Menyoal klaim cuan fantastis dan praktik hilirisasi nikel di Indonesia
Penulis: Robert Dwiantoro | Publikasi: 17 Januari 2024 - 12:25
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Menyoal klaim cuan fantastis dan praktik hilirisasi nikel di Indonesia
Faisal Basri saat menjadi pembicara dalam seminar tentang industrialisasi berbasis SDA menuju Indonesia Emas 2045 yang diadakan oleh Ikatan Alumni Fakultas Teknik Universitas Indonesia (Sumber: eng.ui.ac.id)

Saban mendapat pertanyaan ihwal penghentian “hilirisasi nikel”, Presiden Jokowi selalu menjawab bahwa hilirisasi akan terus berlanjut. Keteguhan Jokowi soal kebijakan penghiliran bahan tambang itu setidaknya tergambar dalam tiga momen berbeda sepanjang 2023.

Saat menghadiri pelantikan Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) periode 2022-2025, Jokowi menegaskan agar tak takut hilirisasi industri sekalipun digugat organisasi perdagangan sedunia (WTO).

Konsistensi soal keberlanjutan hilirisasi nikel kembali dipertegas Jokowi saat meresmikan Light Rail Transit (LRT) di Stasiun Dukuh Atas, Jakarta. Jokowi bilang pemerintah tak akan hentikan hilirisasi industri.

Ketika membuka Rapat Kerja Nasional (Rakernas) HIPMI periode 2022-2025, Jokowi turut meminta agar presiden Indonesia berikutnya tak menghentikan hilirisasi.

Ada dua alasan kuat mengapa Jokowi bersikukuh agar kebijakan hilirisasi terus berlanjut. Jokowi meyakini nilai tambah akan meningkat karena adanya hilirisasi nikel dan akan merugi bila disetop.

Sekadar pengingat, kampanye soal hilirisasi nikel sudah mulai digaungkan pemerintah sejak 2017. Tahun 2020, Jokowi meneken kebijakan soal pelarangan ekspor nikel mentah ke luar negeri. Alhasil banyak negara meradang. Pemerintah Indonesia lantas mendapat gugatan dari WTO yang kini prosesnya banding.

Tak menguntungkan Indonesia

Namun, ekonom senior Universitas Indonesia (UI), Faisal Basri, justru menyebut kebijakan hilirisasi nikel hanya menguntungkan Tiongkok, bukannya Indonesia.

Faisal memberi perhitungan sederhana laba atas pengolahan bijih nikel yang menjadi salah satu bahan setengah mentah seperti feronikel.

“Misalnya bijih nikelnya 10, feronikelnya 50. Ada pertambahan nilai sebesar 40. Yang menikmati itu siapa? Pengusaha 100 persennya dari Cina, maka untungnya lari ke sana (Cina). Mereka juga dapat tax holiday sampai 20 tahun,” kata Faisal Basri saat ditemui Tutura.Id, Minggu (14/1/2024).

Sekadar informasi, tax holiday merupakan fasilitas perpajakan dengan maksud menggaet perusahaan baru agar mau berinvestasi dengan ganjaran mendapat insentif berupa pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan. Syaratnya bersedia menanamkan modal di dalam negeri selama periode waktu tertentu.

Dengan kata lain, jika mengambil contoh di Morowali atau Morowali Utara, korporasi pemilik smelter nikel bisa mendapat insentif bebas dan pengurangan tarif pajak penghasilan hingga 20 tahun.   

Selain itu, sambung Faisal, karena teknologinya juga berasal dari Tiongkok, ada biaya yang harus dikucurkan demi membayar hak paten atas teknologi itu.

Untuk membiayai operasional perusahaan, para pengusaha meminjam dari bank di Tiongkok. Bunga atas pinjaman itu otomatis kembali ke Tiongkok.

Menurut Faisal, hanya dua sumber pemasukan dari hilirisasi nikel, yakni Pajak Bumi Bangunan (PBB) dan pajak penghasilan tenaga kerja. Tetapi, nilai PBB itu nilainya seketip alias sepuluh sen.

Sementara dari sisi tenaga kerja, pekerja asing yang beroleh upah berkisar Rp17 juta sampai Rp54 juta per bulan, sekitar 99% pendapatan mereka juga kembali ke Tiongkok. Sedangkan 1% berputar di tempat kerja untuk belanja kebutuhan mereka.

“Smelter itu bukan padat karya seperti industri garmen. Dia padat modal dan teknologi, makanya tenaga kerjanya sedikit. Itu alasan kenapa orang Indonesia juga dapatnya sedikit. Kan nyata itu,” terang Faisal.

Ekonom senior Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) ini menilai ada kekeliruan dalam penghitungan Jokowi terkait hoki Rp510 triliun imbas hilirisasi nikel. Ia meminta agar Jokowi tak berulang kali menyesatkan publik di balik angka fantastis.

“Perusahaan Cina ubah bijih nikel jadi feronikel, hak dia untuk membawa hasil ekspornya. Jadi tidak masuk ke kita (Indonesia). Mereka juga tidak dikenai pajak ekspor, seperti perlakuan ke Freeport. Jadi, lima ratus sekian triliun itu bukan cuan kita,” ujarnya.

 
 
 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by Tutura.Id (@tutura.id)

Harusnya industrialisasi, bukan hilirisasi

Hal yang luput dalam evaluasi, menurut Faisal, terletak pada bagaimana seharusnya konsep hilirisasi industri ini berjalan.

Faisal lantas menganalogikan bagaimana impian warga Sulawesi manakala bahan mentah nikel dieksplorasi.

“Jika bijih nikel kami diolah smelter kami bisa bikin pabrik sendok, garpu, panci, dan segala macamnya. Tetapi ternyata tidak jadi, karena konsep yang diusung adalah hilirisasi bukan industrialisasi. Mengubah bijih nikel jadi feronikel, selesai di situ hilirisasinya,” jelasnya.

Perlu diketahui, konsep hilirisasi atau penghiliran adalah proses mengolah bahan baku menjadi bahan siap pakai.

Lebih lanjut, hilirisasi industri bermakna mengolah komoditas industri tertentu dengan tujuan mengoptimalkan produk bernilai jual tinggi. Contoh dari hilirisasi nikel adalah logam antikarat dan baterai.

Namun bila melihat laporan Badan Riset Nasional Indonesia (BRIN), hasil olahan nikel di Indonesia seperti feronikel, nickel pig iron (NPI), nickel matte, mix hidroxide preciptate (MHP), dan mix sulphide preciptate (MSP) adalah produk turunan awal alias masih kategori bahan mentah, bukan barang siap pakai.

Alasan lain terus menggenjot hilirisasi nikel, sambung Faisal, adalah kebutuhan akan bahan baku kendaraan listrik seperti baterai. Tetapi faktanya, hingga saat ini belum ada pabrik baterai yang didirikan di Indonesia. Kalaupun nantinya ada, nikelnya sudah pasti habis.

“13 tahun lagi di data sekarang, bisa 6-11 tahun atau sekitar 10 tahun lagi, jika di Indonesia bertaburan mobil listrik, itu nikel impor karena sudah lebih dulu habis. Kalau industrialisasi, kan, tidak akan hilang kalau tidak diolah,” ungkapnya.

Faisal membandingkan konsep hilirisasi nikel antara Indonesia dan Australia. Kedua negara tetangga ini punya cadangan nikel sama yakni mencapai 21 juta ton.

Hanya saja di Negeri Kangguru itu, lanjut Faisal, lebih sustainable sebab hanya mengeksplorasi sekitar 160 ribu ton per tahun dan bisa bertahan hingga 130 tahun karena pertimbangan kelangkaan jenis tambang ini. Bandingkan dengan Indonesia yang memproduksi sekitar 1,6 juta ton (2022).

“Harusnya kita merancang dulu skema kerjasama antara perusahaan daerah dengan asing. Kita punya bahan baku, mereka punya teknologi. Posisinya setara, bukannya jadi kuli seperti sekarang. Sehingga nanti bisa sepakat untuk bikin sendok, panci, pisau, dan lain sebagainya sama-sama,” pungkasnya. 

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
0
Jatuh cinta
0
Lucu
0
Sedih
3
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Unjuk karya pelaku usaha kerajinan tangan di Sulteng
Unjuk karya pelaku usaha kerajinan tangan di Sulteng
Handicraft Expo Sulteng 2023 menghadirkan 10 perwakilan Dekranasda dan 9 pelaku IKM yang bergerak di…
TUTURA.ID - Sosialisasi dan perlindungan kepada pekerja migran asal Sigi
Sosialisasi dan perlindungan kepada pekerja migran asal Sigi
Wakil Bupati Sigi Samuel Yansen Pongi menekankan pentingnya aspek legalitas hukum bagi para calon pekerja…
TUTURA.ID - Berharap pakan dari penjual sayuran di Pasar Inpres
Berharap pakan dari penjual sayuran di Pasar Inpres
Para peternak makin kesusahan mencari pakan lantaran ketiadaan padang rumput. Sisa sayuran di pasar kini…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng