Menyaksikan tarian balia dan momen trans di Kumbasa
Penulis: Rizki Syafaat Urip | Publikasi: 8 November 2022 - 13:31
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Menyaksikan tarian balia dan momen trans di Kumbasa
Sebuah momen pada pertunjukan balia di Desa Kumbasa, Sindue, Donggala, Minggu (6/11). (Foto: Moh. Syukuran)

Sekitar tiga puluh menit jelang tengah malam, sekelompok remaja membentuk barisan di depan api yang menyala-nyala. Bebunyian gimba bertalu-talu mengiringi. Itu momen pembuka tarian balia; satu fase awal untuk mengundang arwah leluhur. 

Mengikuti bebunyian, tangan kanan para penari mulai mengibaskan kipas. Sedangkan tangan kiri memainkan selendang yang menyatu dengan jilbab. Saat tempo gimba berubah lebih cepat, barisan remaja itu mulai membentuk lingkaran. Api pun kian bergejolak.  

Keheningan sejenak mendekap para penonton yang jumlahnya berkisar 400-an orang. Sebaliknya, dua pemukul gimba kian bersemangat. Kepala mereka mengangguk-angguk mengikuti ketukan. 

Di seberang lain, dua perempuan dan satu lelaki paruh baya tampak mengambil ancang-ancang. Dua perempuan itu pakai kain kuning serupa jilbab di kepala. Si lelaki berpakaian serba merah.

Pada satu hentakan gimba, mata ketiganya serentak tertutup. Sejurus kemudian badan mereka kejang-kejang. Tangan terkepal kuat.

Di bawah bulan yang hampir utuh dan tepat di atas kepala, ketiganya memasuki fase trans. Hilang kesadaran. Menyatu dengan arwah para leluhur.

Untuk sesaat ritme gimba melambat, demi memberi momen pada suara tabuhan gong guna masuk dalam irama musik. 

Di sisi lain, syair berikut doa terlantun lewat suara Nenek Bungacina. Perempuan berusia 77 tahun itu dikenal sebagai sando alias penyembuh. Ia pula yang jadi pemimpin pada pertunjukan malam itu.

Di tengah pertunjukan, situasi trans menjangkit. Para penari dan beberapa penonton mulai kerasukan. Sejumlah penonton masuk ke area pertunjukan. Bara api mulai diinjak-injak. Seorang penonton bahkan memegang bara, tanpa sedikit pun terlihat kesakitan.  

***

Foto: Moh. Syukuran *

Minggu malam, 6 November 2022, saya dan beberapa kawan menyaksikan pertunjukan balia di Desa Kumbasa, Kecamatan Sindue, Donggala.

Jaraknya sekitar 40 kilometer dari Palu, ibu kota Sulawesi Tengah. Sejak sore, desa itu mulai rame dengan para tetamu. Kumbasa memang sedang punya hajatan.

Ia jadi tempat berlangsungnya seminar “Kebanggaan Tradisi Lisan Desa Kumbasa sebagai Identitas Bangsa Indonesia.” Acara itu diprakarsai oleh Yayasan Tana Sanggamu Sindue, satu lembaga yang berfokus pada pengembangan ilmu pengetahuan berbasis kearifan lokal.

Merujuk hasil riset tradisi lisan di Desa Kumbasa, penamaan wilayah itu berasal dari dua suku kata yakni kumba dan asa. Kumba berarti pelepah daun sagu; dan asa bermakna air. Konon desa itu pernah ditumbuhi banyak tanaman sagu.

Warga Kumbasa masih menjaga tradisi balia. Bahkan tarian yang ditampilkan pada malam tersebut merupakan permintaan warga. Namun, lantaran keterbatasan waktu, pertunjukan itu tak mencakup upacara balia secara keseluruhan; hanya sebagian saja. Upacara utuh bisa makan waktu lebih lama.

“Tarian ini permintaan dari warga. Sebelum buat kegiatan di sini juga, kami minta izin ke Nenek Bungacina. Jadi warga sudah siapkan jauh-jauh hari persiapan tarian ini,” kata Ade Nuriadin (34), Ketua Yayasan Tana Sanggamu Sindue.

Di tengah pertunjukan balia, demi beroleh gambaran soal aksi tradisi tersebut, saya berbincang pendek dengan Iksam Djorimi, Wakil Kepala Museum Sulawesi Tengah, yang kebetulan turut hadir sebagai pembicara dalam seminar. 

Iksam menjelaskan bahwa tarian balia bukan untuk menyembah iblis. Perkataan itu sekaligus menepis salah kaprah yang beredar. “Api yang diinjak itu lambang iblis. Makanya harus dimatikan. Bukan mereka sembah,” kata Iksam.

Lantaran api dianggap simbol iblis, kata Iksam, penari serta penonton jadi bersemangat mematikannya. “Kalau ada yang tidak kebagian, dia akan sedih. Makanya tadi ada juga yang sampai genggam bara api,” ujar pria dengan latar belakang ilmu arkeologi dan kerap pula menekuni riset kebudayaan itu.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Pendidikan Tinggi telah menetapkan nobalia sebagai salah satu warisan budaya takbenda pada 2019.

Secara etimologi, balia memang berasal dari kata bali (tantang) dan iya (dia). Bila digabungkan keduanya menjadi arti “tantang/lawan dia”. Dalam tradisi Kaili, ia bisa dimaknai sebagai laku melawan setan yang membawa penyakit dalam tubuh manusia.

***

Musik tetap berbunyi, tetapi temponya mulai melambat. Seorang penari yang tengah kesurupan mendekati Nenek Bungacina (77). Badannya gemetar hebat. Matanya melotot.

Dalam keadaan trans, ia seolah hendak berpamitan untuk pulang. Perempuan berusia 22 tahun itu berbicara dengan suara pelan dan berat pada Nenek Bungacina. Bulu kuduk saya berdiri demi melihat momen tersebut.

Tak berselang lama, masih di tengah pertunjukan, saya harus membantu seorang kawan yang ikut dalam rombongan kami. Ia tiba-tiba merasa sakit nan hebat pada kepala. Tubuhnya juga terasa berat untuk digerakkan. 

Kami segera membawanya kepada Nenek Bungacina. Tetua itu membacakan gane-gane (mantra). Ia lantas menitip pesan dalam Bahasa Kaili, kira-kira, “Bila kami melakukan ritual, sempatkanlah untuk datang lagi.”

Selepas arwah para leluhur diantarkan "pulang", musik pun berhenti. Itu pertanda pertunjukan telah selesai. Kami segera berpamitan. 

Sepanjang perjalanan menuju Palu, kami lebih banyak diam. Pada tengah malam, saat melewati kebun-kebun milik warga, khawatir rasanya untuk sekadar bertanya pada teman yang sedang saya bonceng, “Apa yang tadi kau rasakan sebelum kepalamu sakit?”.

*) Foto dalam artikel ini diambil oleh Moh. Syukuran. Ia dikenal sebagai editor dan kamerawan di skena film Kota Palu. Onqi, begitu sapaannya, juga mendirikan Before After (@beforeafter_studio), studio kreatif berbasis di Palu.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
11
Jatuh cinta
2
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Ikhtiar Simalia, penyair perempuan dari Desa Taripa dalam melestarikan dadendate dari kepunahan
Ikhtiar Simalia, penyair perempuan dari Desa Taripa dalam melestarikan dadendate dari kepunahan
Seiring perkembangan zaman, kesenian dadendate berangsur kehilangan peminat. Tapi Simalia punya tekad besar agar kesenian…
TUTURA.ID - Melacak jejak bangunan kolonialisme di Lembah Palu
Melacak jejak bangunan kolonialisme di Lembah Palu
Sejumlah bangunan peninggalan kolonialisme Belanda tersebar di Lembah Palu. Beberapa yang masih bertahan kondisinya sudah…
TUTURA.ID - Pemilu 2024: Peluang penambahan 10 kursi di DPRD Sulteng
Pemilu 2024: Peluang penambahan 10 kursi di DPRD Sulteng
Lantaran populasi naik, ada peluang tambah 10 kursi di DPRD Sulteng. Adapun kepastiannya butuh tertuang…
TUTURA.ID - Memantik kepedulian terhadap nasib petani melalui film
Memantik kepedulian terhadap nasib petani melalui film
Ketahanan pangan di Sulawesi Tengah terancam dengan mandeknya generasi penerus petani.
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng