Industri perfilman di Indonesia terus mengalami kemajuan. Jumlah produksi film, penonton, dan layar bioskop juga mengalami peningkatan. Hal ini memancing banyak orang untuk menggeluti profesi sebagai sineas.
Pertanyaannya, bisakah mengandalkan pekerjaan di bidang film untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari?
Kita sama mafhum bahwa geliat produksi film di Lembah Palu telah meningkat beberapa tahun terakhir. Karya-karya para sineas kota ini telah meraih sederet prestasi yang tak main-main. Beberapa judul, semisal film fiksi panjang Mountain Song dan dokumenter pendek Saya di Sini, Kau di Sana, berhasil menembus festival film hingga ke benua Eropa.
Jumlah produksi, terutama film pendek, tak lagi sepi. Pun anak-anak muda, mulai dari tingkat pelajar hingga mahasiswa, banyak yang tertarik berkecimpung dalam pembuatan film.
Subsektor kreatif ini dianggap bisa menciptakan kolaborasi dan mendorong antarsubsektor ekonomi kreatif lainnya di Kota Palu. Dapat pula menciptakan efek ganda.
Faktor-faktor tersebut yang kemudian bikin Kemenparekraf merekatkan predikat “Kota Film, Animasi, dan Video” untuk Palu sejak Juni 2022.
Teringat pernyataan Mohammad Ifdhal, sutradara yang juga salah satu pendiri Sinekoci, lebih dari setahun silam guna menanggapi pemberian predikat tadi.
Waktu itu, Ifdhal bilang kru film di Palu belum secara merata dapat menggantungkan mata pencahariannya dari film. Alhasil mau tidak mau pekerjanya berat jika hanya fokus menanti datangnya panggilan menggarap proyek film.
Masih dalam semarak Hari Perfilman Nasional, yang perayaannya saban 30 Maret, kami coba menghubungi dua orang sineas Palu untuk menanyakan cara mereka bertahan hidup dengan menjadikan film sebagai mata pencaharian utama.
View this post on Instagram
Sosok pertama adalah Nur Afni Eka Muslim, sutradara yang juga pemilik rumah produksi PT Celebes Film Production. Ia telah menggeluti industri ini sejak 13 tahun silam, tepatnya pada tahun 2010.
Ketika dihubungi Tutura.Id, Jumat (29/3/2024), melalui pesan WhatsApp, memproduksi film masih jadi satu-satunya pekerjaan yang ia nikmati hasilnya sampai sekarang.
“Film itu roda perputaran ekonominya cepat. Asalkan kita bisa tahu bagaimana cara kerjanya. Bisa jadi uang produksi yang kita keluarkan itu sedikit, tapi yang yang kita dapat justru lebih besar,” jelasnya.
Nuning, demikian sapaan akrabnya, menyebut kerjanya bikin film itu asyik. Ia bisa bebas memvisualkan ide dalam kepalanya. “Kita bisa ciptakan karakter dan bermain dengan imajinasi kita, terus setelah itu kita jual dan dapat uang.”
Selama ini ia mengaku belum pernah merasakan sepi job. Kuncinya jangan hanya mengharapkan proyek yang diberikan oleh instansi, pemerintah maupun swasta. Harus kreatif dan mandiri mencari peluang lain mendapatkan pemasukan.
“Jangan berharap kepada siapa pun. Bangun imajinasi sendiri, produksi, terus jual. Kita bisa menggunakan platform film berbayar sebagai salah satu media untuk menjual film,” jelasnya.
Saat ini, Nuning sedang mengerjakan proyek film berjudul Uwentira, sebuah legenda urban tentang keberadaan kota gaib nan megah yang konon berlokasi di Kebun Kopi, antara Palu dan Parigi.
View this post on Instagram
Eldiansyah Latief saat dihubungi terpisah tak menampik pemasukan terbesarnya berasal dari kerja-kerja menggarap film. Jika melihatnya kondisi industri perfilman nasional, film menurutnya secara finansial menjanjikan. Sineas yang harus pintar melihat situasi dan pasar jika ingin punya penghasilan dari dunia perfilman.
“Kalau di Palu industrinya kita belum hidup. Belum bisa sineas berharap dari film hidupnya. Makanya harus pintar menyisihkan uang untuk modal usaha-usaha yang sekiranya menghasilkan,” ungkap Ancha, panggilan akrabnya, kepada Tutura.Id (28/3).
Oleh karena itu, ia tetap harus pintar mengondisikan keuangannya. Menyiasati jika tawaran menggarap film lagi seret, sutradara yang baru saja merampungkan film dokumenter tentang ulama Imam Sya'ban ini mendirikan Teras Kecil sejak 2019.
Usahanya itu menjual tanaman hias secara daring. “Sekitar tiga bulan sebelum pandemi saya sudah jualan tanaman secara online. Pemesannya dari Palu sampai ada teman-teman yang pesan di luar Palu. Bisa order via akun Instagram,” jelasnya.
Masih ada satu lagi keinginan terpendamnya. “Buka tempat usaha kedai teh nusantara begitu. Jadi semua jenis teh nanti saya suguhkan di kedai. Pengunjung tinggal pilih. Ini untuk tambah-tambah kalau misalnya nanti proyek film mulai sepi.”
Ancha mulai serius menekuni dunia film sejak 14 tahun silam. Kurun 2013 hingga 2019 ia memutuskan hiatus. Banting setir jadi videografer dan editor untuk acara-acara pernikahan.
Saat pagebluk melanda hingga saat ini, Ancha kembali menekuni dunia lamanya. Jadi sutradara. “Kalau ada proyek tawaran film, Teras Kecil saya sisihkan dulu. Soalnya bikin film untuk proyek komersil uangnya tentu lebih banyak,” pungkasnya.
film sineas kru film industri perfilman industri kreatif Kota Palu Kemenparekraf Uwentira dokumenter film pendek Iman Sya'ban