Bulan puasa 2024 hampir memasuki setengah perjalanan. Bagi umat Islam, melewati Ramadan bersama keluarga jadi sesuatu yang begitu dinantikan.
Kendati demikian, tak semua kalangan Muslim dapat menikmati momen tersebut, wabilkhusus para mahasiswa yang menempuh studi di luar daerah asalnya.
Kamis, 21 Maret 2024, Tutura.Id mendengarkan cerita alumni dan mahasiswa perantau yang memilih tetap bertahan di Palu, alih-alih pulang kampung alias mudik lebih awal.
***
Selama berkuliah nyaris empat tahun di Program Studi (Prodi) Hukum Tata Negara Islam, Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama, Africhal (24), mengaku selalu menjalankan ibadah puasa tanpa sosok orang tua karena terpaut jarak.
“Selama ini, Ramadan selalu di Palu. Saya biasanya H-3 sebelum Idulfitri baru pulang kampung ke Morowali,” ujarnya membuka obrolan, seolah paham alasan saya mewawancarainya.
Meski telah menyandang gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I), Africhal tak lantas buru-buru mudik ke daerah yang terkenal dengan kekayaan nikel itu. Pasalnya saat ini ia sedang bersiap melanjutkan pendidikan ke jenjang strata dua alias magister.
Demi bisa menghemat pengeluaran, pria yang menggeluti dunia pergerakan kampus ini memilih tinggal di sekretariat Himpunan Mahasiswa Islam-Majelis Penyelamat Organisasi (HMI-MPO) Palu.
Bersama rekan-rekan organisasi yang punya julukan “Laskar Hijau Hitam” ini, Africhal mengatur strategi agar dapur sekretariat tetap mengepul, utamanya di momen puasa seperti sekarang.
“Kami ada program Pesantren Filsafat Ramadan. Alhamdulilah kegiatan ini mendapat dukungan senior-senior HMI. Mereka berdonasi untuk keperluan logistik para santri (penghuni sekretariat). Ya, bahan seadanya untuk bikin menu santap sahur,” tuturnya.
Pengalaman Ramadan tahun ini, sambung Africhal, sedikit berbeda dibandingkan masa awal merantau ke Palu. Bila momen berbuka puasa telah tiba, Africhal dan beberapa orang kawannya kerap berburu takjil gratis di sekitar Palu Barat, kawasan tempat tinggalnya.
“Dulu kami memanfaatkan masjid-masjid yang menyediakan takjil gratis setiap hari. Kalau untuk sahur, kami sering ke tempat Himpunan Pemuda Alkhairaat, Jalan Wahid Hasyim. Maklum, karena gratis, praktis, dan tidak ribet, terutama untuk perantau atau anak kos-kosan, apalagi saya yang tidak punya keahlian memasak,” ungkapnya tertawa mengingat memori tiga tahun silam.
Menurut Africhal, sekalipun itu merupakan pengalaman menarik, tetapi tiada bandingannya dengan Ramadan di kampung halaman.
“Perasaan sedih jelas ada, beda sekali memang karena awal-awal tidak terbiasa dengan acara buka puasa dan sahur dengan orang tua. Apalagi saya termasuk orang yang suka dengan masakan ibu. Supaya sedikit terobati, saya selalu video call dengan keluarga kalau sudah momen berbuka atau sahur,” terangnya.
Memilih berhemat hingga terpaksa berhutang
Qalbia (19) saat ini sedang menempuh studi di Palu. Tepatnya di Prodi Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah, UIN Datokarama. Qolby, sapaan akrabnya, berasal dari Tojo Una-Una. Sejak 2022, Qolby tak menunaikan ibadah puasa dengan kedua orang tuanya.
Menurutnya, momen Ramadan tidak bersama keluarga sangat kontras perbedaannya. “Rasanya sunyi kalau di Palu. Di kampung, mulai dari persiapan buka puasa sampai sahur itu selalu sama-sama orang tua. Beda dengan di perantauan, semuanya dikerjakan sendiri,” tuturnya.
Tetapi, soal sajian buka puasa dan sahur, Qolby mengambil opsi berhemat dengan memasak ala kadarnya atau patungan dengan teman-temannya untuk membeli santapan.
“Biasanya saya beli sayur kangkung dua ikat harga Rp2000 dan tempe satu Rp5000. Harga Rp7000 sudah cukup untuk pakai buka dan sahur. Tahun lalu, waktu acara buka puasa dengan teman-teman sekitar tujuh kali. Lumayan buat pengiritan,” katanya.
Sama seperti Africhal, sebagai penawar rindu ketika momen buka puasa atau sahur datang, Qolby acapkali menelepon atau mengobrol via aplikasi pesan dengan sanak familinya di kampung halaman. Sekadar bertanya kabar atau sedang melakukan aktivitas apa.
Nasib Africhal dan Qolby sedikit berbeda dengan Rahma Fitria (20). Sekalipun merantau di Palu karena berkuliah di Prodi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Tadulako, dirinya tetap berupaya hadir bersama keluarga menjelang Ramadan.
“Tahun pertama (2021) itu, kan, perkuliahan masih online. Tahun lalu saya pulang kampung,” ujar Ama, panggilan karibnya.
Hal itu wajar lantaran jarak antara Palu dengan Parigi Moutong terbilang dekat. Berkendara dengan roda dua untuk mencapai Sausu Auma—kampung halamannya—yang berdekatan dengan perbatasan Kabupaten Poso, hanya memakan waktu tempuh sekitar 3-4 jam saja.
Meski dapat mengobati perasaan gundah gulana kala bulan puasa datang, tetapi Ama pernah mengalami nasib sendu ketika Ramadan. “Kehabisan uang padahal mau pakai beli menu buka puasa. Terpaksa pinjam uang ke teman,” kenangnya.
Untuk menghilangkan dahaga haus dan lapar, Ama lebih memilih membeli takjil untuk buka puasa. Sementara untuk sahur, Ama tetap akan memasak seadanya. Ia juga mengaku jarang menikmati acara-acara semacam buka puasa bersama di masjid, meski dengan keterbatasan finansial.
“Bagi saya, bulan puasa bukan cuma soal menahan haus atau lapar tetapi bagaimana menjaga lisan dan perilaku yang sia-sia yang bisa dapat mengurangi pahala puasa,” pungkasnya.
pelipur lara puasa ramadan buka sahur mahasiswa perantau palu parigi moutong tojo una-una morowali