Nasib gelap para buruh di tengah gemerlap industri nikel
Penulis: Anggra Yusuf | Publikasi: 9 Oktober 2023 - 20:00
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Nasib gelap para buruh di tengah gemerlap industri nikel
Seorang buruh PT GNI mengizinkan pengambilan foto usai wawancara bersama Project Multatuli pada medio 2023. | Foto: Muammar Fikrie/Project Multatuli/CC BY-SA 2.0

September kelabu bagi dunia industri di Sulawesi Tengah. Kecelakaan kerja berujung kematian kembali terjadi di area pabrik pemurnian I (Smelter I) PT Gunbuster Nickel Industry (PT GNI), Morowali Utara, pada Rabu, 27 September 2023.

Korbannya seorang buruh berinisial SH (21). Pria asal Bulukumba, Sulawesi Selatan itu menjajakan tenaganya sebagai operator eskavator di area PT GNI.

Saat ledakan terjadi, korban disebut sedang mengangkut slag (limbah panas) untuk dibawa ke kolam pendingin. Namun limbah panas itu tiba-tiba mengeluarkan semburan api.

Api seketika membesar. Asap pekat mengepul. Kepanikan terjadi. Orang-orang berlarian. Beberapa saat setelah kepanikan mereda, sejumlah buruh menemukan jasad SH di kolam pendingin slag dengan luka bakar serius.

Peristiwa itu menambah deretan kecelakaan kerja nan fatal (mengakibatkan kematian) yang terjadi di kawasan industri berlabel "proyek strategis nasional" tersebut. Sejak Juni 2022, sudah tujuh nyawa melayang akibat kecelakaan kerja di PT GNI--termasuk peristiwa yang menimpa SH. 

Pada 24 Juni 2022, seorang pengemudi, Yaser (41) tewas ketika alat berat tanpa lampu yang disopirinya terjun bebas ke laut berkedalaman puluhan meter. Peristiwa kedua terjadi pada 6 Juli 2022, Alif Arhan meninggal dunia lantaran terjatuh saat bekerja di Tungku 6 Smelter 1 di area PT GNI.

Pada pengujung 2022, dua orang operator crane, Nirwana dan Made Devri, meregang nyawa dalam ledakan di salah satu tungku smelter. Peristiwa lain terjadi pada 26 Juni 2023, tatkala seorang pekerja bernama Ferdi tewas terkena semburan api.

Kematian pekerja jadi risiko besar di balik gemerlap hilirisasi nikel di Sulteng. Pun peristiwa macam ini tak hanya terjadi di PT GNI. Kawasan pemurnian nikel nomor wahid Tanah Air, Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Kabupaten Morowali tak luput dari kasus serupa.

Tiga tahun terakhir, berbasis pantauan media, sedikitnya telah terjadi tiga peristiwa kecelakaan kerja yang memakan empat korban jiwa di kawasan IMIP. 

Pada 16 Agustus 2020, seorang buruh bernama Asfadin (23) tewas karena jatuh dari ketinggian 30 meter ketika bekerja di proyek pembangunan gudang baja nirkarat. Pada 23 Januari 2022, Jery Makmur (29) meregang nyawa lantaran terlindas alat berat. Pada 27 April 2023, Arief dan Masriadi meninggal dunia lantaran tertimbun longsor di areal pembuangan limbah.

Rentetan kasus ini menjadi ironis; mengingat pelbagai kecelakaan kerja nan fatal itu terjadi di pusat industri pemurnian nikel yang sedang dibangga-banggakan dalam pelbagai retorika pemerintah.

"Hilirisasi Nikel" jadi salah satu kata kunci dalam pidato kenegaraan Presiden Jokowi di Parlemen Senayan, pada 16 Agustus 2023. Pemerintah daerah Sulawesi Tengah juga sering angkat omongan dengan nada bangga soal realisasi investasi asing yang didorong oleh hilirisasi nikel.

Sedikit sekali--kalau tidak mau menyebut nihil--retorika pemerintah yang menyoroti nasib gelap para buruh.

Merujuk data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sulteng (2023), ada lebih dari 94 ribu pekerja di PT GNI (Morowali Utara) dan IMIP (Morowali). Mereka inilah tulang punggung hilirisasi nikel Indonesia yang disokong modal Tiongkok. Banyak pembesar asyik bicara modal dan cuan, tapi kerap alpa membincangkan ribuan manusia yang terlibat di dalamnya. 

 
 
 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by Tutura.Id (@tutura.id)

Keselamatan dan kesehatan kerja terabaikan

Peristiwa kematian akibat kecelakaan kerja merupakan puncak dari minimnya perhatian perusahaan terhadap aspek keselamatan dan kesehatan kerja (K3) pada pusat-pusat industri nikel di Sulteng. 

Pihak perusahaan (manajemen) acap kali lempar tanggung jawab bila terjadi kecelakaan kerja. Yayasan Tanah Merdeka (YTM), sebuah organisasi nonpemerintah yang berbasis di Palu, menyoroti kecenderungan manajemen perusahaan tersebut. 

“Mereka (manajer perusahaan) kerap kali menjadikan buruh serta pengawas sebagai biang keladi dari kecelakaan,” demikian tertulis dalam laporan bersama YTM dan Yayasan Kurawal berjudul Kondisi Buruh Industri Nikel.

Laporan berbasis wawancara para buruh itu juga memuat cerita dari serikat pekerja di Morowali dan Morowali Utara. Tiga serikat pekerja yang dikutip dalam laporan itu kompak mengeluhkan perkara kurangnya sosialisasi K3.

Sebagai ilustrasi, kepada Tutura.Id, seorang buruh berinisial M pernah memberi gambaran menarik ihwal seringnya kecelakaan kerja terjadi di area industri nikel. 

“Hampir tiap hari, ada laporan kecelakaan kerja, mulai dari lecet, luka biasa, luka berat, sampai yang fatal. Kabar kayak itu hari-hari tersebar di grup WhatsApp buruh,” kata mantan buruh PT GNI tersebut.

Di sekitar area PT GNI, mudah saja untuk mengukur kecenderungan pengabaian aspek K3. Saat Tutura.Id berkunjung ke lokasi tersebut (Maret 2023), para buruh tampak mengenakan baju warna-warni, celana yang rupa-rupa modelnya, dan sepatu yang aneka rupanya. Bajunya tak harus berlabel PT GNI, celana berbahan jin juga cukup, sepatu pun tak perlu sesuai standar.  

Padahal kelengkapan pakaian kerja dan alat pelindung diri (APD) merupakan aspek dasar dari K3. Penelusuran YTM pun mendapati hal serupa.

“Manajemen PT GNI tidak membagikan alat pelindung diri sesuai standar kerja. Banyak kaca mata, masker dan alat pelindung lainya hanya menumpuk di gudang tanpa dibagi ke buruh. Para buruh kerap kali membiayai dirinya sendiri untuk memperoleh masker dan perangkat lain,” demikian kutipan laporan YTM.

Buruh PT GNI di Morowali Utara, harus berhadapan dengan risiko kecelakaan kerja tanpa jaminan. | Foto: Muammar Fikrie/Project Multatuli/CC BY-SA 2.0

Jam kerja cenderung tak sehat

Aspek keselamatan dan kesehatan berkaitan erat pula dengan membengkaknya jam kerja para buruh. Jam kerja berlebih bisa berujung pada kelelahan, dan menambah kerentanan. 

Lazimnya, perusahaan-perusahaan di kawasan industri nikel pakai sistem kerja yang dikenal dengan istilah “tiga shift, tiga regu.” Pekerja dibagi dalam tiga regu berbasis shift: pagi, sore, dan malam. Semuanya demi menjamin roda industri berputar 24 jam.

Dalam satu shift, buruh wajib bekerja selama delapan jam (satu jam istirahat), plus jumlah lembur yang bervariasi (lembur wajib bisa sampai tiga jam per hari).

Kepada Tutura.Id, seorang sopir dump truck di area PT GNI mengaku jam kerja normalnya adalah 12 jam kerja, antara pukul 6.00-18.00, termasuk satu jam istirahat.  

Alhasil ada buruh yang saban hari harus bekerja hingga 11 jam. Berbasis asumsi itu, buruh tersebut bisa bekerja hingga 55 jam dalam sepekan (dua hari libur), atau 66 jam (satu hari libur, yang paling umum).

Padahal, merujuk UU Cipta Kerja, angka maksimal waktu kerja adalah 40 jam dalam sepekan; plus 14 jam lembur dalam seminggu. Dengan kata lain, jumlah maksimal waktu kerja dalam sepekan adalah 54 jam.

Dengan permodelan tersebut, sangat mungkin buruh bekerja di luar batasan jam kerja. Situasi ini juga menimbulkan dilema tersendiri, sebab penambahan lembur berarti pula suplemen pemasukan bagi buruh. Bila tak lembur, maka uang yang dibawa pulang jadi pas-pasan. 

Jangan heran bila laporan YTM menyebut bahwa para buruh sering mengeluh ihwal batasan fisik, terutama saat masuk shift malam yang jadi waktu kerja paling rentan.

Keluhan sakit akibat kerja sering terdengar, misal batuk-batuk tersebab debu, nyeri pinggang akibat duduk terlampau lama di kursi crane, dump truck, atau alat berat lainnya. 

Bagi buruh perempuan, perkara maternitas juga jadi persoalan. Lingkungan kerja nan toxic melahirkan pembiasaan bagi perempuan untuk bekerja saat haid. Di sisi lain, aturan perundangan telah memberikan keleluasaan bagi perempuan untuk tidak wajib bekerja saat haid pertama atau kedua.

Laporan YTM bahkan membeberkan pengakuan seorang perempuan buruh--operator crane--yang mengalami keguguran saat bekerja di malam hari.

Para pemburu kerja dalam satu bursa kerja yang digelar PT GNI. Para calon pekerja ini datang dari berbagai daerah, mulai dari wilayah Sulteng, Sulsel, hingga pulau seberang macam Jawa. | Foto: Muammar Fikrie/Project Multatuli/CC BY-SA 2.0

Pemberangusan serikat pekerja

Pengabaian K3 jadi isu dasar dan utama dalam kacamata buruh industri nikel di Morowali dan Morowali Utara. Sejak medio 2022, buruh PT GNI sering menggelar aksi massa yang menjadikan penerapan standar K3 sebagai tuntutan.  

Puncak demonstrasi terjadi pada 14 Januari 2023, dan berujung bentrokan antarburuh. Buruh lokal dibuat berhadapan dengan pekerja asal Tiongkok. Merujuk keterangan polisi, bentrokan bernuansa rasial itu mengakibatkan dua orang meninggal dunia--seorang buruh lokal, dan seorang pekerja Tiongkok.

Adapun nasib pekerja asal Tiongkok juga tak lebih baik. Antara 2020-2022, ada empat peristiwa kematian buruh Tiongkok akibat bunuh diri yang sempat menyita minat media massa. Depresi kerap disebut menjadi penyebab di balik keputusan mengakhiri hidup itu.    

Lebih lanjut, bentrokan berdarah pada Januari 2023 juga membuat belasan buruh menjadi pesakitan serta mendekam di terungku lantaran divonis sebagai provokator dan pelaku kerusuhan. 

PT GNI menuding Serikat Pekerja Nasional (SPN) sebagai dalang demonstrasi dan bentrokan. Dua kader SPN (pengurus di PT GNI) terpaksa berurusan dengan hukum akibat kerusuhan tersebut.

Sebelumnya, lantaran demonstrasi selama berbulan-bulan, sejumlah anggota dan pengurus SPN harus berhadapan dengan ketidakpastian kontrak kerja. Kebanyakan pekerja memang masih berstatus kontrak--membuat posisi mereka kian rentan.

Beberapa pengurus SPN tidak diberikan perpanjangan kontrak; tak ubahnya pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan cara lebih halus. Padahal, mereka yang tak beroleh perpanjangan kontrak ini merasa tak punya masalah kinerja.

Buruh-buruh nonserikat di PT GNI juga mengalami tekanan. Mereka ragu dan berpikir berulang kali bila diajak bergabung dengan serikat pekerja.

“Perusahaan mengancam buruh berserikat dengan menyingkirkan mereka dari pekerjaan secara sepihak. Buruh pun jadi kecut hati untuk berserikat,” kutipan pengakuan buruh yang termuat dalam laporan YTM.

Bayang-bayang pemberangusan serikat membuat posisi buruh kian rentan. Mereka kehilangan sandaran untuk memperjuangkan hak-hak yang menyangkut kesejahteraan, kesehatan, dan keselamatan.

*Artikel ini merupakan hasil kolaborasi Tutura.Id dengan Yayasan Tanah Merdeka (YTM). Sebelumnya, YTM dan Yayasan Kurawal menerbitkan laporan bertajuk "Kondisi Buruh Industri Nikel."

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
9
Jatuh cinta
0
Lucu
0
Sedih
5
Kaget
1
Marah
3
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Sulteng: Provinsi paling padat modal asing pada kuartal pertama 2023
Sulteng: Provinsi paling padat modal asing pada kuartal pertama 2023
Sulteng masuk lima besar provinsi dengan investasi terbesar pada kuartal pertama 2023. Bila lebih spesifik…
TUTURA.ID - Minus perlindungan, 16 buruh PT GNI di Morut malah jadi tersangka kerusuhan
Minus perlindungan, 16 buruh PT GNI di Morut malah jadi tersangka kerusuhan
Belasan buruh jadi tersangka kasus kerusuhan di PT GNI, Morowali Utara. Kuasa hukum ajukan praperadilan,…
TUTURA.ID - Fraksi Bersih-Bersih meminta Pemda Sulteng serius menangani krisis iklim
Fraksi Bersih-Bersih meminta Pemda Sulteng serius menangani krisis iklim
Bukan hanya sampah plastik yang jadi momok bagi lingkungan, tapi juga suburnya industri ekstraktif yang…
TUTURA.ID - Menilik kontribusi Hengjaya Mineralindo di Morowali
Menilik kontribusi Hengjaya Mineralindo di Morowali
Perusahaan berusaha menepis stigma aktivitas pertambangan nikel yang kerap menepikan warga lokal dan keselamatan para…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng