Adegan dibuka dengan orang-orang yang bergantian keluar masuk sebuah toilet umum yang lusuh. Dindingnya tertulis jelas peringatan “jangan lupa disiram”.
Orang terakhir yang masuk bernama Ribut. Seorang pria berperawakan layaknya preman ini buru-buru melepas celananya lantaran tak sanggup lagi menahan sakit perut yang melilit.
Namun, belum sempat melepaskan hajat, ia buru-buru keluar dan muntah. Terlihat jelas ekspresi jijik di wajahnya setelah melihat pemandangan yang ada di dalam toliet.
Gina, perempuan muda yang sedang mencuci di sumur dekat toilet, sontak menghampiri Ribut. Awalnya berniat bertanya apa yang terjadi, namun bentuk perhatian ini berubah menjadi adu mulut. Keduanya saling melempar tuduhan perihal siapa pelaku yang membuat WC kotor.
Tak hanya itu, ejek mengejek hingga pada kehidupan pribadi lempang terucap. Ribut mengolok-olok Regina yang seorang janda. Sedangkan Regina mengejek Ribut seorang pemuda pengangguran.
Keributan ini sampai di telinga Tuntut. Seorang satpam yang biasa berkeliling memantau keamanan wilayah desa.
Regina mengadukan perlakuan Ribut kepadanya. Tuntut yang ternyata kekasih Gina, tak tega pujaan hatinya diperlakukan kasar oleh Ribut.
Adu mulut berganti menjadi Ribut versus Tuntut. Keduanya yang semula hanya berdebat berujung baku hantam. Adegan perkelahian tersebut sukses memancing riuh tawa penonton lantaran tingkah jenaka dari kedua aktor.
Rupanya keributan keduanya didengar oleh warga desa disekitarnya. Sekali lagi bukan untuk menyelesaikan permasalahannya, warga turut terlibat dalam keributan.
Seperti layaknya Pemilu, warga terpecah menjadi dua kubu; pembela Ribut dan kubu pendukung Tuntut.
Adegan berpindah menyoroti Ibu Kepala Desa (Kades) yang datang berupaya mencari tahu penyebab keributan. Tuntun dan Ribut menyerahkan tanggung jawab memutuskan masalah ini kepada Ibu Kades.
Keduanya dimintai keterangan perihal awal keributan terjadi hingga seolah mengulang pertanyaan awal tentang siapa dalangnya peristiwa tersebut.
Mendengar keterangan keduanya, Ibu Kades justru semakin bingung. Tak tahu akan memutuskan apa.
Keduanya yang tampak kecewa kemudian menyinggung Ibu Kades sebagai wakil pemerintahan desa yang berencana mengambil kawasan di lahan WC ini. Menjadikannya bagian dari pembangunan Trans Studio yang digadangkan sebagai proyek terbesar se-Indonesia Timur.
Bermula dari urusan kotoran manusia di dalam WC umum, aib-aib para tokoh terbongkar. Ini membuat situasi makin rumit. Pada saat klimaks terjadi, adegan keributan tiba-tiba terhenti dengan masuknya Sang Dalang ke dalam adegan.
Bertindak sebagai narator, Dalang ini kemudian melontarkan kritikan bahwa sifat yang tak mau mengalah membuat manusia gagal mencari solusi. Sebab bila fokus pada solusi, maka keributan tidak perlu terjadi.
Dalam narasinya, Sang Dalang mengatakan seandainya sisa kotoran dalam WC umum tadi langsung dibersihkan, maka masalah selesai. Di akhir adegan si Dalang mengaku sebagai pelaku yang tidak menyiram sisa kotorannya.
Dialah sang Dalang. Dalang dari keributan. Begitulah ia dinamai.
Realitas WC umum di Huntara
Kisah di atas berasal dari pertunjukan naskah teater berjudul “WC” yang dimainkan dalam pentas Ramara Art Show bertajuk “Mau Sampai Kapan”.
Pementasan yang digelar di Auditorium SMKN 3 Palu, pada Sabtu (23/12/2023) itu berasal dari empat sanggar sekolah, yaitu SMKN 3 Palu, SMKN 2 Palu, SMK Toveaku, dan SMAN 3 Palu. Nama sanggar seni mereka adalah Sanggar Seni Technocrat 12, Dapur Seni 45, Toveaku Art 22, dan Sascaraka.
Keempat sanggar sekolah ini berada dalam binaan salah satu subunit Sanggar Seni Lentera Silolangi, salah satu komunitas seni yang konsen dengan bidang seni peran di Kota Palu. Olehnya, kolaborasi ini memungkinkan terjadi.
Tutura.Id mengestimasi ada sekitar 200 penonton yang hadir menyaksikan pementasan. Tidak hanya dari kalangan siswa saja, ada juga orang tua yang ikut hadir menonton.
Annisa Saskia Putri selaku sutradara mengungkapkan proses latihan yang memakan waktu tiga bulan menjadi ruang belajar alternatif bagi pelajar. Sebab proses ini siswa diajak untuk mengalami dan mengeksplorasi berbagai realitas dalam kehidupan melalui proses kreatif.
Tema yang dipilih mengambil dari realitas kehidupan sehari-hari yang ada di masyarakat. Sehingga pelajar sekelas SMA lebih mudah memahaminya. Dia pun menegaskan pemilihan naskah ini bukan tanpa alasan.
“Meskipun naskah ini hasil saduran dari Nanda Arif, seorang mahasiswa dari Institut Seni Indonesia (ISI), terasa dekat dengan apa yang dialami masyarakat, terutama dalam wilayah padat penduduk,” jelasnya.
Dia menjelaskan keributan antarwarga di dalam adegan hanya karena urusan sepele, dalam konteks lokal Kota Palu, sangat bisa menggambarkan situasi di hunian sementara (huntara).
Annisa dalam observasinya menelusuri objek huntara yang berada kawasan di Taman Hutan Kota Palu, Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikulore. Selama lima tahun pasca bencana, huntara tersebut hingga kini masih ditempati oleh sebagian warga.
Menurut Annisa, warga huntara mengaku setiap hari menemukan kotoran manusia dalam WC. Selalu saja ada oknum yang buang hajat tanpa menyiram. WC umum yang kotor kerap memantik keributan soal siapa pelakunya.
Kebiasaan ataupun kesengajaan ini bukan hanya membuat WC bau, tapi dapat menyebabkan masalah kesehatan jika dibiarkan. Namun di luar perilaku, Anissa menyebut fenomena ini juga bisa mengungkap hal lain, yakni minimnya air bersih yang tersedia.
Dia pun berharap melalui pementasan teater WC ini, pihaknya berupaya menerapkan perspektif masalah yang krusial di tengah kehidupan bermasyarakat.
“Naskah ini ringan, tapi cukup dekat dengan kita yang dipenuhi hal-hal dari kita yang tidak mampu memecahkan masalah, mencari solusi, hingga gagal memutuskan,” tutup pimpinan produksi Lentera Silolangi ini.