Kehadiran lagu-lagu anak Indonesia di tangga musik populer jadi fenomena langka saat ini. Beda cerita dengan kejadian abad silam. Dekade sebelum pergantian milenium ketiga.
Jika mengharapkan kehadiran lagu anak yang merepresentasikan khazanah budaya sendiri alias dibawakan dengan lirik berbahasa daerah, maka statusnya bukan lagi langka, tapi mungkin tak berlebihan menyebutnya hampir punah.
Semisal ada figur anak-anak yang muncul jadi idola, entah dari hasil ajang pencarian bakat atau mendadak beken di media sosial, biasanya mereka hadir membawakan lagu yang jauh melampaui usianya. Alias membawakan lagu-lagu dengan lirik tentang cinta-cintaan. Alamak.
Mungkin tetap ada yang jadi pengecualian. Hanya saja jumlahnya tidak banyak dan minim eksposur. Alhasil menemukan sosok anak yang dimaksud bagai mencari jarum dalam tumpukan jerami.
Kekhawatiran mandeknya regenerasi penyanyi lagu anak yang membawakan lagu berbahasa Kaili juga menggelayut di benak Irzan. Pendiri Taman Baca Masyarakat (TBM) Tata Vuri merasa penting untuk mengenalkan kembali akar budaya melalui lagu anak.
Hasilnya terdengar lewat "Tabe", "Naroo Maya", "Ule Sava", dan "Lalove". Keempat lagu tersebut sebenarnya sudah diperdengarkan dalam acara Pekan Kebudayaan Nasional yang berlangsung di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta Pusat (20-29/10/2023).
Perilisannya untuk kalangan lebih luas mulai 20 Mei 2024 melalui layanan pengaliran musik Spotify.
Saat dihubungi Tutura.Id, Kamis (16/5/2024), Irzan mengungkapkan bahwa keterlibatan TBM Tata Vuri merupakan hasil rekomendasi Forum Taman Baca Masyarakat (FTBM) Sulteng.
“Akhirnya kami menjadi salah satu peserta residensi kebudayaan yang bekerja sama dengan musisi untuk membuat musik anak berbahasa daerah, khususnya bahasa daerah Kaili,”jelas Irzan melalui pesan WhatsApp.
Selama proses penggarapan keempat lagu tersebut, TBM Tata Vuri berkolaborasi dengan Yayasan Peduli Musik Anak Indonesia (YPMAI). Sepekan lamanya, Ribut Cahyono dan Karina Adistiyana—pasangan suami istri pendiri YPMAI—tinggal di Palu untuk belajar soal instrumen, permainan, dan musik tradisional Kaili.
Hal lain yang tak lupa mereka lakukan adalah mengadakan lokakarya alias workshop dengan melibatkan para orang tua yang berada di sekitar Kelurahan Tipo, Kecamatan Ulujadi, lokasi TBM Tata Vuri.
“Untuk lagunya kami melibatkan orang tua untuk penulisan lirik. Mereka ini yang tahu apa yang ingin disampaikan saat mendidik anak. Makanya keempat lagu itu pesan moralnya tentang kehidupan sehari-hari,” ungkap Irzan.
Ribut Cahyono dan Karina Adistiyana percaya bahwa musik adalah media atau alat pendidikan yang punya kekuatan menanamkan nilai positif kepada anak dan keluarga.
Jika diterjemahkan, “Tabe” berarti ungkapan permisi atau hormat, sama dengan tabik. Sedangkan "Naroo Mayaa" artinya kepercayaan diri. "Ule Sava" berarti ular sawah dan "Lalove" tiada lain alat musik tiup tradisional Sulteng.
Pelibatan orang tua anak tak hanya untuk kepentingan penulisan lirik lagu, tapi juga hingga pembuatan aransemen musik.
“Aransemennya kami kerjakan bersama. Orang tua menulis (lirik), anak-anak jadi pengisi suara, dan Kak Ibud (sapaan Ribut Cahyono, red.) dan Kak Anyi (Karina Adistiyana) yang memonitor soal pesan pendidikan anak yang ingin disampaikan,” tambah Irzan.
Segala proses pengerjaan keempat lagu tersebut rampung dalam tempo enam hari yang ditandai pementasan hasil karya kepada masyarakat di sekitar TBM Tata Vuri.
Dijelaskan Irzan, tujuan utama pembuatan lagu-lagu yang memuat pengetahuan dasar budaya Kaili ini dimaksudkan agar anak-anak dan orang tua tidak melupakan akar budaya lokal mereka. Penyampaiannya melalui lagu agar jadi tidak membosankan.
Walaupun dirilis melalui platform Spotify, Irzan mengatakan orang tua dan anak-anak tetap mendapatkan akses secara gratis untuk mendengarkannya.
“Kami tetap putarkan di TBM setiap mereka datang belajar. Kami juga kirim lewat WhatsApp kalau ada orang tua yang minta. Jadi, lagunya bisa didengarkan oleh semua orang,” pungkas Irzan.
Ibut dan Anyi saat kami hubungi melalui aplikasi Zoom Meeting, Jumat (17/5), berharap perilisan lagu-lagu anak berbahasa Kaili ini menjadi sebuah modul pembelajaran yang bisa diperkenalkan para orang tua kepada anak-anaknya.
“Jadi esensi dari menciptakan lagu ini sebenarnya bukan berapa banyak diputar, tapi berapa banyak anak dan orang tua yang mendengarkan lagu ini dan menjadikannya alat untuk belajar bersama nantinya,” tutur Anyi.
Ibut menambahkan bahwa alasan mereka melirik proposal yang diajukan TBM Tata Vuri karena kesamaan tujuan, yakni mengenalkan kembali akar budaya kepada anak melalui musik.
Pasutri ini juga berharap keempat lagu hasil kolaborasi dengan TBM Tata Vuri bukan sekedar hiburan, tapi bisa menebalkan kesadaran dan kepedulian tentang pentingnya mengenalkan budaya lokal kepada anak sejak dini.
lagu anak budaya kesenian TBM Tata Vuri taman baca masyarakat Forum TBM Sulteng Yayasan Peduli Musik Anak Indonesia Spotify