Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, Rudy Sufahriadi memastikan telah menembak mati Askar alias Jaid alias Pak Guru, anggota terakhir Mujahidin Indonesia Timur (MIT).
Kontak senjata yang termasuk bagian Operasi Madago Raya itu terjadi di area perkebunan rakyat Kilometer 13, Desa Kawende, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Kamis (29/9/2022) malam. Turut diamankan pula tiga bom lontong atau bom pipa dan senjata api jenis revolver.
Sekadar pengingat, Operasi Madago Raya yang sebelumnya bernama Operasi Tinombala dilancarkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sejak 2016 di wilayah Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Prioritasnya menumpas kelompok terorisme berstatus Daftar Pencarian Orang (DPO).
Dalam melaksanakan tugasnya, Satgas Madago Raya juga dituntut melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan, termasuk rehabilitasi, reintegrasi, serta pembinaan kepada masyarakat di wilayah operasi, biasanya untuk mereka yang sudah terpapar atau yang pernah terpapar.
Direktur Celebes Institute Adriany Badrah mengapresiasi pencapaian tersebut saat diwawancarai Tutura.Id via sambungan telepon (1/10).
Terkait perburuan terhadap simpatisan MIT dalam beberapa bulan terakhir, penegakan hukum juga pernah ditempuh. Semisal penangkapan terhadap 24 simpatisan yang terjadi Mei 2022.
Adriany membagi simpatisan terorisme dalam dua kategori; aktif dan pasif. Dikatakan aktif bila mereka memberikan bantuan terhadap kelompok ekstrimisme secara terorganisir.
Sedangkan yang termasuk kategori pasif jika memberikan dukungan tidak terorganisir. Simpatisan pasif tidak mempermasalahkan terhadap aksi teror yang dilakukan. Ada semacam doktrin: Selemah-lemahnya iman, simpatisan pasif turut mendoakan kelancaran para kelompok ekstrimis.
Jika merujuk Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024, Adriany menilai upaya yang dilakukan Pemerintah Daerah Sulteng belum serius.
Seharusnya Pemda Sulteng fokus terhadap pencegahan dan penanggulangan. Semisal mengambil tindakan terhadap beberapa pesantren di Poso yang terdeteksi menjadi embrio paham radikal, karena ranahnya masuk dalam ranah kebijakan. Pun demikian dengan majelis-majelis taklim.
“Ini kan harus terkoordinasi, padahal itukan sudah terdeteksi beberapa yang ada di Poso,” tegas peraih gelar Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik di Universtas Gadjah Mada itu.
Menurutnya, bila merujuk pada Perpres di atas maka tidak perlu lagi ada perpanjangan Operasi Madago Raya untuk memburu simpatisan. Pasalnya simpatisan yang dimaksudkan tidak hanya jadi tanggung jawab aparat keamanan, tetapi juga pemerintah daerah.
“Operasi perburuan sudah pernah makan korban salah tembak. Pada Juni 2020, ada dua orang warga Poso. Perpanjangan operasi saat kelompok MIT sudah habis akan memberikan risiko serupa pada warga. Selain itu, area yang menjadi titik operasi tentu akan membatasi area masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya," lanjut Adriany.
Contohnya bila ada kebun warga yang menjadi area operasi, maka warga tidak dapat berkebun. "Jadi tidak ada lagi alasan untuk memperpanjang Operasi Madago Raya,” tutur Adriany.
Kurun tahun ini, Operasi Madago Raya yang melibatkan 1376 personel gabungan TNI dan Polri telah berlangsung dalam beberapa tahap. Tahap pertama berlangsung Januari-Maret, kemudian April-Juni, Juli-September.
Bila ingin diperpanjang, seharusnya dilakukan terlebih dahulu evaluasi dan laporan pertanggungjawaban kepada publik.
Isi laporan itu harus memuat beberapa poin, di antaranya penggunaan anggaran. Dalam APBD-P Sulteng tahun 2021, sebesar Rp3,6 miliar dana dialirkan untuk Satgas Madago Raya. Kedua, transparansi terhadap rehabilitasi dan rekonstruksi terhadap korban salah tembak. Poin-poin yang tercantum dalam Perpres No. 7/2021 mestinya dilakukan.
Tewasnya Askar alias Pak Guru tidak lantas menjamin pengikut paham ekstrimisme otomatis tumpas. “Majelis taklim dan pesantren yang tidak terdaftar tetapi masih tetap aktif, itu bagaimana? Itukan jadi embrio. Tanpa ada pemutusan mata rantai secara ekstrem, kita tinggal menunggu waktu lagi,” ungkap Adriany.
Oleh karena itu, fokus yang sebaiknya dilakukan sekarang adalah upaya pencegahan dan penanggulangan secara sistematis, terencana, dan terpadu.
Keran-keran komunikasi seharusnya menjadi priotitas ketimbang memburu para simpatisan dengan aksi baku tembak. Intelijen punya data yang ril. Kerja-kerja intelijen seharusnya dilakukan secara maksimal agar kejadian salah tembak tidak berulang.
“Untuk apa menghabiskan energi memikirkan orang yang di gunung. Konsentrasinya harusnya memikirkan mereka yang masih bermukim,” pungkas Adriany.
Mujahidin Indonesia Timur Palu DPO Operasi Tinombala Operasi Madago Raya TNI Polri