Kekayaan kuliner suatu daerah sering kali menjadi cerminan keberagaman budaya dan sejarahnya. Begitu pula halnya dengan Sigi, yang tidak hanya memikat perhatian melalui keindahan alamnya, tetapi juga melalui kelezatan makanan tradisionalnya yang menggoda selera.
Saat menyantap sesuap ayam masak bambu, seolah-olah dunia makanan membawa kita dalam petualangan rasa yang tak terlupakan. Sentuhan rasa pedas dari cabe rawit, keharuman jahe, kelezatan cacahan daun jeruk, dan kesegaran potongan sereh menyatu dalam kenikmatan boga yang jarang ditemui.
Laiknya bandeng presto, ayam masak bambu adalah buah dari kesabaran saat memasak. Proses memasaknya bukanlah menggunakan wadah panci, melainkan dengan sebatang bambu.
Itu yang menguarkan aroma rempah nan khas. Dagingnya menjadi lembut, menggoda setiap lidah yang mencicipinya. Menu itu disediakan bersama sepenggal nasi berbentuk bulat yang juga dimasak menggunakan bambu.
Menurut Gamaliel Tato Losso, seorang pembuat masakan nasi ayam bambu, resep makanan tradisional itu telah diwariskan turun temurun dari keluarganya Suku Kulawi yang mendiami Lembah Sigi.
Dataran Kulawi yang subur dengan tanaman bambu memang memanfaatkan bambu sebagai wadah untuk memasak. Lalu menyalakan bara dengan panas sedang.
Ayam masak bambu bukan hanya sekadar hidangan harian, melainkan menjadi kebanggaan masyarakat Suku Kulawi. Menu andalan untuk menjamu tamu ini menjadi bagian tak terpisahkan pula dalam upacara adat, perayaan hari raya, dan momen-momen berkumpul keluarga yang berharga.
“Kalau lagi ada perayaan Natal atau upacara adat, ayam masak bambu ini yang paling ditunggu,” ucap Tato.
Namun, Sigi bukan hanya memiliki ayam masak bambu sebagai kekhasan kuliner. Ada banyak lagi sajian makanan lokal dari Sigi yang masih jarang diketahui dan dapat diakses oleh masyarakat Indonesia.
Festival Lestari yang berlangsung pada 23-25 Juni 2023 menjadi jendela baru untuk mengungkapkan ragam cita rasa lokal. Melalui program Telusur Rasa Lestari, Sigi berusaha menggali kembali cerita dan sejarah di balik berbagai sajian tradisional mereka.
Bekerjasama dengan Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), Gampiri Interaksi Lestari, Parti Gastronomi, dan sejumlah mitra, pemuda-pemudi Sigi berupaya merangkai cerita kuliner dalam buku berjudul “Sigi Hari Ini untuk Esok Hari”.
Semangat gotong royong menjadi pendorong utama, merekam pengalaman Sigi melalui sudut pandang penduduk setempat dan pengunjung yang menikmati kelezatan makanan mereka.
Narasi pangan lokal lestari Sigi dalam bentuk peluncuran buku resep kuliner lokal Sigi direncanakan rampung akhir Desember 2023.
Harapannya makanan tradisional Sigi akan semakin dikenal dengan ciri khas rasanya yang spesifik. Pun dapat membantu perekonomian masyarakat Sigi tumbuh.
Sebelum menuju peluncuran buku pangan lokal ini, dilaksanakan sebuah kegiatan validasi untuk memastikan keakuratan konten di dalamnya.
Para peserta undangan proses validasi ini berasal dari kalangan pemerintah daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat, lembaga adat, dan komunitas orang muda di Sulteng. Tiap-tiap orang bisa memberikan kritik dan saran terhadap sajian yang disediakan.
Ada sekitar 50 orang tamu undangan terlibat dalam kegiatan validasi buku tersebut yang berlangsung di Sub Plaza Indonesia, Jalan Samratulangi, Besusu Tengah, Palu Timur, Kamis (14/12/2023).
Sejak pukul 09.00 Wita, para pengunjung sudah memadati Sub Plaza Indonesia yang sehari-hari jadi salah satu tempat menongkrong kalangan remaja.
Mencicipi ayam masak bambu sebagai hidangan utama, disertai dengan pisang bersama kacang kulit, kue tetu, dan kue lemo-lemo sebagai penutup.
Tanaman kelor hasil olahan dan sajian komoditas vanili yang menjadi produk andalan UMKM setempat juga turut memperkaya pengalaman kuliner.
Dalam mencicipi sajian yang terhidang, diskusi rasa setiap orang di sana bertumpuk. Sehingga kesimpulan pun terangkai. Semuanya meninggalkan catatan bagi tiap penulis resep kuliner lokal khas Sigi.
Salah satunya Syarifa, staf pemberdayaan keluarga di Kecamatan Dolo itu menilai bahwa makanan masyarakat Kaili dibuat dengan bahan yang tak membutuhkan banyak rempah.
Ia mencontohkan uta kelo, sayuran dari daun kelor yang diperkaya santan ini hanya memerlukan cabe dan garam untuk membuatnya menciptakan cita rasa yang menggoda selera.
Pun halnya dengan kaledo, makanan khas berupa sup tulang daging sapi ini hanya membutuhkan rempah, seperti cabe rawit, asam Jawa, dan taburan bawang merah goreng.
Arifin selaku pendiri Parti Gastronomi, sebuah kelompok penggila makanan asal Bandung, yang senang mengeksplorasi makanan Nusantara turut memberi komentar soal kekhasan makanan tradisional di Sigi.
“Rata-rata makanan di sini, tuh, bumbu dan rempahnya minimal. Kayak kaledo hanya butuh cabe dan asam. Sama seperti nasi ayam bambu juga. Kalau di daerah lain, memasak ayam butuh banyak bumbu, tapi di sini bumbu dan rempahnya hanya ada beberapa saja, tapi semuanya sangat terasa di lidah,” beber Arifin.
View this post on Instagram
Perihal bagaimana makanan jadi tali pengikat hubungan kepada sesama, Suku Kulawi mengenal yang namanya tradisi mangkoni mangkeni. Pelaksanaannya biasa dilakukan dalam acara penyambutan tamu, upacara adat, panen raya, maupun saat kumpul keluarga.
Orang-orang akan disajikan makanan terbaik dari tuan rumah dan makan bersama yang disebut mangkeni. Jika makanan yang disajikan berlebih, agar tidak ada sisa yang dapat melanggar hukum adat, sebagian makanan akan dibagikan kepada para tetamu untuk dibawa pulang yang disebut sebagai mangkoni. Istilah ini juga kerap disamakan dengan kebiasaan ba bangkus oleh sebagian kalangan.
Pasalnya ada aturan adat yang berlaku dalam masyarakat Sigi, khususnya suku Kulawi, untuk pantang membuang makanan. Jika aturan tersebut dilanggar, maka bersiaplah mendapatkan sanksi adat berupa menyembelih seekor kerbau.
“Dari zaman dulu, anak-anak muda di Kulawi itu kadang melempar gurauan seperti, ‘Setelah makan di upacara adat mangkoni (makan), maka mangkeni lagi.’ Makanan harus habis kalau tidak habis maka dibawa pulang,” jelas Janiva, salah satu pemudi asal Kulawi yang terlibat penulisan buku pangan lokal Sigi.
Selain tradisi yang berkaitan dengan budaya makan masyarakat lokal, ada juga tumbuh semacam kebiasaan yang melahirkan istilah nasolora atau masolora.
Dalam kamus bahasa Kaili, nasolora artinya seorang yang bakal tertimpa celaka jika menolak pemberian makan atau minum yang kadung ditawarkan oleh seseorang.
“Biasanya ada istilah, ‘Kalau kau tidak minum kopi, masolora kau itu.’ Sederhananya, tradisi ini menunjukkan karakter untuk selalu menghargai pemberian orang dan menghormati makanan,” tutur Saiful Taslim, salah satu tamu peserta validasi yang juga Ketua Forum Pengurangan Resiko Bencana (FPRB) Kab. Sigi.
Melalui kisah-kisah ini, Sigi bukan hanya memperkenalkan rasa, tetapi juga kearifan lokal yang terkandung dalam setiap hidangan.
kuliner masakan tradisional Kabupaten Sigi Festival Lestari Suku Kulawi telusur rasa lestari Lingkar Temu Kabupaten Lestari Gampiri Interaksi Lestari UMKM Parti Gastronomi Sub Plaza Indonesia kearifan lokal


