Sengatan matahari sore nan terik tidak menyurutkan semangat seratusan orang yang berkumpul di depan Gedung DPRD Sulawesi Tengah, Jalan Sam Ratulangi, Kota Palu. Mereka yang berkumpul sedang merayakan momen May Day alias Hari Buruh Internasional yang jatuh pada Senin itu (1/5/2023).
Aksi memeringati May Day itu diberi tajuk “Hysteria, Hari May Day Sedunia Tegakkan Ruang Keadilan."
Sejumlah organisasi nonpemerintah macam WALHI Sulteng, JATAM Sulteng, Solidaritas Perempuan, dan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) turut tergabung dalam aksi. Tak ketinggalan jua kelompok mahasiswa misal Himpunan Mahasiswa Sosiologi (HIMASOS) Untad, Himpunan Mahasiswa Administrasi Publik (HIMAP) Untad, dan Pembebasan. Ada pula Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Palu.
Organisasi-organisasi itu menyelenggarakan mimbar bebas yang diisi oleh orasi politik, puisi, pantomim, dan lain-lain. Pelbagai ekspresi dari mimber bebas itu mengirimkan pesan solidaritas bagi kaum buruh. Yel-yel seperti, “Hidup Buruh, Hidup Kaum yang tetap berjuang” terdengar membahana. Lagu-lagu khas demonstran seperti “Darah Juang” dan “Buruh Tani” pun kerap terdengar sebagai pelecut semangat.
Jelang petang, aksi massa kian ramai, menyusul bergabungnya komunitas pencinta vespa dalam barisan. Sebelumnya kelompok vespa ini juga melakukan konvoi keliling Kota Palu.
Para orator mengirim pesan soal kondisi buruh yang kerap mengalami penindasan. Termasuk beberapa ketimpangan yang dialami para buruh yang justru dianggap tidak dalam berbagai regulasi, termasuk Undang-Undang Cipta Kerja.
Pelbagai kasus perburuhan di level lokal juga turut disorot. Terutama nasib buruh pertambangan. Kelompok buruh ini memang masih berhadapan dengan pelbagai perkara mulai dari upah minim, status outsourcing, hingga risiko kecelakaan kerja nan tinggi.
Peristiwa longsor yang menewaskan dua pekerja di kawasan PT IMIP, Morowali jadi contog nyata ihwal kerentanan para buruh. Kasus lain yang juga disorot ialah kasus ricuh antara buruh Tiongkok dan Indonesia yang terjadi di kawasan PT GNI, Morowali Utara pada awal tahun ini. Bentrok itu bermula dari protes berkepanjangan dari buruh yang menyoal masalah keselamatan kerja hingga perkara upah.
Bentrok itu pada akhirnya berujung pada penangkapan dan penetapan tersangka pada 16 buruh PT GNI. Pengusutan kasus itu juga dianggap bertentangan dengan prinsip perlindungan bagi para pekerja. Moh. Taufik, Direktur JATAM Sulteng, menyebut kriminalisasi yang dialami 16 buruh PT GNI sebagai bentuk pembungkaman atas aktivis buruh.
“Mereka hanya meminta jaminan keselamatan yang harus diberikan oleh negara dan perusahaan. Artinya, para pengusaha yang menciptakan satu kawasan industri ini tidak menciptakan keamanan dan keselamatan bagi para pekerja,” kata Taufik saat berorasi.
Direktur Yayasan Tanah Merdeka, Richard Labiro, dalam orasinya, secara khusus menyoroti ketidakadilan yang sering dialami oleh para perempuan pekerja. “Biasanya kita dengar itu pelecehan seksual dan tidak adanya jaminan sosial seperti cuti haid dan maternitas. Mereka kerap dipekerjakan sama rata dengan laki-laki”, ujar Richard.
Padahal, kata Richard, hak buruh perempuan sudah tertuang dalam Undang-Undang 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mengamanatkan agar buruh perempuan berhak mendapatkan perlindungan jam kerja, masa haid, masa cuti hamil dan melahirkan, fasilitas menyusui, fasilitas kesehatan, dan keselamatan kerja.
Buruh perempuan juga rentan terhadap tindak pelecehan seksual dari rekan kerja maupun atasan. Untuk menyebut contoh bisa melihat kasus pelecehan yang terjadi di PT. GNI oleh sesama pekerja.
Ketua AJI Palu, Yardin Hasan, menekankan posisi jurnalis yang juga sebagai buruh bagi perusahaan media dan kerap jadi bulan-bulanan kebijakan upah minim. Sebelumnya, pada akhir 2022, AJI juga merilis hasil survei upah jurnalis.
Salah satu temuannya menunjukkan bahwa 81 persen jurnalis di Kota Palu mengaku bahwa masih mendapatkan upah di bawah standar kelayakan hidup.
Yardin juga menyampaikan pandangan ihwal UU Cipta Kerja yang disebutnya sebagai “pil pahit” bagi kalangan buruh.
"Kaum buruh mendapatkan "pil pahit" dalam 77 tahun perjalanan negara merdeka. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 (Cipta Kerja) adalah produk paling pahit yang dirasakan anak bangsa ini," kata Yardin.