Keragaman suku, budaya, dan tradisi yang dimiliki oleh negara ini begitu melimpah. Karunia yang sudah ada sejak dulu. Salah satunya pengakuan terhadap gagasan gender nonbiner alias seseorang dengan identitas yang tidak mengacu pada perempuan atau laki-laki.
Tradisi dan budaya suku Bugis mengakui adanya lima gender, yaitu perempuan (makunrai), laki-laki (uroane), perempuan berpenampilan laki-laki (calalai), laki-laki berpenampilan perempuan (calabai), dan bissu yang dianggap bukan laki-laki maupun perempuan. Makhluk spiritual yang tidak berada di tengah-tengah antara laki-laki dan perempuan, melainkan mewujudkan kekuatan keduanya sekaligus.
Dalam narasi kuno masyarakat Bugis, bissu turun ke Bumi tidak terpecah menjadi pria atau wanita—seperti kebanyakan orang—tetapi tetap menjadi kesatuan suci keduanya. Tugasnya penting dalam membawa kehidupan ke bumi. Menciptakan bahasa, budaya, adat, dan semua hal yang dibutuhkan demi perkembangan kehidupan.
Menurut Sharyn Davis, antropolog dari Monash University di Melbourne, Australia, identitas lima gender dalam Suku Bugis sudah terendus jauh sebelumnya masuknya agama samawi ke Sulawesi Selatan. Mereka menempati kasta tinggi dalam strata sosial dan ditempatkan di istana kerajaan karena jadi bagian paling penting dalam ritual adat.
Suku Toraja di Sulawesi Selatan Toraja juga mengakui adanya transgender yang mereka sebut sebagai to burake alias gender ketiga. Secara biologis terlahir berjenis kelamin lelaki dengan dandanan laiknya perempuan (to burake tattiu’). Pun sebaliknya, berjenis kelamin perempuan dengan penampilan laki-laki (to burake tambolang).
Burake dalam struktur masyarakat Toraja juga disegani, dihormati, dan memainkan peran penting dalam banyak aspek tradisi, termasuk ritual adat. Seumur hidupnya tidak menikah, tapi bisa mengangkat atau merawat anak.
Tradisi Suku Kaili yang mendiami Lembah Palu juga mengenal yang demikian. Sebutannya lenda dan bayasa. Dalam Kamus Kaili Ledo, lenda diartikan sebagai banci. Sedangkan bayasa berarti pria yang berpakaian dan berperilaku seperti wanita; banci; waria. Atau sebutlah transpuan, sebagai lema yang lebih netral tanpa kesan peyoratif.
“Bayasa sudah pasti lenda, sementara lenda belum tentu bayasa. Tidak jauh beda dengan yang ada di (Sulawesi) Selatan. Orang calabai belum tentu bissu, tapi bissu sudah tentu calabai,” ujar Drs. Iksam Djorimi. M.Hum., selaku pemerhati budaya saat ditemui Tutura.Id (17/10/2022).
Ada perbedaan antara bayasa dan lenda. Bayasa merujuk pada posisinya sebagai penghubung antara manusia dan alam gaib. Sementara lenda merujuk pada orientasi seksual.
Dalam kebudayaan Kaili, bayasa dipandang sebagai wadah yang sensitif terhadap hal gaib. Sehingga bayasa punya peran penting dalam melakukan upacara-upacara adat. Pada masa kerajaan di Sigi, bayasa berperan sebagai tokoh spiritual kerajaan.
Ada banyak keputusan-keputusan terkait aspek kehidupan melalui pertimbangan bayasa. Di samping itu, bayasa juga punya peran sebagai tabib kerajaan, atau tabib dalam suatu komunitas adat.
"Tidak semua orang sakit harus ditangani bayasa, hanya penyakit yang ada kaitannya dengan arwah para leluhur. Kalaupun ada, berarti hanya pribadinya dia yang mengobati, bukan sebagai bayasa," jelas Indra Jaya (41) saat ditemui pada Senin (24/10) siang.
"Kalau bayasa sedang dirasuki arwah leluhur, pribadinya jadi penuh wibawa. Beda dengan kehidupan sehari-harinya dalam bersosialisasi," lanjut pria pemerhati budaya asal Desa Bora itu.
Sebagai contoh, peran bayasa termaktub dalam buku “Upacara Tradisional dalam kaitannya dengan peristiwa alam dan Kepercayaan Daerah Sulawesi Tengah” terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Disebutkan ada sebuah upacara bernama Polele Bayasa. Upacara tersebut sebagai pengantar akan segera dimulainya upacara sakral sekaligus bermohon supaya upacara adat mendapatkan keberkatan. Bayasa sebagai seorang balia dianggap memiliki makna atau daya kekuatan untuk berhubungan dengan para dewa. Dalam suasana khusyuk, bayasa membacakan doa-doa:
Karampua rilangi, Karampua ritana
Tuhan (Penguasa) di langit dan penguasa di bumi
Kamaimo kita mempetiro hi
Marilah semua melihat ke sini
Anu adampae rapoviaka
Ke sini yaitu penyelenggaraan upacara adat padi (adampae)
tumpunutana dako rilida
Mari semua kalian
Mangelo anu nipoviaka ei
Menyaksikan sesuatu yang dibuat di sini
Marapi kami poviaka rapakajadi
Permohonan kami agar usaha kami berhasil
Ala mesirata mboi kita nggapurina
Agar kita bertemu kembali di kemudian hari
Kuperapi poviaka ei ve
Kami meminta agar usaha kami
Injamo rapakava, injamo rapatango
Jangan menjadi hampa, jangan lagi diserang hama
Injamo rapakapuyu
Jangan mati (layu)
Ei puramo naimi mpengaya
Ini semua jenis makanan (yang tersaji).
Dalam doa-doa tersebut bayasa turut serta menjelaskan persembahan yang disediakan para petani.
Contoh lainnya yang tercantum dalam buku tersebut, bayasa juga punya peran dalam upacara meminta hujan. Seperti di Desa Kawatuna yang dikenal dengan istilah Pora’a Binangga. Bayasa yang lengkap dengan pakaian adat menyimpan dupa atau kemenyan yang dibakar dengan maksud agar dapat mengundang para arwah ke tujuh tadulako. Bayasa mengatur penempatan sesajen tersebut sembari membaca gane-gane alias mantra.
Menjadi bayasa bukanlah perkara ditunjuk atau mengajukan diri. “Sebelum jadi bayasa, biasanya lenda mengalami sakit. Sakit tersebut bukan sakit sembarang sakit. Ada gejala tertentu yang kemudian atas usulan tetua adat akan dilakukan ritual adat. Adat yang dibuat terbilang besar. Namanya Nepapakana. Biasanya tiap-tiap wilayah beda penyebutan. Ada juga yang bilang Nempapakono,” lanjut Iksam menjelaskan.
Selain bersifat sakral, upacara pelantikan seorang bayasa meminta pembuktian apakah betul seorang lenda punya kapasitas jadi seorang bayasa. "Salah satu ujiannya, calon Bayasa akan diminta berjalan di atas mata parang yang disusun seperti tangga," tambah Indra Jaya, turunan dari Pue Magau.
Hal yang sama juga berlaku ketika ada seseorang mendaku diri sebagai bissu. Penyampaian kebissuan lewat mimpi khusus yang diverifikasi melalui sidang adat. Puncak ujiannya berupa ma’giri, menari sambil menusuk bagian-bagian tubuh, seperti perut, pinggang, dan leher menggunakan badik yang dilakukan dalam keadaan dirasuki oleh roh leluhur.
Meskipun makin terhimpit oleh modernitas, beberapa tempat di Sulawesi Tengah masih melangsungkan tradisi bayasa, semisal di Desa Pewunu dan Desa Sintuvu di Kabupaten Sigi, serta di daerah Pantai Barat, Donggala.
Catatan redaksi: Artikel ini didanai lewat program "Yang Muda, Yang Mewartakan," sebuah lokakarya dan pendanaan liputan untuk topik-topik kekerasan seksual dan isu gender hasil kolaborasi Project Multatuli dan Rutgers Indonesia.