Memiliki pengalaman traumatis akibat menyaksikan sendiri bencana alam yang dahsyat tentu membawa dampak pada kondisi mental seseorang, khususnya anak-anak.
Trauma dan stres yang dialami bisa berkepanjangan, apalagi jika tidak segera ditangani oleh psikiater dan psikolog profesional. Hal ini bisa sangat berdampak buruk bagi perkembangan mental dan sosial anak hingga dewasa nanti.
Bencana gempa, tsunami, likuefaksi yang melanda Palu, Donggala, dan Sigi empat tahun silam merupakan contoh betapa sebuah peristiwa bisa menancapkan trauma mendalam. Bahkan mungkin bagi beberapa orang rasanya bencana ini seperti baru terjadi kemarin.
Peristiwa yang terjadi pada 28 September 2018 menelan banyak korban jiwa, mulai dari anak-anak hingga lansia. Selain itu, kerugian infrastruktur yang dialami seperti hancurnya permukiman warga dan segala fasilitas umum juga turut meruntuhkan kondisi sosial psikologis dan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Salah satu golongan yang paling rentan terdampak dalam nahas tersebut adalah anak-anak. Mereka secara fisik dan mental masih dalam pertumbuhan atau bahkan masih sangat bergantung dengan orang-orang dewasa di sekitarnya.
Alhasil tak sedikit dari kelompok umur itu yang mengalami gangguan kecemasan, gangguan terkait perasaan, depresi, hingga Post-traumatic stress disorder (PTSD).
Psikolog Indri Sutrisna Widyaningsih, M.Psi merasa perlu untuk menyampaikan insight-nya terkait kondisi kejiwaan anak di Kota Palu yang terdampak bencana.
“Bisa saja anak akan mengalami yang namanya PTSD apabila tidak ditangani sedari awal. Terutama pada anak yang melihat langsung orang tuanya meninggal. Otomatis bisa terjadi gangguan kecemasan pada anak. Perlu dikaji lagi sejauh mana tingkat keparahannya,” ujarnya saat diwawancarai Tutura.Id (29/9/2022).
Menurut data penelitian American Academy of Child and Adolescent Psychiatry 2020, reaksi anak berbeda-beda dalam merespons bencana. Biasanya ini tergantung dari peristiwa kerusakan yang dialami.
Semisal anak yang menyaksikan sendiri kematian anggota keluarganya, atau temannya, luka psikis yang dialami anak lebih luar biasa traumatisnya. Sebanyak 50% anak melaporkan gejala stres pascatrauma setelah mengalami bencana, seperti terus mengingat tentang bencana, kewaspadaan berlebihan, atau sulit tidur dan berkonsentrasi.
Anak juga akan mengalami gejala-gejala depresi hingga gangguan kepribadian, mudah merasa sedih, ketakutan berlebih, hingga kehilangan minat. Gejala kronis seperti tadi telah diamati dan diteliti di antara anak-anak bahkan setelah empat tahun peristiwa.
Oleh karena itu, Indri menyebut peran penting keluarga dan orang-orang terdekat dalam memberikan pendampingan psikologis untuk membantu pemulihan trauma anak. Lalu harus selalu membuat anak merasa aman dan nyaman. “Misalnya dari segi pengasuhan dan pemenuhan kebutuhan sehari-harinya juga,” pungkas CEO Rumahberbagiid itu.
anak bencana mitigasi trauma gempa palu tsunami palu ptsd Indri Sutrisna Widyaningsih