Medio 2000-an nama Plisit sebagai entitas musik bagi saya yang masih seorang remaja baru gede ibarat legenda. Namanya masyhur. Musikalitasnya dapat sanjung puji. Kerap menyelip sebagai topik pembicaraan oleh abang-abangan saat asyik genjrang-genjreng main gitar di deker.
Pun demikian, satu titi laras pun lagu mereka tak pernah saya dengarkan. Kasetnya sungguh “gaib”. Sulit mendapatkannya lantaran hanya beredar di kalangan sangat terbatas. Saya mengetahui fakta ini belakangan. Bentuknya hanya semacam demo tape. Jika sedikit beruntung, satu dua lagu mereka ada terselip dalam sebuah mixtape kaset yang juga bersinggah dari tangan ke tangan.
Kesempatan mendengarkan lagu-lagu Plisit dengan khidmat baru datang seiring lingkup pertemanan yang makin luas. Jika tak salah ingat, waktu itu sekitar 2010 atau 2011, seorang kawan datang membawa sekeping cakram padat merek Maxell berwarna keemasan. Plastik mika transparan yang jadi selubungnya sudah retak bagian atasnya.
Tinta spidol hitam yang tertulis di CD sudah memudar, tapi masih bisa terbaca; Pleaseat. Walau tanpa lis, teman saya bilang isinya lagu-lagu Plisit yang tercipta sepanjang kurun 90-an. Kepingan tersebut ditemukan menumpuk dengan barang-barang lain saat ia mencari sesuatu di gudang rumahnya. Lantaran mengetahui saya telah lama mendamba ingin mendengarkan lagu-lagu Plisit, jadilah CD tersebut dihadiahkan untuk saya.
Seketika isi lagu-lagu dalam cakram padat yang hanya memuat judul “Track 01” dan seterusnya itu berpindah ke dalam laptop saya. Dan kerinduan pun terbayar tuntas.
Perasaan rindu itu pula, tentu dengan konteks jauh berbeda dengan yang saya rasakan sebelumnya, jadi alas Plisit menggelar konser tunggal bertajuk “Panen Rindu” di Khans Studio, Jalan Tembang, Kelurahan Lere, Sabtu (4/2/2023) malam.
Dalam mukadimahnya, Plisit menulis konser “Panen Rindu” bukan hanya sekadar ajang nostalgia dan romantisme, tapi ikhtiar mengumpulkan kembali energi masa muda yang ketika itu hanyalah sebatas dorongan adrenalin masa puber untuk menjadi lebih berarti.
Plisit ingin menjadikan perhelatan konser “Panen Rindu” sebagai tahap lanjutan untuk memilah, menyusun, dan menyeleksi kembali puluhan gagasan lama menjadi beberapa proyek terencana.
Jejak musikal kelompok ini memang sudah merentang lebih dari tiga dekade. Embrionya berasal dari komunitas bernama Pleaseat Povia yang terbentuk sejak 1991. Lalu Umariyadi Tangkilisan (gitaris) dan kawan-kawan nekat memproklamirkan grup musik Plisit yang fokus memproduksi karya musik sendiri pada tahun 1997.
Prinsip tadi sungguh langkah percaya diri dan melawan arus jika menengok lanskap bermusik di Kota Palu masa itu. Ramai band yang lahir sekadar mengisi panggung-panggung festival, kontes, atau pergelaran musik membawakan lagu karya orang lain.
Hanya ada sebagian kecil musisi yang kukuh tak ingin tampil kecuali membawakan karya cipta sendiri. Plisit menjadi satu dari anomali tersebut. Maka tak heran kabar berantai singgah dari mulut ke mulut yang bilang Plisit isinya kumpulan orang-orang idealis.
Jika tak ada sponsor atau event organizer bersedia mengakomodir keinginan mereka tampil menyanyikan lagu-lagu ciptaan sendiri, maka Plisit dengan sokongan penuh komunitas Pleaseat Povia yang mengadakannya. Anak-anak muda ini, pada zamannya, rupanya takzim betul dengan yang namanya do it yourself. “Sedangkan pasar bisa diciptakan, apalagi cuma panggung. Haaaai,” begitu kira-kira ilustrasi ungkapan mereka.
Solidaritas atau ikatan persahabatan itu yang bertahan hingga sekarang. Menjadikan Pleaseat Povia sebuah paguyuban yang isinya bukan lagi sebatas kawan atau sahabat, tapi sudah menjelma jadi kerabat. Laiknya hubungan antara sesama anggota keluarga, tetap baku rindu dan pasti baku tolong walau terkadang tingkah polah orang-orang di dalamnya menjengkelkan.
“Plisit termasuk yang banyak sekali membentuk saya hingga seperti hari ini. Saya belajar main musik, bergaul, dan berbagi dari Plisit,” kata Rival Himran sang bassis dari atas panggung.
Malam itu Pallo, demikian sapaan akrabnya, yang juga tersohor sebagai pemetik bass kelompok Steven & Coconuttreez tampil kasual. Setelannya kaos hitam, bucket hat menutupi sebagian rambut gimbalnya, celana panjang berbahan katun warna hijau, dan sepatu Converse senada warna kaos.
Bassis berumur 41 tahun itu tak hanya anteng mengisi posnya di sisi kanan, tapi juga atraktif mondar-mandir menyisir area lain di atas panggung sambil tetap menjaga tempo dan groove lagu dengan kepekaan terukur. Sementara di belakangnya berdiri Ryan Patindjo sebagai additional player.
Ryan yang juga tercatat sebagai personel Culture Project dan The Mangge mendukung isian gitar Umariyadi Tangkilisan. Adi, sapaan akrab Umariyadi, berdiri mengambil posisi mengisi sayap kiri panggung. Kehadiran dua gitaris malam itu sebenarnya merupakan formasi ideal sebab bikin aransemen musiknya Plisit lebih “penuh”.
Andri Lawido jelas menduduki kursi set drumnya di sentral belakang. Sebaris dengan Abdi Iskandar yang mengisi koridor depan sebagai frontman alias vokalis.
Usai mendengarkan lagu “Indonesia Raya”, Plisit yang naik panggung sekira pukul 21.10 WITA langsung menggebrak dengan “Matahari”. Yup, lagu tersebut dibawakan ulang oleh Culture Project, band Adi yang lain dengan Zhul Usman sebagai vokalisnya.
Total 21 lagu dibawakan oleh Plisit malam itu dengan tujuh lagu di antaranya mereka sajikan dalam bentuk medley. Lagu “Bagai Burung” serangkaian dengan "Semarah Apapun", "Lupakan Masa Lalu", dan "Batu". Sementara medley kedua berisi "Nabaya Siti", "Mata-Mata", dan "Pergi Saja". Pamungkasnya lagu “Tak Dibawa Mati”.
Salinan lagu-lagu Plisit versi cakram padat yang dulu jadi ajang perkenalan saya dengan band ini dihadirkan dengan aransemen berbeda. Walau melodi rock 90-an, terutama dari segi vokal, tetap susah dihilangkan, namun jadi lebih segar berbungkus sound kekinian.
Jalannya konser sungguh guyub dan kental aroma reuni. Abdi, Adi, dan Pallo intens menjalin komunikasi dua arah dengan penonton yang sebagian besar sohib mereka saat menjalani masa remaja bersama.
Saling menyapa dan memanggil nama rekan-rekan mereka dari atas panggung atau sebaliknya kerap terjadi. Sosok yang dimaksudkan kemudian kena sorot lampu. Saling tende juga ada.
“Band ini bisa terus ada karena dukungan yang tak putus dari teman-teman semua. Kami garansi Plisit tak akan pernah bubar,” tutur Abdi yang langsung bersambut aplaus dan sorak.
Walaupun sebagian besar konser berjalan penuh suka cita dan kegembiraan, terselip sebuah momen haru tatkala “Hanya Bisa Dirasa” mengalun. Kor tercipta sejak awal hingga akhir lagu. Pallo hanya bisa menatap nanar pemandangan di depannya. Bahkan beberapa penonton meminta lagu yang liriknya ditulis oleh Rifai Lahamu yang berpulang pada 2021 itu dinyanyikan kembali.
Perhelatan “Panen Rindu” yang juga merupakan judul lagu Plisit melengkapi tujuh konser tunggal yang telah dilakukan oleh band ini, bermula penampilan di Taman Gor (1998), Gedung Madamba Pura RRI (2000), Café Winners (2010), Raego Café (2016), Refans Café (2017), Kebun Dolo, Sigi (2020), dan Warkop Nokilalaki (2021).
Plisit grup musik komunitas Pleaseat Povia paguyuban musik festival pergelaran event organizer