Ridha Saleh: Dari gelanggang aktivis bersiasat menuju kursi wali kota Palu
Penulis: Robert Dwiantoro | Publikasi: 25 Februari 2023 - 19:43
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Ridha Saleh: Dari gelanggang aktivis bersiasat menuju kursi wali kota Palu
Ridha "Edang" Saleh, malang melintang di dunia aktivisme kini mengintip peluang bertarung di jagat politik praktis. | Foto: Istimewa

Pada satu akhir pekan yang basah, 12 Februari 2023, Ridha Saleh mengambil jeda dari rutinitasnya. Ia memilih bersantai sambil menerima tetamu di Sekolah Alam Kamalisi, Dusun Lambara, Desa Daenggune, Kecamatan Kinovaro, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. 

Pria yang karib disapa Edang itu sering menghabiskan akhir pekan di sekolah alam yang dirintisnya bersama Pusat Inovasi Hijau Indonesia. 

Sejak medio 2021, Ridha memang sibuk mendampingi Rusdy “Cudy“ Mastura, orang nomor satu di Sulteng. Ia ditunjuk jadi salah satu--dari dua belas--tenaga ahli yang mendampingi Gubernur Cudy. Ia kebagian tugas mengurusi bidang kemasyarakatan, hubungan antarlembaga, dan hak asasi manusia (HAM). 

Ridha sering pula jadi juru bicara bagi Gubernur Cudy pada topik keadilan sosial, HAM, dan lingkungan. Dengan latar belakangnya sebagai aktivis, Ridha fasih membicarakan pelbagai topik itu.

Pria kelahiran 31 Maret 1970 ini sudah malang melintang dalam jejaring aktivisme, lokal maupun nasional. Pertemuannya dengan dunia pegiat sosial terjadi pada akhir era 1980-an atau lebih dari tiga dekade lalu. Ia sempat bergiat di Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (2002-2006). Pun pernah jadi komisioner Komnas HAM (2007–2012).  

Ridha jauh dari stereotipe aktivis yang berapi-api saat menyampaikan gagasan. Ridha punya tutur kata nan santun, tanpa harus kehilangan ketegasan saat menyampaikan ide. Alhasil, ia mampu berkomunikasi dengan banyak orang dari pelbagai kalangan, termasuk para politisi dan birokrat.

Kepada Tutura.Id, Ridha menceritakan banyak hal. Mulai dari perjalanannya sebagai aktivis, hingga angan-angannya untuk berkompetisi dalam Pilkada Kota Palu 2024.

Ridha Saleh mendampingi Rusdy Mastura jelang momen pernikahan anak Rusdy, Sultan Malikul Mastura. | Foto: Istimewa 

Perkenalan dengan dunia aktivisme

“Masa kecil saya banyak dihabiskan di Kelurahan Baru. Ibu seorang guru SD. Ayah seorang pengusaha kayu (mebel),” kenang Ridha. Ia tumbuh di lingkungan para pendidik. Banyak anggota keluarga besarnya berprofesi sebagai guru, dan dosen.

Tak hanya pendidikan formal, keluarga Ridha juga punya latar keagamaan yang kuat. Ibunya tak sekadar pendidik di sekolahan, melainkan punya sambilan sebagai guru mengaji. 

Tak heran bila selepas lulus sekolah dasar, Ridha pilih melanjutkan ke lembaga pendidikan berbasis keagamaan. Ia merantau ke Malang, Jawa Timur, dan menimba ilmu di dua pondok pesantren berbeda, yakni Darut Tauhid dan Al-Khoirot.

Ia baru balik ke Palu saat bersekolah di SMAN 1 Palu. Pada masa putih abu-abu, Ridha pun berkenalan dengan dunia aktivisme. Perkenalan itu berawal dari lingkungan rumahnya, yang kebetulan banyak ditempati aktivis mahasiswa.

“Saya bahkan ikut masa penerimaan anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) saat masih berstatus pelajar,” katanya. Usai lulus SMA, pada 1989, Ridha masuk Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Tadulako.

Bakatnya sebagai seorang organisatoris dan aktivis terasah di Kampus Kaktus. Baru dua semester jadi mahasiswa, Ridha terpilih sebagai wakil ketua Badan Perwakilan Mahasiswa FISIP Untad—semacam DPR dalam organisasi kampus. Ia pun aktif sebagai pengurus Himpunan Mahasiswa Sosiologi FISIP Untad.

Interaksinya dengan dunia organisasi membawa Ridha berkenalan dengan isu-isu sosial. “Waktu baru masuk kampus; sudah ditempa senior untuk advokasi kasus buruh di Iradat Puri, Pantai Barat, Donggala. Waktu itu soal hak pengelola hutan (HPH) yang tidak dibayar. Saya juga aktif berdiskusi soal wacana penggusuran warga di Besusu, Pantai Talise, Palu,” kenangnya.

Rencana penggusuran di Pantai Talise salah satu isu yang berkesan. Kala itu ada stigma negatif yang melekat pada Pantai Talise, yang dianggap sebagai area remang-remang nan kumuh. Area tersebut lekat dengan karaoke murahan, minuman keras, dan prostitusi.

Ridha dan kawan-kawan berusaha menepis stigma tersebut. Mereka bersandar pada nilai-nilai kemanusiaan. Setiap orang berhak mencari penghidupan. Penggusuran akan membuat warga kehilangan mata pencaharian. Dalam kacamata Ridha dan kawan-kawan, rencana penggusuran itu lalim belaka.

Perkara kelompok miskin perkotaan memang jadi titik awal ketertarikan Ridha di dunia aktivisme. Selain di Pantai Talise, ia juga terjun mengorganisir tukang becak di Pasar Inpres Manonda, yang bersemuka isu penyetopan moda transportasi jarak pendek tersebut. 

Aktivisme Ridha sempat terhenti lantaran mengikuti program sekolah khusus di Kairo, Mesir. Lepas dari Kairo, Ridha pilih kembali ke Palu, dan membersamai perjuangan orang-orang kecil yang terpinggirkan. 

“Saya lulus di Untad tahun 2000. Total 10 tahun kuliah. Biasa lebih sibuk di luar kampus. Itu pun bisa selesai karena sudah ada ancaman drop out. Saya juga cuma ambil ijazah, tanpa mengikuti wisuda,” ujarnya berkelakar.

Saat masuk tahun-tahun lanjut di perkuliahan, Ridha mulai terlibat dalam aktivitas organisasi nonpemerintah (ornop). Ridha terlibat sebagai relawan untuk Yayasan Tanah Merdeka (YTM), ornop lokal yang berfokus pada isu lingkungan.

“Saya live-in di Napu, mengawal kasus Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), bikin laporan dan mengorganisir masyarakat,” kenang Ridha. Semasa itu, YTM jadi motor penolakan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Lore Lindu. Proyek itu dianggap akan merampas hak rakyat di sekitar Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Pun mengorbankan hutan dan ekosistem di area taman nasional.

Lantaran dianggap telaten, Ridha dipercaya memimpin Yayasan Pendidikan Rakyat (YPR), ornop yang berfokus pada aktivitas pendidikan alternatif dan penyadaran kelompok rentan di Sulteng. 

Di bawah kepemimpinannya, YPR tumbuh menjadi ornop yang diperhitungkan di Palu, terutama pada topik kaum miskin kota dan Masyarakat Adat. Mereka aktif melakukan pengorganisiran rakyat di area rural dan urban; mulai dari Pegunungan Kamalisi hingga Pasar Inpres Manonda.

Pada titik inilah, medio 1990-an, Ridha sering berinteraksi dengan Rusdy "Cudy" Mastura. Bung Cudy kala itu berstatus ketua Majelis Pimpinan Wilayah Pemuda Pancasila Sulteng.

Posisi Ridha dan Bung Cudy kerap berseberangan. Maklum, Pemuda Pancacila dekat dengan kekuasaan. Sedangkan YPR kerap berseberangan dengan pemerintah. Meski demikian, Ridha menyebut Bung Cudy sebagai sosok demokratis, yang tak sungkan duduk berdiskusi dengan para aktivis. 

“Semasa itu, kami berbeda posisi politik, tetapi beliau senantiasa bisa berdiskusi dengan sehat. Perbedaan pandangan justru memperkaya perspektif,” ujarnya memutar ingatan.

Siapa sangka, Ridha kini jadi "orang dekat" Bung Cudy, yang telah duduk di kursi Sulteng 1.

Ridha Saleh (kemeja putih, paling kiri) semasa menjadi mahasiswa aktivis. | Foto: Istimewa

Menapaki panggung nasional 

Pada 2001, Ridha berkesempatan untuk bertugas di Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (EN Walhi). WALHI punya pamor sebagai ornop nan prominen di Tanah Air dengan fokus utama pada topik lingkungan.

Ridha dapat tugas sebagai deputi direktur, dengan tanggung jawab pengelolaan sumber daya politik internal, pengembangan komunitas, dan konsolidasi jejaring politik alternatif. Serangkaian tugas itu membuka panggung yang lebih luas. Ia kerap tampil di panggung aktivisme nasional. Namanya pun kian dikenal di simpul-simpul pegiat sosial.  

Selama di EN WALHI, Ridha sering bersentuhan dengan konflik antara warga dengan perusahaan atau negara. Pengalaman tersebut memperkaya pengalaman serta perspektifnya dalam isu HAM.

Setelah merampungkan tugas di EN WALHI, Ridha ikut seleksi anggota Komnas HAM RI. Saat fit and proper test di Dewan Perwakilan Rakyat, ia menempati peringkat pertama dari 11 kandidat. Ia pun dapat posisi sebagai wakil ketua I di Komnas HAM RI. 

Dengan posisi barunya, Ridha banyak terlibat dalam proses penanganan dan penyelesaian kasus HAM di Indonesia, misal bentrok TNI AL dengan warga Alastlogo, tragedi di Pelabuhan Sape, dan penyerangan jemaah Ahmadiyah, Cikeusik.

Ia bahkan sempat jadi ketua dalam tim yang mengusut perkara kekerasan di Papua. “Saya jalan subuh masuk ke pedalaman, ketemu pimpinan OPM (Organisasi Papua Merdeka) di markas besar. Lihat banyak senjata dan tentara OPM, tidak boleh berbicara sembarangan,” katanya.

Perjalanan sebagai aktivis tak selalu mulus. Suami dari Rosidah ini juga kerap dapat ancaman. Pada saat mendampingi kasus-kasus warga, sesekali keluarganya didatangi orang asing yang meminta Ridha mundur dari aktivitasnya.

Meski begitu, peraih penghargaan kategori pemuda pekerja bidang HAM dari GP Ansor ini tak surut dalam perjuangan.

Bersiasat menuju kursi wali kota

Selepas bertugas di Komnas HAM, Ridha mulai intip peluang untuk terjun ke politik praktis. Pengalaman mengajarkannya bahwa politik bisa jadi jalur perjuangan untuk menghadirkan perubahan nan progresif.

Pada Pemilu 2014, Ridha sempat mengincar kursi senator alias anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Sulteng. Namun perolehan suaranya belum cukup untuk dapat satu kursi di Senayan. 

Jelang Pilkada Sulteng 2020, Ridha juga sempat masuk bursa sebagai calon wakil gubernur. Ia disebut-sebut bakal mendampingi Ahmad Ali, salah satu tokoh sentral Partai NasDem—pemenang pemilu di Sulteng. Belakangan, Partai NasDem melabuhkan dukungan untuk Rusdy Mastura dan Ma’mun Amir.

Setahun terakhir, nama Ridha kembali mencuat. Baliho yang memuat senyum dan slogannya terpajang di jalanan Kota Palu. Namanya mulai disebut dalam obrolan warung kopi. Kali ini sebagai kandidat dalam bursa wali kota Palu jelang Pilkada 2024.

Ridha tak menampik kabar tersebut. Ia mengaku dapat saran untuk maju bertarung di level eksekutif dari rekan sesama aktivis, politisi, dan para pemilihnya pada Pemilu 2014. 

Penulis buku Ecocide-Melawan Pelanggaran Berat HAM di Indonesia ini percaya diri bisa menuntaskan masalah Kota Palu. Aktivitas mendampingi Gubernur Cudy membuat Ridha bisa belajar dari guru terbaik--seorang tokoh yang pernah menjabat wali kota Palu selama dua periode. 

Saat ini, Ridha juga berusaha melebarkan telinga guna mendengar aspirasi warga. Ia pun mulai lempar gagasan tentang Kota Palu yang “bersih, terang, dan nyaman." 

Topik itu, ujar Ridha, merupakan problem klasik di Palu. Menurutnya, memang banyak usaha yang dilakukan oleh pemimpin kota pada saat ini, tetapi masih minim partisipasi publik. Bila sudah begitu, betapa pun bagusnya kebijakan malah terasa berjarak dari warganya. 

“Semisal retribusi sampah. Ia biasa jadi beban masyarakat. Tetapi bila strategi community development-nya benar, masyarakat akan merasa terlindungi lewat iuran,” katanya. 

Menurut Ridha, pemimpin daerah perlu memikirkan langkah-langkah inovatif, termasuk menciptakan ruang partisipasi bagi warga, plus kolaborasi yang bisa merangkul berbagai pihak--termasuk swasta. 

“Bila itu bisa terwujud, hal–hal kecil macam sampah, parkir, dan lainnya, bisa jadi sumber ekonomi alternatif untuk kepentingan pembangunan. Pemimpin juga tak lagi mengurusi hal teknis; tetapi mengefektifkan sumber daya untuk memajukan Palu,” ujarnya.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
8
Jatuh cinta
2
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Kontribusi generasi muda dalam pembangunan berkelanjutan di Sigi
Kontribusi generasi muda dalam pembangunan berkelanjutan di Sigi
Pembangunan daerah bukan hanya menggenjot pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya. Kelestarian lingkungan juga tak boleh diabaikan.
TUTURA.ID - Program pasangan HANDAL untuk memberdayakan para ibu rumah tangga
Program pasangan HANDAL untuk memberdayakan para ibu rumah tangga
Ibu-ibu rumah tangga tak hanya bisa membantu meningkatkan perekonomian keluarga, tapi juga daerah. Asalkan pemerintah…
TUTURA.ID - Kesepakatan Pemkot Palu dan pengusaha tambang Galian C di Buluri-Watusampu
Kesepakatan Pemkot Palu dan pengusaha tambang Galian C di Buluri-Watusampu
Wali Kota Palu Hadianto Rasyid akhirnya mengultimatum para pengusaha tambang Galian C di Buluri-Watusampu. Mereka…
TUTURA.ID - Bela lingkungan seharga nyawa; bayang-bayang kekerasan terhadap aktivis
Bela lingkungan seharga nyawa; bayang-bayang kekerasan terhadap aktivis
WALHI Sulteng mencatat ada delapan kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia terhadap…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng