Istilah catcalling belum memiliki padanan kata resmi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Ivan Lanin, wikipediawan dan pemerhati Bahasa Indonesia, melalui unggahannya di Instagram lempar usul pakai istilah "pelucahan" untuk menyebut pelecehan seksual dalam bentuk siul, komentar, dan sebagainya. Lucah dalam KBBI berarti cabul.
Komisioner Komnas Perempuan Rainy Hutabarat dalam wawancaranya bersama Kompas.com, menganggap catcalling salah satu bentuk pelecehan seksual dalam bentuk kekerasan verbal atau kekerasan psikis.
Menurutnya, catcalling bernuansa seksual dalam ucapan, komentar, siulan, atau pujian, kadang-kadang disertai kedipan mata. Korban merasa dilecehkan, tak nyaman, terganggu, bahkan terteror.
Pujian atau sapaan bernuansa seksual yang selama ini dianggap biasa saja juga bisa dikategorikan catcalling.
Kejadiannya biasa di ruang publik. Sendirian atau beramai-ramai. Korbannya, walaupun lebih sering menimpa perempuan, sebenarnya tak pandang gender. Laki-laki juga bisa jadi korban.
Duta Genre Sulteng Krisna Puspita (22) kepada Tutura.Id mengaku pernah menjadi korban catcalling. Peristiwa yang hingga saat ini masih sulit dilupakannya.
Satu waktu, Krisna berboncengan naik motor bersama adiknya. Kebetulan Krisna memakai gaun panjang semata kaki. Gaun ini memiliki belahan di satu sisi hingga mencapai lutut.
Lagi asyik berkendara, tiba-tiba motor Krisna dipepet oleh satu mobil. Isinya beberapa laki-laki. Mobil ini terus mengikuti mereka dengan jarak dekat sejauh satu kilometer.
Yang bikin jantung Krisna berdebar ketakutan, laki-laki di dalam mobil ikut berteriak memanggil Krisna dan adiknya. Para lelaki itu bahkan sampai menurunkan kaca mobil.
“Mereka langsung buka kaca semua baru habis itu panggil-panggil, ‘Baju coklat, baju coklat’. Saya langsung ba laju, tapi mereka tambah laju lagi. Maksudnya dipepet terus, jadi berbahaya di jalan raya,” kisahnya melalui sambungan telepon, Rabu (17/5/2023).
Sadar bahwa catcalling bisa menimpa siapa pun, Krisna mengaku ingin menaikkan kesadaran terhadap pelecehan verbal ini. Agar banyak orang bisa menyadari catcalling bukan hal yang remeh-temeh. Salah satunya dengan memanfaatkan media sosial miliknya.
Melalui akun Instagram, Krisna menyampaikan betapa tidak nyamannya mendapat perlakuan catcalling.
Untuk itu dia mendorong siapa saja yang pernah mengalami nasib serupa dengannya untuk berani bersuara. Tak hanya diam dan pasrah menerima keadaan.
Dia juga berharap para pelaku catcalling menyadari betapa salah perbuatan mereka selama ini.
Pengalaman mendapatkan catcalling juga dialami oleh Boim (bukan nama sebenarnya).
Laki-laki muda ini punya hobi berolahraga di tempat publik di Kota Palu. Dia suka menjaga kesehatan dan merawat tubuhnya agar tetap bugar.
Namun, aktivitas regulernya ini tidak bisa dilakukannya dengan nyaman. Pasalnya, Boim mengaku kerap mendapatkan sahutan berbau seksual dari orang asing. Utamanya perempuan.
Awalnya, dia tidak menggubris. Lantaran sering kejadian dan akhirnya bikin risih, Boim akhirnya merasa tidak nyaman.
“Saya dapat catcalling pas lagi joging. Dibilang, ‘Cowok dan, uhuy, semangat’,” kata Boim menirukan sahutan pelaku kepada Tutura.Id, Rabu (17/5).
Catcalling dalam UU TPKS
Sesuai Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), catcalling termasuk perbuatan seksual nonfisik.
Ancaman hukuman bagi catcaller alias pelaku berupa pidana penjara selama 9 bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp10 juta.
Pasal 5 dalam UU tersebut menyatakan, "Setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya, dipidana karena pelecehan seksual nonfisik."
Direktur Lingkar Belajar untuk Perempuan (LIBU Perempuan) Sulteng, Dewi Rana, mengatakan sejauh ini laporan tertulis untuk kasus kekerasan seksual catcalling sangat jarang ditemukan.
Pasalnya, meskipun catcalling bisa dilaporkan secara hukum, namun pada proses selanjutnya memiliki banyak kendala dari segi pembuktian dan lainnya. Alhasil masih sulit menyeret pelaku ke penjara.
Memberikan edukasi bahwa catcalling merupakan bentuk kekerasan seksual penting untuk terus dilakukan. Tak ada lagi pemakluman terhadap pelaku tindakan ini.
“Salah jika seseorang berpikir catcalling merupakan hal biasa. Catcalling salah satu pintu masuk untuk melakukan kekerasan yang lebih besar,” ujarnya saat dihubungi via telepon, Kamis (18/5).
Dewi mengapresiasi langkah pemerintah yang telah memasukan catcalling dalam UU TPKS. Artinya ada kemajuan dari sisi regulasi untuk melindungi korban kekerasan seksual nonfisik.
Meski dalam pratiknya di lapangan, mewujudkan kondisi ideal sesuai dengan UU TPKS tidak semulus yang dibayangkan.
Terpenting adalah konsisten menciptakan ruang aman dan nyaman bagi siapa saja. Pun memberikan sanksi tegas bagi yang terbukti melanggar.***