Hobi menggambar bukan hanya sarana berekspresi untuk mengisi waktu luang, tapi juga bisa menjadi profesi yang mendatangkan pemasukan.
Medium yang digunakan untuk menggambar juga hadir kian beragam. Bisa dilakukan di atas kertas, kanvas, kain, dinding, tas, sepatu, pakaian, hingga di atas layar gadget.
Jenis kreasi gambar mulai dari sketsa, lukisan, ilustrasi, doodle alias orat-oret, karikatur, hingga poster mungkin paling sering kita temukan.
Ragam medium dan jenis gambar tadi jelas memengaruhi nilai apresiasi alias honor yang diterima oleh para seniman visual.
Salah satu ragam dalam dunia kreatif ini sebenarnya telah lama ada di Kota Palu. Perkembangannya juga terasa seturut kehadiran beberapa sosok atau komunitas baru yang menggeluti dunia gambar menggambar.
Dieny Jihad mengaku bisa mengantongi jutaan rupiah dari hasil menggambar. Saat bersua Tutura.Id, Kamis (6/7/2023), ia mengaku sudah hobi menggambar sedari kecil.
“Tapi untuk cari uang dari hasil menggambar ini dari sejak saya sekolah di SMK 3 Palu. Kalau terima job-job lukisan pakaian, awal 2007 kayaknya. Terus kalau mural, mungkin dari sekitar lima tahun yang lalu, deh,” ungkapnya.
Penghasilan yang ia terima dari hasil menggambar cukup beragam. Biasanya untuk bikin mural ia mematok tarif Rp300 ribu per meter.
Harga itu belum termasuk biaya membeli bahan-bahan. Dieny mengaku pernah mengantongi Rp3 juta hasil dari mural yang dimensinya mencakup satu ruangan. Oleh karena itu, ia mengaku saat ini lebih suka mengerjakan pesanan mural.
Beda lagi jika ada yang memintanya bikin gambar di pakaian. Paling murah Dieny mematok Rp150 ribu hingga Rp450 ribu untuk yang termahal. Untuk jasa ini tak jarang kliennya berasal dari luar negeri yang tak segan merogoh kocek Rp1,5 juta untuk satu pakaian atau jaket bergambar.
“Begitu kalau di Palu. Selain banyak ba tawar, juga banyak ba revisi. Kayak ada beberapa yang membuat kita merasa tidak dihargai,” ujarnya.
Demi mengikuti perkembangan teknologi saat ini dan menambah penghasilan, Dieny juga bekerja menggunakan Procreate, sebuah aplikasi pembuat gambar dan ilustrasi untuk kalangan pengguna Apple.
Sama halnya dengan Dieny, Ronicha Wendy Desrama awalnya juga menggambar untuk hobi semata. Belum ada niatan menjadikannya profesi yang mendatangkan cuan.
Fill, sapaan akrab Ronicha, memulai karier sejak 2019. Kala itu ia hanya ikut bikin mural bersama temannya. Perlahan kemudian ia mulai berani menanggapi tawaran pekerjaan yang berhubungan dengan gambar menggambar.
“Mulai dari masuk cuma dapat Rp100 ribu sampai dapat Rp4 juta waktu jadi ilustrator dalam sebuah event, terus sekarang serius dijadikan profesi,” kata mahasiswa Ilmu Komunikasi, Untad, Palu, saat dihubungi Tutura.Id via WhatsApp, Rabu (5/6).
Bedanya Fill lebih tertarik menggarap orderan gambar digital ketimbang mural. Pilihan itu diambilnya karena bisa lebih hemat biaya pengeluaran untuk alat dan bahan menggambar.
Honor yang dikantonginya untuk setiap pengerjaan gambar digital sekitar Rp200 hingga Rp500 ribu per ilustrasi. Angka tersebut bisa meningkat jutaan saat mengerjakan ilustrasi sebuah proyek tertentu.
Kesibukannya sekarang ini selain mengerjakan proyek ilustrasi buku puisi dan baju, ia juga nyambi membuat illustration pack untuk pasar luar negeri. Harga jualnya ia banderol AS$3 per satu kemasan ilustrasi.
Satu sosok lain yang nama dan karya-karyanya sudah cukup diakrabi dalam skena seni visual di kota ini adalah Rio Oscar Syarif Bouty.
Lima tahun silam, tepatnya sebelum peristiwa bencana gempa dan tsunami, Rio bersama para seniman lain dari seluruh Indonesia ikut memamerkan karyanya dalam gelaran Media Art Week 2018 yang berlangsung di Palu.
Rio, seperti halnya Dieny dan Fill, juga belajar menggambar secara autodidak. Sementara yang lain mungkin mengasah kemampuannya dari jalur pendidikan spesifik semisal di institut/sekolah seni rupa atau bangku kuliah desain komunikasi visual. Kota Palu sejauh ini belum menyediakan itu.
Impresi awal Rio pada dunia gambar terbetot saat melihat komik Gerombolan Siberat (Beagle Boys), karakter fiksi Disney yang jadi musuh besar Paman Gober.
Kala itu sekolah dasar belum lagi ia masuki. Menurutnya, alur cerita Gerombolan Siberat lain sendiri alias unik dibandingkan komik bacaan untuk anak-anak pada umumnya.
Buku cerita bergambar Tapak Sakti dan Tiger Wong, dua judul yang sangat populer di era 90-an, juga turut memperkaya khazanahnya sejak masa kanak-kanak.
Hobi orat-oret gambar di buku yang dimulakannya sejak bangku sekolah dasar mulai mendatangkan hasil saat memasuki SMP. Beberapa teman sekolah memintanya menggambar tepian bawah seragam sekolah dengan tokoh-tokoh kartun.
Ia bersama seorang kawannya berinisiatif pula menjual semacam tutorial menggambar ekspresi manusia secara utuh. Harga Rp1000 per lembar.
Saban menjelang perayaan Idulfitri, Rio tak absen ikut menjajakan hasil karyanya dalam bentuk kartu lebaran. “Saya jual di pertokoan sana. Hasilnya biasa habis cuma pake bagi-bagi sama teman. Ha-ha-ha,” kenangnya.
Jalan memperoleh cuan ia temukan lagi saat beranjak SMA. Kala ini menggambar di atas medium helm milik teman-temannya. Ongkos mengerjakan satu helm tergantung tingkat kesulitan, berkisar Rp10 ribu hingga Rp20 ribu.
Saat musim pelulusan siswa, ramailah orang datang menyerahkan seragamnya untuk ia gambar sesuai pesanan. Mereka yang ingin seragam sekolahnya tampil beda saat pelulusan harus merogoh kocek Rp30 ribu.
Popularitas situs jejaring pertemanan Facebook di Palu medio 2009 kemudian membuka babak baru. Rio mulai meluaskan relasi dengan orang-orang, bukan hanya di luar Palu, tapi hingga ke mancanegara.
Hingga sekarang orderan dari klien luar negeri terus berdatangan. Ia biasa diminta menghasilkan ilustrasi berupa logo, desain kaos band, hingga sampul album. Sistem pembayaran kebanyakan beli putus alias flat pay. “Klienku paling jauh itu saya rasa dari Afrika Selatan,” katanya.
Sementara pekerjaan menggambar di Palu yang biasa dilakoninya berupa permintaan bikin mural, mulai dari kafe, kantor, hingga rumah ibadah.
Hal yang unik dari sosok satu ini, yang mungkin juga menjadi ciri khasnya, hingga sekarang ia masih betah menggambar secara manual di atas kertas. Keinginan untuk menjajal alat-alat canggih yang sekarang beredar di pasaran bukannya tidak ada. Hanya saja untuk saat ini ia masih terkendala minimnya anggaran.
Walhasil segala pesanan membuat logo, desain ilustrasi sampul album dan merchandise band terlebih dahulu ia masukkan dalam mesin scanner. Berkas digital itu lalu ia kirim melalui email kepada para klien.
Menyoal tingkat apresiasi orang Palu terhadap profesi menggambar, menurutnya sekarang sudah lebih baik dibandingkan dulu. Banyak orang sudah memahami betapa alur menggambar yang bermula dari penggalian ide hingga proses eksekusi di atas medium gambar tak semudah bikin garis serampangan.
“Ya, apresiasi orang Palu sudah bagus sekarang. Sudah cukup mengerti bagaimana menghargai hasil karya yang digambar,” pungkasnya.