Kepulauan Togean di Kabupaten Tojo Una-Una terkenal sebagai destinasi yang menyimpan banyak keanekaragaman hayati bawah laut. Sejak tahun 2004 menyandang status taman nasional dan menjadi andalan Sulawesi Tengah di sektor pariwisata.
Mintakat ini juga jadi bagian dari segitiga terumbu karang dunia. Kekayaan yang terkandung di dalamnya tak kalah mentereng dibandingkan beberapa tempat lainnya macam Wakatobi di Sulawesi Tenggara dan Raja Ampat di Papua Barat. “A piece of heaven in the center of Celebes” jadi salah satu julukannya.
Tapi, destinasi wisata bernama lengkap Taman Nasional Kepulauan Togean itu belum lama ini dikeluhkan oleh Dave Smith, turis asal Kanada.
Selama di Kepulauan Togean, Dave mengeluhkan soal fasilitas resor, warga yang memberi makan buaya liar, listrik yang mati saat malam hari, tidak adanya bar dan kafe, hingga banyak karang yang disebutnya mati.
Keluhan tadi muncul di tengah ikhtiar pemerintah provinsi Sulteng menggenjot Kepulauan Togean sebagai kawasan destinasi super prioritas nasional.
Lantaran sempat viral di media sosial, tak ayal Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno ikut buka suara agar keluhan Dave tak meninggalkan kesan buruk bagi Kepulauan Togean.
Pemerintah, kata Sandiaga, akan segera menangani permasalahan itu. Ia bilang gerak cepat ini harus dilakukan untuk menyelamatkan citra pariwisata Indonesia.
"Jika ada keluhan dari wisatawan mancanegara, akan ditangani dan segera kami fasilitasi agar ini tidak menjadi preseden buruk dan menurunkan reputasi Indonesia sebagai surganya wisata bawah air," kata Sandiaga, mengutip CNN Indonesia, Selasa (29/8/2023).
Dalam keluhannya yang dipublikasikan South China Morning Post, Senin (21/8), Dave bercerita saat datang di Pulau Wakai yang menjadi titik transit, ia mendapati air kotor dan berlumpur. Saat yang sama ia mendengar pula cerita bahwa pernah ada warga yang tewas diterkam buaya.
Ketika tiba di resor pilihannya, Dave menilai kondisi ruang makan, sajian, dan ruangan peralatan selam terlihat tidak cukup baik. Pun demikian, ia mengaku kamar tidur yang disediakan menurutnya cukup bersih dengan tempat tidur yang nyaman.
Singkat cerita ia bertemu dan berbincang dengan tamu lain, Ned dan Tom yang berasal dari Australia. Tom bahkan sempat menekankan kepada Dave tentang pelayanan yang sesuai dengan harga.
"Kami sudah terbiasa dengan akomodasi semacam ini. Anda tidak boleh terlalu tegang saat bepergian dengan anggaran terbatas di Indonesia," jelas Tom.
Dave sepakat pada bagian ini. Sebab menurutnya harga sewa resor di Kepulauan Togean hanya separuh dari harga laundry-nya ketika menempati resor mewah di Maladewa.
Tak berhenti melempar keluh soal kondisi resor, Dave juga mengomentari buruknya pemandangan taman karang saat menyelam yang digambarkannya sebagian besar kondisinya pucat atau mati.
Selepas menyelam, ia segera memutuskan untuk pindah ke resor lain. Ia merasa mendapat sajian yang lebih baik, walaupun tidak bisa tidur karena listrik dan kipas sengaja dimatikan saat malam hari.
Dave merasa nasibnya seperti Tom Hanks yang terdampar selama bertahun-tahun di pulau tropis dalam film Castaway. Ia lantas melukiskan Kepulauan Togean terlihat seperti surga, namun terasa seperti "neraka".
View this post on Instagram
Randhy Andi Baso sebagai pemandu wisata sekaligus pemilik Tripinera mengatakan, keluhan Dave harus menjadi evaluasi bersama semua pihak. Pun begitu, ia mengganggap ucapan atau keinginan Dave tak tepat melihat kondisi Togean saat ini yang masih belum ideal, termasuk juga soal fasilitas penunjang yang ada.
"Togean saat ini masih banyak yang harus diperbaiki. Fasilitasnya masih tahap berkembang. Walaupun ini bukan alasan, ya, untuk berbenah. Tapi kalau masalah landscape masih bisa diadu," ucap Randhy via telepon Kamis (31/8) malam.
Biarpun begitu, ia juga optimistis bahwa ulasan Dave Smith tidak akan begitu berpengaruh dengan kunjungan ke destinasi wisata ini. Sebab, menurut Randhy, data yang ia terima dari Dispar Touna per Januari hingga Juli 2023, sudah ada 5000 wisatawan asing yang berkunjung.
"Kalau misalnya banyak dari mereka komplain membandingkan soal harga dengan fasilitas, logikanya tidak akan banyak turis yang dominan dari Eropa datang ke Togean," kata Randhy.
Soal ekspektasi berlebihan Dave yang tidak pada tempatnya juga membetot perhatian Elisabeth Yusuf. "Ngana (Anda, red.) ke Maldives berarti ngana punya doi (uang), mar (sementara) ke Togean kasian torang pe harga cuma 350 ribu. Berarti ada yang keliru dengan ekspektasinya," ujar pemilik Paradise Resort yang berlokasi di Pulau Kadidiri, Togean.
Kepulauan Togean, tambah Elisabeth, menawarkan wisata privat. Sehingga tak tepat bila dibandingkan dengan destinasi macam Maladewa yang berkelas premium.
"Memasang ekspektasi terlalu tinggi untuk Togean yang masih jualan eco tourism. Dan mungkin dia terbiasa traveling ke tempat yang apa-apanya serba mudah sekali," tambah Randhy.
Selain itu, Randhy maupun Elisabeth kompak menyanggah ulasan Dave yang mengatakan bahwa buaya yang hidup di sekitar kawasan itu kerap diberi makan oleh warga lokal maupun pengelola resor. Walau tak menampik adanya buaya, mereka bilang hewan tersebut tak pernah mengganggu wisatawan.
Menyoal kondisi terumbu karang yang terlihat pucat dan mati, hal itu bisa jadi lantaran lokasi menyelam Dave tak jauh dari bibir pantai. Beda cerita jika menjelajah sedikit lebih jauh. Pemandangan bawah laut yang tersaji sungguh memanjakan mata.
Balai Taman Nasional Kepulauan Togean dalam beberapa tahun terakhir senantiasa menggenjot perbaikan dengan cara transplantasi karang. Ikhtiar pelestarian terumbu karang juga dilakukan.
Kepulauan Togean pariwisata turis Paradise Resort Pulau Kadidiri Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Dinas Pariwisata Sulteng