Suara ombak yang bergulung kencang dari kejauhan terdengar bergemuruh. Saat tiba di bibir pantai, seketika menerjang semua yang terhampar di depannya. Deretan kedai sederhana sontak luluh-lantak tergulung. Kendaraan bermotor yang terparkir rapi di pinggir jalan seketika juga berhamburan tak tentu arah.
“Inilah tsunami. Inilah tsunami. Inilah tsunami,” teriak seorang pria dengan nada bergetar. Berulang kali ia mengucapkan istigfar sambil menahan isak tangis. Jerit kepanikan orang-orang di sekitarnya menambah situasi nan mencekam.
Demi melihat datangnya gulungan ombak susulan yang lebih tinggi dan ganas dari sebelumnya, sang pria tergopoh mengajak orang-orang di sekitarnya untuk berlari mencari tempat lebih tinggi.
“Ayo naik, pak. Tambah deras itu, pak. Ayo lari ke atas. Lari ke atas! Deras sekali sana, pak,” ujarnya.
Kisah di atas bukanlah terjemahan bebas dari fragmen dalam film fiksi tentang bencana. Namun, rekaman nyata kejadian bencana gempa dan tsunami yang terekam dalam ponsel Haerudin.
Jumat, 28 September 2018, sekira pukul 18.05 WITA, gempa kencang berkekuatan 7,4 Magnitudo menghantam wilayah Kota Palu dan sekitarnya. Tak berselang lama, tsunami datang menggulung dari arah Teluk Palu.
Haerudin yang saat itu berusia 32 tahun sedang berada di dalam Palu Grand Mall, pusat perbelanjaan yang letaknya persis di depan pantai.
Usai mengevakuasi diri keluar dari gedung perbelanjaan menuju tempat parkir mobil yang tangganya berundak melingkar, Haerudin merogoh saku celananya, mengeluarkan ponsel miliknya, dan bergegas menyalakan fitur kamera untuk merekam peristiwa nahas yang tak terlupakan itu.
Rekaman peristiwa bencana di Palu empat tahun silam milik Haerudin hanya satu dari sekian banyak video milik warga yang beredar kala itu. Berbagai perusahaan televisi nasional hingga internasional menduplikasinya jadi bahan materi siaran. Menjadikannya viral. Seketika gambaran dahsyatnya bencana yang melanda Palu, Sigi, dan Donggala (Pasigala) menyebar luas.
Haerudin mengaku tidak sadar kenapa ia merekam kejadian saat itu dan tak menyangka akan begitu banyak media yang mengangkatnya sebagai bahan pemberitaan.
“Di benak saya tiba-tiba langsung ingin ambil hape, lalu saya sorot ke laut. Itu saja, sih, sebenarnya," ungkapnya saat hadir sebagai narasumber kanal YouTube Upi Show tiga tahun silam.
Kerja-kerja menginformasikan sebuah peristiwa lantas menyebarkannya melalui berbagai platform media sosial, laiknya yang dilakukan Haerudin, termasuk dalam kategori jurnalisme warga alias citizen journalism.
Beberapa orang mengistilahkannya dengan public journalism lantaran pelaporan dan penyampaian informasinya dilakukan oleh publik awam, bukan orang yang bekerja secara profesional sebagai jurnalis atau wartawan.
Sepak terjang para jurnalis warga terasa makin relevan di era digital saat ini. Kehadiran berbagai platform penyebaran informasi yang sifatnya langsung dengan daya jangkau global mendorong praktik ini lebih masif.
Jika sebelumnya hanya mengandalkan blog sebagai tempat menulis, kini publik bisa memanfaatkan kanal-kanal media sosial yang telah dilengkap fitur siaran langsung audio video. Semuanya tertanam dalam ponsel yang bisa diakses dalam satu genggaman.
Dalam konteks laporan tentang kebencanaan, jurnalis yang dituntut bertugas di lapangan juga punya keterbatasan, mulai dari jumlah personel hingga daya untuk menjangkau semua wilayah terdampak. Tambah lagi banyak dari mereka kala itu yang ikut menjadi korban. Menyelamatkan diri sendiri dan keluarga terdekat harus menjadi prioritas.
Alhasil dalam sebuah peristiwa bencana dahsyat seperti yang terjadi di Palu empat tahun silam, peran dalam melaporkan dan membagikan informasi kemudian banyak berasal dari rekaman video warga.
Pun demikian, menurut Ketua Aliansi Jurnalis Independen Palu Yardin Hasan, partisipasi warga dalam menginformasikan sebuah kejadian—termasuk bencana—tetap harus dimaknai dalam dua hal.
"Tidak masalah, tetapi itu bukan satu satunya sumber. Makanya dalam jurnalisme itu ada namanya verifikasi. Jadi, seyakin yakin apa pun kita terhadap sebuah fakta, tetap harus kita periksa lagi," ujarnya saat ditemui Tutura.Id di Blackshot Coffee, Senin (26/9/2022) malam.
Pasalnya makin maraknya aneka informasi yang disebarkan dari praktik jurnalisme warga menghadirkan dilema. Ibarat pisau bermata dua, satu sisi laporan mereka bisa menjadi first responder karena berada langsung di tempat kejadian, tapi di sisi lain juga bisa menyesatkan lantaran informasi tersebut lansung terunggah tanpa melalui proses validasi.
Pengetahuan yang awam terhadap kode etik dan regulasi dalam undang-undang pers membuat produknya juga kerap tidak berkesesuaian dengan kaidah jurnalistik. Semisal dalam laporan tentang kebencanaan, korban-korban yang bergelimpangan tanpa busana lengkap ditampilkan utuh tanpa membuatnya blur.
Oleh karena itu, Yardin menambahkan bahwa sah-sah saja jika rekaman amatir dari warga yang beredar menjadi pendukung visual infromasi dalam sebuah berita. Hanya saja sumber video tersebut harus sudah terjamin kebenaran dan keakuratannya agar masyarakat lebih luas tidak menjadi korban berita atau informasi palsu.
jurnalisme jurnalisme warga bencana bencana 2018 gempa tsunami likuifaksi palu kota palu