Seorang bijak bestari yang telah sepuh menitipkan pesan kepada generasi penerusnya untuk jangan pernah melupakan oyot alias akar. Dalam versi lain nasihat itu berbunyi, “Ilmu boleh setinggi langit, tapi jangan meninggalkan sejarah.”
Akar bisa dimaksudkan sebagai muasal pembentuk jati diri yang penuh dengan perbendaharaan kearifan lokal. Terlebih di Indonesia yang memiliki keanekaragaman suku dan budaya. Masing-masing punya ciri khas yang menjadikannya spesial. Unik. Mahal.
Pun demikian, seiring derap kemodernan yang kian maju ke depan, akar banyak dianggap sebagai sesuatu yang kuno. Sudah tak relevan dan sesuai semangat zaman. Akar yang semestinya terus diperkuat pelan-pelan akhirnya tercerabut, bahkan mati. Tersisa cerita belaka.
Lihat saja kondisinya sekarang. Ada banyak bahasa daerah, tarian, upacara adat, bahkan alat musik tradisional beserta keseniannya menuju ambang kepunahan karena sangat terbatas kalangan muda bersedia melestarikannya.
Salah satu contohnya kesenian dadendate yang tercatat sebagai warisan budaya takbenda Indonesia pada 2015 di Kemdikbud.
Dalam konteks musik, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan eksplisit menyebut bahwa musik tradisional wajib dilindungi kelestariannya.
Pasalnya kekayaan musik tradisional, daerah, atau etnik merupakan salah satu objek pemajuan kebudayaan yang bertujuan membentuk karakter bangsa, ketahanan budaya, kesejahteraan, dan diplomasi budaya.
Salah satu langkah melestarikannya adalah memperbanyak acara yang memberikan ruang kepada para seniman musik daerah untuk berpartisipasi.
Terpenting dalam tata kelola industri musik, para pelaku musik daerah harus senantiasa dilibatkan. Dengan demikian tercipta ekosistem yang adil dan lestari.
Keramaian kembali tercipta di Khans Studio di Jalan Tembang, Kelurahan Lere, Palu, Jumat (25/11/2022) malam. Sejak kaki memasuki area depan studio yang juga difungsikan sebagai tempat parkir kendaraan, lalu-lalang tiada henti. Beberapa memilih duduk berkumpul untuk sekadar mengobrol.
Mereka datang untuk menyaksikan Festival Musik Daerah (FMD) 2022 yang diselenggarakan Dinas Pariwisata Sulawesi Tengah. Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu, dan Musik Repulik Indonesia DPD Sulawesi Tengah (PAPPRI Sulteng) dan Seleksi Alam Management dipercayakan sebagai penanggung jawab acara.
Acara perdana itu bertujuan mengangkat musik daerah yang ada di Sulawesi Tengah agar terekspos lebih banyak kepada masyarakat luas. Pun memberikan wadah bagi musisi lokal yang mengusung lagu-lagu daerah.
Hilwa Humayrah selaku Event Manager FMD mengaku hanya punya waktu pendek untuk mempersiapkan segala keperluan acara. “Segala persiapan mulai dari administrasi, konsep, hingga produksi hanya dua minggu,” tulisnya saatnya dihubungi Tutura.Id melalui pesan singkat, Rabu (30/11/2022).
Alhasil Hilwa bersama rekan-rekannya harus kerja cepat untuk mewujudkan acara. Walaupun mepet, tak ada alasan untuk menolak. Pasalnya acara-acara musik seperti ini di Kota Palu terbilang minim.
Padahal, seperti juga di daerah lain, ada banyak karya lagu dan seniman daerah yang menanti undangan untuk tampil.
Terlebih lagi Sulawesi Tengah memiliki seorang maestro kesenian daerah bernama Hasan Muhammad Bahasyuan (1930-1987). Sosok ini mewariskan begitu banyak ciptaan lagu daerah—juga tarian—yang terbuka untuk dieksplorasi.
Oleh karena itu, semua pihak dengan semangat kolaborasi berupaya semaksimal mungkin menghelat FMD. Harapan besarnya acara ini bisa menumbuhkan apresiasi penonton. Menepis anggapan bahwa musik daerah tak melulu sinonim dengan hal-hal yang serba kuno atau ketinggalan zaman.
“Visi misi dari event ini mau mengangkat musik daerah di Sulteng yang sejak dulu orang berpikir bahwa musik daerah itu hanya berbahasa daerah. Padahal kalau kita telisik lebih dalam, musik hip-hop yang sekarang mendunia itu berasal dari kawasan Afrika. Begitu juga musik blues yang bermula dari kawasan pinggiran. Itu juga awalnya dari musik daerah,” terang Hilwa kepada reporter Mohammad Rifky di lokasi acara.
Sekretaris Dinas Pariwisata Sulteng Drs. Ambo Tuwo M dalam pembukaannya berharap FMD bisa menjadi jembatan publikasi antara kesenian terdahulu dengan generasi baru dalam konteks pertunjukan.
Suguhan musik daerah dengan segala kekayaannya justru bisa jadi pilihan bagi mereka yang mulai jenuh mendengar kepungan musik modern.
Pembukaan FMD menampilkan Tari Mokambu atau Tari Peulu Cinde yang biasanya diadakan untuk menyambut kedatangan tetamu.
Lalu, para musisi yang dihadirkan sebagai pengisi panggung pertunjukan adalah LOMXX bersama Dela dan Ikro, Salibow Ensemble, Iphy Topeko featuring Ulhy Baba, DPR Band yang menghadirkan duet Layla Bahasyuan dan Masriani Sukri, serta Aci the Box, dan Culture Project sebagai pamungkas.
Tentu saja mereka yang beraksi di atas panggung tidak hadir mengusung musik daerah dalam wujudnya yang asli.
Penyesuaian tetap dilakukan, terutama dari segi aransemen musik yang disajikan secara modern, agar tetap bisa sejalan dengan tren musik yang berlaku sekarang. Penggunaan lirik berbahasa daerah Kaili yang tetap dipertahankan.
Kompromi yang demikian telah banyak dilakukan sejumlah musisi. Paling terkenal kita bisa ambil contoh bagaimana Dewa Budjana (gitaris kelompok musik Gigi) menyisipkan ornamen-ornamen musik daerah Bali dalam setiap karya yang termaktub melalui album-album solonya.
Kelompok White Shoes & the Couples Company (WSATCC) yang cukup masyhur di skena musik independen pernah pula merilis mini album bertajuk Menyanyikan Lagu-Lagu Daerah. Isinya lima lagu dari berbagai daerah yang diaransemen ulang sesuai gaya musik WSATCC. Semisal lagu “Tjangkurileung” asal Sunda yang hadir kental dengan irama rock n’ roll.
Musisi lain yang melakoni langkah serupa adalah Sri Hanuraga Trio yang terdiri dari Sri Hanuraga (pianis), Elfa Zulham (drummer), dan Kevin Yosua (bassis). Lewat album Indonesia Vol. 1 (rilis 2016) dan Indonesia Vol. 2 (2019), trio ini membalut musik-musik tradisional dengan kemasan modern.
“Musik daerah Indonesia itu bagus-bagus. Sayangnya jarang terekspos. Kami ingin mengangkatnya kembali dengan pendekatan yang lebih canggih supaya anak muda lebih bisa menikmati,” ujar Hanuraga.
Walaupun persiapan mepet, FMD berlangsung mulus tanpa kendala berarti. Ruangan Khans Studio yang berkapasitas sekitar 500-600 nyaris terisi penuh. Aspek teknis berupa tata suara dan suguhan visual dalam bentuk projection mapping garapan Kukuh Ramadan juga memanjakan para penonton.
Jika saja melakoni persiapan lebih panjang dan matang, bukan tak mungkin pentas FMD perdana bisa tersajikan lebih optimal. Dengan demikian, upaya mengajak pelaku seni budaya dan kelompok masyarakat untuk merawat kekayaan budaya di Sulteng bisa makin luas terdengar gaung dan pengaruhnya.
Berbekal semangat tersebut, ajang Festival Musik Daerah—juga acara-acara serupa—sudah seharusnya menjadi agenda rutin.
Festival Musik Daerah musik daerah musik tradisional musik etnik PAPPRI Sulteng Seleksi Alam Management Culture Project Hasan Bahasyuan Suku Kaili ekosistem musik industri musik Khans Studio dadendate pemajuan kebudayaan