan perayaan hari pertama Idulfitri sesuai ketetapan pemerintah, matahari bersinar terik. Kulit tersengat panas yang seolah menembus tulang. Stasiun BMKG Mutiara Palu mencatat angkanya sekitar 35 derajat Celcius.
Namun, panasnya suhu tak mengurangi semangat Ibu Sri dan kedua anaknya menjajakan bunga dan air di pinggir jalan beraspal tepat di depan TPU Talise, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu.
Mengenakan daster warna oranye, Bu Sri duduk santai memotong daun pandan di bawah pondokan jualannya yang beratapkan seng. Dinding yang jadi pembatas di belakang pondokan itu sama terbuat dari seng.
Sebuah meja papan di depannya memajang bunga-bunga yang dimasukkan dalam kantong kresek. Isinya daun pandan yang sudah dipotong kecil-kecil dan bunga kertas alias bugenvil. Terdapat pula botol-botol plastik ukuran 1,5 liter berisi air.
“Saya sudah mulai jadi penjual bunga dengan air untuk orang yang ingin ziarah sekitar 20 tahun. Saya pertama yang bajual di sini. Awalnya harganya Rp2 ribu. Setelah itu naik jadi Rp5 ribu. Nah, sekarang mentok Rp10 ribu,” ungkap Bu Sri.
Bu Sri mengaku profesi ini hanya sampingan. Sehari-hari ia mengelola pupuk kompos dan menjahit pakaian.
Hari saat kami datang, ia bilang sudah mengantongi pemasukan Rp400 ribu. Pun demikian, ia mengaku belum balik modal sebab harus merogoh kocek Rp500 ribu untuk bahan-bahan dagangan hari itu.
Pasalnya bunga dan daun pandan yang dijualnya bukan dari hasil menanam sendiri, tapi juga membeli dari pedagang bunga.
Belum lagi persaingan dengan sesama penjual bunga tabur lain di sekitar lokasi TPU Talise yang bikin Bu Sri agak kecewa. Pasalnya mereka menawarkan paket harga lebih murah.
“Daun pandan ini saya beli. Jadi masih bagus, masih harum. Istilahnya ada rupa, ada harga. Karena prinsipku orang ini hanya membeli satu kali saja. Makanya kita juga harus menjual yang terbaik. Mungkin karena orang berpikirnya hanya bunga, jadi beli yang lebih murah saja. Syukurnya rezeki Tuhan yang atur. Jadi walaupun begitu, ada juga laku jualanku,” pungkasnya.
Ketika beranjak ke TPU Pogego yang berlokasi di Jalan Datu Adam, Palu Barat, kami menemui seorang laki-laki paruh baya yang akrab dengan sapaan Pak Aden.
Mengenakan setelan baju koko putih dan peci warna senada, celana ngatung berbahan kargo, juga tak lupa menyampirkan tas selempang kecil di bahu, Pak Aden yang asalnya dari Jember hadir menawarkan jasa memanjatkan doa.
Ia biasanya duduk di sebelah kiri pintu masuk TPU Pogego menunggu peziarah yang ingin memanfaatkan jasanya. Aktivitas tersebut dilakoninya hingga tujuh hari setelah lebaran.
“Saya ini bantu-bantu peziarah saja. Siapa tahu mereka butuh seseorang yang memimpin doa untuk keluarga mereka. Karena biasanya orang ziarah itu kadang hanya datang siram dan tabur bunga. Mereka tidak tahu doa-doa apa saja yang perlu dibacakan. Jadi saya biasanya menawarkan diri. Kalau ada teman atau yang sudah kenal saya, biasanya mereka langsung menghubungi saya,” jelas Pak Aden.
Tak jauh berbeda dengan Bu Sri, menjadi pendoa di pemakaman juga bukan profesi utama Pak Aden. Sehari-hari ia bekerja serabutan di bidang pertukangan. Terkadang juga menjadi imam masjid di huntara.
Menjadi pendoa di pekuburan sekadar untuk mengisi waktu luang sekaligus membantu para peziarah. Bayarannya pun tanpa patokan. Sesuai keikhlasan.
“Kalau dibayar syukur, kalau tidak juga syukur. Biasanya lumayan untuk hasil yang saya dapat,” tambah Pak Aden tanpa merinci besaran yang dimaksud.
Idulfitri lebaran hari raya Ramadan ziarah nyekar kuburan makam taman pemakaman umum TPU Talise TPU Pogego