Upaya menghambat kebebasan pers kembali terjadi. Project Multatuli, media siber yang mengusung gagasan jurnalisme publik, jadi sasaran serangan digital setelah merilis laporan kasus kekerasan seksual yang tidak ditangani secara profesional oleh kepolisian.
Direktur Eksekutif Project Multatuli, Evi Mariani mengatakan bahwa sejumlah serangan terjadi setelah reportase berjudul "Dua Putri Saya Dicabuli, Saya Lapor ke Polres Baubau, Polisi Malah Tangkap Anak Sulung Saya” yang dirilis pada Sabtu (11/3/2023).
Dalam laporan tersebut, Project Multatuli mempertanyakan berbagai kejanggalan kerja penyidikan atas kasus yang menimpa dua anak di bawah umur. Mereka menyoal dugaan rekayasa polisi menetapkan “tersangka” terhadap kakak korban. Ada dugaan kuat kakak korban dipaksa mengaku atas perbuatan yang tidak dia lakukan, dan dicurigai berada di bawah ancaman, serta pukulan oleh para penyidik Polres Baubau. Pun demikian dengan proses interogasi tanpa pendampingan hukum, pada 28 Januari 2023.
Laporan Project Multatuli juga merekonstruksi peristiwa pencabulan, serta upaya ibu dan keluarga korban untuk mencari keadilan.
Senin (13/3/2023), pukul 19.00, Project Multatuli sempat menerbitkan laporan kedua berisi testimoni kakak korban, yang penetapannya sebagai tersangka oleh Polres Baubau, diduga sebagai rekayasa dalam kasus pencabulan dua adiknya.
Namun, setelah merilis laporan tersebut, sekitar pukul 21.00, keluarga korban mengabarkan situasinya semakin tidak aman. Atas pertimbangan keselamatan keluarga korban, Project Multatuli memutuskan untuk menunda merilis laporan testimoni tersebut. Pengumuman disampaikan lewat kanal media sosial Project Multatuli, pada 14 Maret 2023.
Upaya peretasan ini mulai terendus ketika tim IT Project Multatuli mendeteksi adanya kenaikan aktivitas yang tidak wajar di situsweb mereka, sejak Selasa 14 Maret 2023, sekitar pukul 09.00 WIB. Serangan berupa proses pemetaan celah untuk melakukan penyerangan. Imbasnya situs Project Multatuli terdampak kenaikan beban server. Kemudian pada pukul 15.00 WIB, mulai terjadi serangan dengan metode HTTP Flood menggunakan bot di berbagai tempat, yang sulit dibedakan dari lalu lintas normal di web. Semua percobaan akhirnya tidak berhasil.
Serangan ini kemudian berlanjut hingga Rabu, 15 Maret 2023. Sejak pukul 09.00 sampai 21.00 WIB, terjadi lonjakan aktivitas dan permintaan akses yang membebani server, sehingga website Project Multatuli sulit diakses, dan tidak dapat dibuka oleh pembacanya.
Selain itu, tim IT Project Multatuli juga mengidentifikasi adanya ancaman data scraping, yang bertujuan untuk mencari celah di website untuk disusupi. Serta adanya serangan lain berupa payload attack.
Reportase yang diunggah Project Multatuli kemudian ramai dibahas dan mendapatkan dukungan di berbagai media sosial.
Ihwal upaya peretasan tersebut, Project Multatuli telah melaporkan insiden ini kepada Aliansi Jurnalis Indonesia melalui advokasi.aji.org, pada Kamis (16/3/2023). Data AJI menunjukkan sudah ada 20 laporan baru di tiga bulan pertama 2023. Tahun 2022, ada 61 kekerasan dilaporkan.
Website Project M Diserang Setelah Merilis Laporan Kasus Pencabulan di Baubau
— Project Multatuli (@projectm_org) March 16, 2023
Setelah kami merilis laporan kasus pencabulan di Baubau, website kami diserang. Kami akan menulis kronologi serangan digital ke kami di bawah ini.https://t.co/vCBuhiEIbs pic.twitter.com/OdGHI1gMg0
Serangan berulang atas laporan kasus kekerasan seksual
Evi Mariani menjelaskan, Project Multatuli juga pernah mengalami serangan digital pada 6 Oktober 2021, tidak lama setelah menerbitkan laporan terkait kekerasan seksual pada anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ), Erick Tanjung mengecam serangan digital yang dilakukan terhadap kerja-kerja jurnalistik tersebut. Lebih lanjut, ia menganggap tindakan ini sebagai pembungkaman dan mencederai kebebasan pers.
Ini merupakan serangan kedua kalinya yang terjadi pada Project Multatuli terkait publikasi kasus kekerasan seksual di media tersebut.
Sebelumnya peretasan Project Multatuli terjadi setelah mereka menerbitkan laporan berjudul “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan” pada 6 Oktober 2021. Beberapa jam setelah laporan itu viral beserta tagar #PercumaLaporPolisi, Redaksi Project Multatuli mengumumkan situsnya tidak bisa diakses penuh karena menerima serangan DDoS.
“Ini kedua kali kami mengalami serangan digital. Keduanya berkaitan dengan perjuangan ibu demi keadilan atas kekerasan seksual yang menimpa anak-anaknya, dan keduanya berkaitan dengan bagaimana polisi menangani laporan sang ibu,” kata Evi, dalam keterangan tertulis yang diterima Tutura.Id (16/3/2023).
Serangan digital terhadap media dan wartawan di Indonesia kerap terjadi. Hal ini mengganggu kerja jurnalistik sekaligus jadi ancaman serius bagi kebebasan pers sehingga mendesak untuk diungkap.
“Ini seperti kisah klasik, yang kecil melawan yang besar. Ibu Lydia, ibu di laporan kami sebelumnya di Luwu Timur, dan Ibu Ratih di Baubau, adalah rakyat yang sedang melawan sistem besar yang tak adil,” lanjut Evi.
Sedikitnya, tiga media, yaitu Narasi, Konde.co, dan Magdalene.co, pernah mengalami serangan digital dalam enam bulan terakhir. Laman ketiga media itu mengalami serangan distributed denial of service (DDos) atau penolakan layanan secara terdistribusi.
Pada 2021, Magdalene dan Konde.co mengalami hal serupa. Saat itu, Magdalene.co menerima serangan distributed denial-of-service (DDoS), sehingga membuat situs tidak bisa diakses. Peretasan itu juga menyerang jurnalis dan editor Magdalene.co secara pribadi. Sementara, Konde.co tidak dapat mengakses akun Twitter-nya.
Peretasan merupakan upaya penghalangan seseorang atau kelompok tertentu terhadap kerja-kerja jurnalistik yang dijamin kebebasannya dalam UU no.40/1999 tentang Pers. Tak hanya diluar Sulteng, kejadian serupa juga menimpa para jurnalis di Sulteng.
Dalam catatan AJI Kota Palu, sedikitnya ada 4 kasus kekerasan yang menimpa jurnalis di Sulteng sepanjang 2022. Jumlah tersebut terdiri dari 2 kekerasan fisik mupun pelecehan dan sisanya dalam bentuk intimidasi.
Kejadian ini kembali menegaskan bahwa kebebasan pers di Indonesia masih belum dihargai. Media yang menulis tentang isu kekerasan seksual juga tak lepas dari tantangan dan persoalan.
"Tidak seperti yang dikatakan Pak Presiden di Hari Pers Nasional Februari lalu, kebebasan pers sudah bagus. Tidak, Pak Jokowi, kebebasan pers di Indonesia belum baik-baik saja," pungkas Evi.
project multatuli media siber serangan digital kebebasan pers pelecehan seksual DDoS