Merawat memori bergabungnya Sulteng ke Indonesia
Penulis: Nasrullah | Publikasi: 8 Mei 2023 - 15:42
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Merawat memori bergabungnya Sulteng ke Indonesia
"Serah Terima Kedaulatan" di Gedung Juang Palu, Mei 1950. | Foto: Istimewa

“Kami bersepakat untuk menjaga jejak-jejak sejarah di kota ini,” ujar Muhammad Herianto, pegiat Komunitas Historia Sulawesi Tengah, saat ditemui Tutura.Id, di pelataran Gedung Juang Palu.

Sabtu, 6 Mei 2023, Komunitas Historia Sulawesi Tengah sedang melakukan kegiatan bincang publik guna mengenang momen bergabungnya kerajaan-kerajaan di Lembah Palu dan sekitarnya dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

Acara itu mengambil tempat di Lapangan Nasional Sulawesi Tengah. Lokasi ini dulunya dikenal sebagai Lapangan Hombo, tempat bersejarah yang jadi lokasi Rapat Raksasa dan pembacaan maklumat bergabungnya kerajaan-kerajaan di Sulteng ke NKRI.

Anto, sapaan akrab Muhammad Herianto, mengutarakan bahwa momen integrasi itu merupakan satu jejak semangat nasionalisme di Sulteng. “Kami memaknai kegiatan ini sebagai nasionalisme, kenapa tidak karena maklumat ini dulunya dilaksanakan di sini. Ini harus ada jejaknya,” ujarnya.

Usai bincang publik, kegiatan ini dilanjutkan dengan mengelilingi Gedung Juang untuk membagikan dan membincangkan pelbagai kejadian yang membekas di gedung peninggalan Kolonial Belanda tersebut. Adapun kondisi gedung ini terlihat memprihatinkan, dengan dindingnya yang mulai keropos akibat gempa 2018.

Sinoptik peristiwa 6 Mei 1950

Lepas Indonesia merdeka, perjuangan berlanjut juga di medan perundingan. Salah satunya ialah Konferensi Meja Bundar di Deen Hag, Belanda pada pengujung 1949. Konferensi itu mengakui kedaulatan Indonesia lewat apa yang disebut sebagai Republik Indonesia Serikat (RIS).

Negara Indonesia Timur (NIT) menjadi salah satu dari tujuh negara bagian dalam RIS. Cakupan wilayah Negara Indonesia Timur meliputi Sulawesi, Sunda Kecil (Bali dan Nusa Tenggara), dan Kepulauan Maluku. Maka tergabunglah wilayah Sulawesi Tengah--termasuk area Lembah Palu--ke dalam NIT.

Keberadaan RIS--berikut NIT sebagai turunannya--membuat kelompok pergerakan terbelah menjadi dua. Ada yang bergaris republiken atau unitaris yang menghendaki negara republik dan bubarnya RIS. Kelompok lain cenderung federalis mendukung NIT.

Kondisi Gedung Juang Palu. Anto, pegiat Komunitas Historia Sulawesi Tengah, saat mengenang memori 6 Mei 1950. | Foto: Nasrullah/Tutura.Id 

Saat itu, di Lembah Palu, sudah lahir sejumlah alat perjuangan termasuk partai dan perhimpunan politik. Untuk menggabungkan berbagai kekuatan politik itu dibentuklah Ikatan Persatuan Perjuangan Rakyat Indonesia (IPPRI).

Kelompok inilah yang menjadi aliansi bagi berbagai organisasi politik di Lembah Palu. Kelompok inilah yang banyak mengorganisir aksi-aksi menuntut dibubarkannya NIT antara 1949-1950.

Pada April 1950, dua tokoh pergerakan di Lembah Palu, Horas Siregar dan Ince Makka–keduanya dikenal sebagai tokoh pers di Sulteng–menemui M Dj. Abdullah di Biromaru dan H.M Yoto Daeng Pawindu di Pevunu. Dua tokoh terakhir ini dikenal pula sebagai tokoh nasionalis dan pentolan IPPRI. 

Mereka berempat inilah yang lantas bertemu dengan Raja Palu, Tjatjo Idjazah di kediamannya–sebagai penguasa admninistratif afdeling Palu. Mereka aktif menayampaikan gagasan mereka.

Alhasil, pada 3 April 1950, dikirimkanlah sebuah konsep pernyataan atas nama IPPRI yang menyatakan dukungan pada NKRI. Di dalammnya disebutkan ada 29 partai di wilayah Palu, Tawaeli, Wani, Donggala, dan Sigi-Dolo yang menginginkan terbentuknya NKRI. 

Desakan pembubaran NIT ini akhirnya bermuara pada diadakannya ‘Rapat Raksasa’ di Lapangan Hombo, atau yang kini menjadi Lapangan nasional Palu. Rapat ini dihadari berbagai kalangan. 

Ada 11 poin kesepakatan tiga kerajaan di Palu, Kulawi, dan Sigi-Dolo yang dibacakan dalam Rapat Raksasa tersebut. Salah satunya ialah memisahkan diri dari RIS dan bergabung ke NKRI.

“Mulai 6 Mei 1950 jam 7.00 pagi, tiga kerajaan Palu, Sigi·Dolo dan Kulawi beserta seluruh rakyatnya memproklamirkan dengan ini ‘telah melepaskan diri dari Negara Indonesia Timur’ dan menggabungkan diri dcngan Republik Indonesia.”

Pernyataan itu menjadi desakan tegas dari wilayah Sulawesi Tengah kepada NIT dan Parlemen NIT. Aksi-aksi serupa juga meluas di berbagai wilayah NIT lainnya. Menyusul situasi dan desakan itu, Parlemen NIT juga semakin tegas menyakan keinginan untuk mengembalikan NKRI. 

Ujungnya pada tanggal 19 Mei 1950 tercapailah program persetujuan antara pemerintah RIS untuk mengubah diri menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
3
Jatuh cinta
1
Lucu
1
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Igor Saykoji: Mengemas budaya Poso dengan warna kekinian
Igor Saykoji: Mengemas budaya Poso dengan warna kekinian
Igor "pulang kampung" dan tampil di Festival Danau Poso 2022. Kepada Tutura.Id,…
TUTURA.ID - Kesenian Barongsai di Palu yang menciptakan toleransi
Kesenian Barongsai di Palu yang menciptakan toleransi
Perguruan Barongsai Tiga Naga telah mengajarkan kesenian barongsai sejak 2007. Para murid berasal dari berbagai…
TUTURA.ID - Inovasi menciptakan kaledo yang cepat saji dan praktis
Inovasi menciptakan kaledo yang cepat saji dan praktis
Tim mahasiswi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat, Untad, berhasil mengembangkan kaledo dalam kemasan instan.
TUTURA.ID - Melacak jejak bangunan kolonialisme di Lembah Palu
Melacak jejak bangunan kolonialisme di Lembah Palu
Sejumlah bangunan peninggalan kolonialisme Belanda tersebar di Lembah Palu. Beberapa yang masih bertahan kondisinya sudah…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng