Para sastrawan, musisi, pemain teater, dan apresiator seni guyub berkumpul di Desa Pombewe, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi, Jumat-Sabtu (19-20/5/2023).
Mengacu peta jalan yang disediakan Google, jarak tempuh dari Tugu Nol Kilomoter, Kota Palu, menuju desa ini merentang sepanjang 22 kilometer. Butuh waktu sekitar sejam mencapainya jika menggunakan kendaraan bermotor.
Bersatunya para pelaku seni ini untuk meramaikan acara “Sa Lando Art” yang terbagi dua sesi. Hari pertama menampilkan beragam pembacaan karya sastra, antara lain oleh Aba Said, Ade Rotan, Imar Dahlan, Nursalim Saputra, Ipin Celvin, Teater Kampung Cermin, Winston Dacu, Yojo Rifal, hingga Zikran.
Keesokan harinya giliran pertunjukan musik yang beraksi, mulai dari Polelea Sigi, Kompos, Carabbean Bunglon, Ipi Topeko, Vatu Vuri, Kodara, Robel, Palmaica, dan Tradi Grada.
Jangan bayangkan perhelatan ini laiknya ekshibisi seni modern yang menggunakan panggung dari rangka besi, bermandikan sorot lampu, dan tata suara dari tumpukan pelantang berukuran super besar.
Rangkaian “Sa Lando Art” garapan Kasiromu Lando Pombewe bersama Dewan Kesenian Sigi hadir bersahaja dan intim. Tempatnya menumpang pelataran rumah milik seorang warga yang tak seberapa luas. Om Dedi panggilan akrab warga setempat kepada sang empunya rumah.
Tumpukan jerami menghambur di atas tanah diibaratkan karpet, pelepah-pelepah pisang kering berderet seolah tirai, sedangkan batang-batang bambu difungsikan jadi penyangganya.
Para penonton duduk menyaksikan beberapa hasta di depan. Bahkan meluber hingga mengambil sepenggal sisi jalan.
Jumadi yang jadi salah satu inisiator mengungkap persiapan untuk menghelat acara ini hanya sepekan. Seluruh peralatan panggung dikumpulkan bermodal ikatan pertemanan yang terjalin dari aktivitas berkesenian.
Melihat antusiasme penonton yang datang menyaksikan acara ini, Madi—saapaan akrab Jumadi—makin yakin betapa kesenian selalu punya nilai berkesan di hati masyarakat. Episentrum untuk saling bertukar gagasan dan berbagi pengalaman. Dua arah.
Bagi mereka yang punya nilai apresiasi, alasan datang menikmati pementasan seni juga tak sekadar karena tergoda kemasan megah yang jadi pembungkusnya. Para seniman tak pula gampang silau dengan euforia tepuk tangan yang membahana.
Menggungat ketidakadilan para penguasa
Pembuka hari pertama yang menyuguhkan pembacaan karya sastra menampilkan Yojo Rifal. Yojo yang berasal dari Desa Loru membacakan prosa romantis.
Selanjutnya giliran Ipin Celvin dari Komunitas Lobo yang berdiri menampilkan musikalisasi puisi berjudul “Kesaksian Akhir Abad” karya W.S. Rendra (1935-2009).
Dengan puisi ini aku bersaksi
bahwa sampai saat puisi ini aku tandatangani,
para elit politik yang berkedudukan
atau pun yang masih di jalan,
tidak pernah memperjuangkan
sarana-sarana kemerdekaan rakyat.
Mereka hanya rusuh dan gaduh
memperjuangkan kedaulatan
golongannya sendiri!
Petikan bait puisi yang masih terasa masih relevan dengan kondisi hari ini. Kendati Rendra menciptakannya pada 31 Desember 1999 dan disempurnakan 6 November 2001.
Giliran berikutnya diisi sentuhan aksi teatrikal oleh Aba Ais Sugali saat membacakan karya bertajuk "Mencari Tanah Air Indonesia". Isinya menyinggung soal patriotisme, negara, dan penguasa.
Walaupun penyelenggara tidak membatasi tema yang ingin disuguhkan oleh para penampil, mayoritas isi yang disampaikan menyangkut kritik sosial.
Penampilan Teater Kampung Cermin, misalnya, lugas menyemburkan sarkasme dalam prosa sastra berjudul “Bangkitnya Para Anjing” karya Izat Gunawan. Isinya protes terhadap ketidakadilan di masyarakat karena ulah penguasa.
Imar Dahlan juga tak ketinggalan membacakan puisi ciptaannya berjudul “Duka di Pesisir”. Isi diksinya berangkat dari kisah-kisah kesedihan nelayan di atas kemewahan kutu busuk (penguasa).
Demikianlah hari pertama penyelenggaraan “Sa Lando Art” yang sarat berisi realita sosial terkini. Mengutip bait dalam sajak “Sebatang Lisong” karya Rendra, “Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan.”
“Sa Lando Art” menstimulasi intensitas berkesenian di Lando
Kata sa lando bermakna satu rumah. Sementara jika kedua kata tersebut ditulis serangkai menjadi salandoa, artinya menjadi salam.
Dus, perhelatan “Sa Lando Art” bagi para penggagasnya berarti salam dari seni. Akbar mengakui geliat berkesenian di wilayah Lando sempat mengalami stagnansi sejak 2009.
Salah satu penyebabnya karena ketiadaan regenerasi. Para maestro seni di daerah tersebut yang satu per satu telah berpulang tak punya penerus.
Generasi muda tak banyak yang berminat menyelami dunia seni, terlebih kesenian tradisional. Kebanyakan lebih tergoda menekuri aneka produk budaya asing seiring cepatnya akses informasi zaman kiwari.
Oleh karena itu, “Sa Lando Art” diharapkan bisa memicu bangkitnya kembali segala perhelatan kesenian di wilayah Lando. Pun jadi wadah menyiapkan generasi-generasi penerus.
“Misi lainnya untuk mendekatkan lagi psikologi warga Desa Loru dan Desa Pombewe yang tahun-tahun terdahulu dilanda konflik,” ungkap Akbar.
Konflik antardesa pula yang membuat geliat kegiatan seni di wilayah Sigi menjadi senyap. Banyak warga yang terlibat bentrokan. Madi menyakini keberhasilan meredam konflik bisa tumbuh dengan cara berkesenian.
Hasilnya sudah terlihat. Warga kedua desa tersebut kini bisa kembali bersilaturahmi dengan damai melalui seni. Slogan “Seni Menyatukan” ternyata tak sekadar isapan jempol.
Sa Lando Art Desa Pombewe Lando Sigi sajak puisi teater seniman sastrawan kesenian kritik sosial W.S. Rendra