Dewan Pengupahan Provinsi (Depeprov) telah mengetok palu mengenai Upah Minimum Provinsi (UMP) Sulteng tahun 2024.
Ditetapkan angka sebesar Rp2.736.698. Meningkat sebesar Rp137.152 alias 5,28 persen dari UMP Sulteng 2023.
Pun demikian, keputusan ini mendapat penolakan dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), salah satu organisasi buruh terbesar di Sulteng.
“Saya tak hadir di pertemuan itu (rapat Depeprov), karena memang menolak UMP Sulteng 2024. Seharusnya UMP tahun depan dinaikkan sebesar 15 persen,” kata Ketua FSPMI Sulteng Lukius Todama ketika dihubungi Tutura.Id, Rabu (22/11/2023).
Lukius menilai permintaan kenaikan 15 persen masih dalam batas wajar. Pasalnya kenaikan harga bahan pokok di Sulteng bahkan mencapai 30 persen dalam beberapa bulan terakhir.
Baginya, UMP 2024 hanya menjadi jaring pengaman bagi pemerintah dan pengusaha. Sedangkan bagi buruh, hal ini menjadi kunci pemenuhan kebutuhan hidup.
Menyoroti keputusan pemerintah, Lukius menilai bahwa UMP 2024 tidak mempertimbangkan dampak kenaikan harga kebutuhan pokok dan bahkan membatasi penerimaan UMP untuk pekerja lajang, bukan buruh berkeluarga.
Dia menuding pemerintah menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) 51/2023 sebagai alat untuk membatasi kenaikan upah, tanpa memperhatikan kebutuhan riil pekerja berkeluarga.
Sebagai respons terhadap penolakan ini, Lukius mengumumkan niatnya untuk menggelar unjuk rasa bersama anggota FSPMI Sulteng sebagai bentuk keprihatinan terhadap penetapan upah yang dianggap rendah ini.
Perlu diperhatikan bahwa formula perhitungan UMP 2024 sedikit berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) memperkenalkan indeks tertentu (alfa) sebagai instrumen baru yang merupakan kontribusi pekerja/buruh/karyawan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Nilainya berkisar 0,10-0,30 atau 10-30 persen.
Lihat postingan ini di Instagram
KSBSI menanggapi lebih moderat
Koordinator wilayah Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Sulteng, Karlan Ladandu, menyambut baik reaksi penolakan dari rekan-rekannya di FSPMI.
Namun, dia juga menyoroti keterbatasan dalam menentukan nilai UMP yang diatur oleh PP 51/2023 dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan nilai indeks tertentu (alfa).
Menurutnya penetapan upah ini tak serta merta sesuai keinginan serikat pekerja atau buruh secara perorangan, melainkan kesepakatan bersama pemerintah dan pengusaha.
“Apindo mulanya minta nilai alfa 0,15, sementara KSBSI usulnya 0,25. Kemudian Depeprov sepakat angkanya 0,20. Sehingga muncul kenaikan sekitar Rp137 ribu itu,” terang Karlan via aplikasi pesan, Rabu (22/11).
Soal UMP 2024, kata Karlan, sejatinya belum tentu sesuai dengan kebutuhan para buruh, tetapi tergolong mendekati cukup mengingat tak mungkin seluruh buruh akan ditentukan nilainya.
Pada kesempatan terpisah, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sulteng Achrul Udaya menyebut, setidaknya ada tiga pertimbangan sehingga pihaknya menyepakati nilai UMP 2024.
“Kalau angka di provinsi capai 0,30, maka kabupaten/kota tak akan naik. Apalagi, UMP sifatnya jaring pengaman. Itu pertama. Kedua, pertumbuhan ekonomi di Sulteng sangat dipengaruhi industri pengolahan di Morowali dan Banggai. Selebihnya andalkan sektor jasa. Sehingga Apindo merasa sudah sangat ideal dengan angka 0,20,” jelas Achrul.
Merujuk hasil rapat Depeprov Sulteng yang dituangkan dalam Berita Acara (BA) nomor: 560/14343/DPA.PHIWAS, UMP Sulteng 2024 sebesar Rp2,72 juta bersumber dari formulasi enam variabel.
Variabel itu terdiri dari konsumsi per kapita setiap bulan (Rp1,17 juta), rerata anggota rumah tangga (ART) per rumah tangga (4,19), rerata ART yang bekerja setiap rumah tangga (1,68), pertumbuhan ekonomi Sulteng (14,18), inflasi Sulteng September 2022-September 2023 (2,44), dan indeks tertentu/alfa (0,20).
Per 22 November 2023, sudah 32 provinsi yang mengumumkan dan menyepakati UMP-nya, termasuk Sulteng.
UMP di provinsi berjuluk “Negeri Seribu Megalit” ini lebih tinggi dibandingkan Jawa Tengah (Rp2,03 juta), Jawa Barat (Rp2,05 juta), Yogyakarta (Rp2,12 juta), dan Jawa Timur (Rp2,16 juta), dan Nusa Tenggara Timur (Rp2,18 juta) yang menghuni posisi lima terbawah dengan UMP 2024 paling rendah di Indonesia.