
Di Desa Pamona, Kabupaten Poso, gerakan perempuan akar rumput hadir sebagai paralegal yang menangani kasus-kasus kekerasan terhadap kelompok rentan.
Lina Laando berjalan perlahan menuruni undakan tanah dengan sepatu hak tingginya. Ia masih mengenakan baju adat Pamona; berwarna hitam, berlengan panjang dengan manik-manik emas menghiasi pinggirnya. Ikat kepala juga ia pakai, berwarna senada dengan roknya, merah-emas.
Usianya 49 tahun. Di tengah terik siang itu, ia baru selesai mengikuti acara pernikahan yang dihelat tidak jauh dari rumahnya, tepatnya di Desa Pamona, Kelurahan Tentena, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Sebagai dewan adat, kehadirannya menjadi hal wajib ia penuhi.
Sejak 2011, Lina bergabung dalam komunitas gerakan sosial bernama Institut Mosintuwu. Dalam bahasa Pamona, Mosintuwu berarti bekerja bersama-sama. Mosintuwu merupakan kumpulan orang-orang yang bekerja memperjuangkan perdamaian dan keadilan pada saat konflik serta pasca-konflik di Poso dan sekitarnya.
Perempuan dan anak jadi fokus utama dalam setiap program, salah satunya dengan memberikan perlindungan dan pemenuhan hak.
Mengabdikan diri selama 11 tahun sebagai paralegal kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, diakui Lina bukan perkara mudah. Ia sempat berhenti, sebab dirinya menjabat sebagai dewan adat dan juga sebagai penatua di gereja, membuatnya kewalahan. Namun, hatinya kembali terpanggil karena keprihatinannya pada fakta bahwa korban tidak memiliki kekuatan untuk melawan kuasa pelaku.
Berkat kegigihannya memperjuangkan keadilan untuk korban, Mosintuwu mengamanatkannya mengemban tugas sebagai Koordinator Perlindungan Perempuan dan Anak.
“Saya hanya tamat SMP, tapi saya dipercaya untuk memimpin perempuan yang sama-sama memiliki tujuan yang mulia,” ucap Lina.
Pasal 1 angka 5 Permenkumham No.3 Tahun 2021 mengartikan paralegal adalah setiap orang yang berasal dari komunitas, masyarakat, atau Pemberi Bantuan Hukum yang telah mengikuti pelatihan paralegal, tidak berprofesi sebagai advokat, dan tidak secara mandiri mendampingi Penerima Bantuan Hukum di Pengadilan.
Istilah paralegal juga tercantum dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Dalam Pasal 9 disebutkan bahwa “Pemberi Bantuan Hukum berhak melakukan rekrutmen terhadap pengacara, paralegal, dosen, dan mahasiswa Fakultas Hukum.”
Pasal 10 juga menyebutkan bahwa, “Pemberi Bantuan Hukum berkewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan Bantuan Hukum bagi advokat, paralegal, dosen, mahasiswa Fakultas Hukum."
Tugas sulit sebagai paralegal
Menjadi paralegal berarti memerlukan keluasan dan kelapangan hati dalam setiap tugas pendampingan korban.
Lina masih ingat jelas kasus yang ditanganinya pada tahun 2013 di Ampana, Sulawesi Tengah. Selama beberapa pekan dengan mengendarai motornya, ia bolak-balik Poso-Ampana yang waktu tempuhnya hampir tiga jam. Tujuannya untuk mendampingi remaja 15 tahun, korban pemerkosaan bergilir yang melibatkan sejumlah pembesar.
Saat menuju tempat pelapor, Lina ditemani kewaspadaan. Sebab pada masa itu, atensi publik masih tertuju pada konflik Poso, meskipun peristiwa itu sudah lama berlalu. Identitas dirinya sebagai nasrani dan pergi ke wilayah mayoritas muslim bisa memunculkan prahara baru nantinya.
“Saya tidak takut, tapi saya harus selalu waspada karena sewaktu-waktu ancaman datang sama saya,” ungkapnya.
Saat itu, ia merasa seperti sedang mencuri. Ia harus datang malam, tidak boleh tinggalkan jejak, dan saat tiba di sana, Lina harus menunggu penjemput sebelum ke rumah pelapor.
“Saya tidak tahu apakah penjemput saya itu betul atau orang dari pelaku yang bisa saja dia bawa saya ke tempat lain,” tutur Lina.
Kasus tersebut sulit dibawa ke meja hijau, lantaran pelaku yang berjumlah lima orang, tiga di antaranya adalah anggota dewan. Belum lagi ketika proses penanganan berlangsung, pihak keluarga meminta kasus ini tidak perlu ditindaklanjuti lebih dalam lagi.
Selain para pelaku yang punya kekuasaan, penyebab lainnya juga karena biaya untuk sampai di pengadilan sangat besar. Namun, Lina bersama tim menguatkan keluarga bahwa korban harus mendapatkan keadilan dan para pelaku harus menerima ganjaran atas perbuatan keji mereka.
“Keluarga korban berpikir bisa habis rumah dan tanah mereka jual kalau kasusnya sampai pengadilan,” jelasnya.
Untungnya, pihak keluarga kembali bersedia untuk bekerja sama. Atas usaha bersama kasus tersebut bisa sampai ketuk palu.
Sayangnya, hanya dua pelaku yang mendapatkan hukuman penjara selama dua setengah tahun. Hukuman bui itu juga dianggap tidak sepadan dengan yang korban rasakan. Sementara itu, tiga orang lainnya yang berstatus anggota dewan, masih menjalani hari seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
“Saya cek di pengadilan, bertanya bagaimana hukuman kepada tiga pelaku, tapi pengadilan tidak memberitahukan lanjutannya ke kami,” lanjut Lina dengan nada kecewa.
Bagaikan efek domino, dari kasus tersebut terjadi kembali kasus yang menyayat hati. Tak lama setelah itu, ayah korban juga memerkosa seorang anak dengan disabilitas.
Pergulatan batin dan perasaan yang berkecamuk memenuhi pikiran Lina. Ia tidak bisa menangani kasus tersebut. Ia tahu kasus yang ditangani dengan melibatkan emosi, hasilnya akan bias.

Keluarga tak acuh pada korban
Saat ini, Lina bersama tim Mosintuwu sedang mengusut kasus prostitusi anak berumur 13 tahun yang terjadi di desanya.
Medio Oktober 2022, Lina mendapatkan laporan dari anak binaannya di gereja. Mereka menyampaikan bahwa korban kerap kali dibonceng oleh pelaku ke suatu tempat. Belum diketahui tempat yang dimaksud tepat berada di mana.
“Anak binaan saya bilang, mama itu anak sering keluar, terus dia bajajan bisa sampai seratus ribu, begitu kata mereka. Saat itu, saya coba berpikir positif mungkin saja dibonceng karena kebetulan sama jalannya to dan mamanya yang kasih uang,” cerita Lina.
Di sisi lain, Lina nyatanya gusar dengan laporan itu. Sebab kehidupan keluarga anak tersebut tergolong kurang mampu. Sehingga ia minta tolong kepada anak binaannya untuk memberitahukannya kembali apabila anak tersebut terlihat keluar lagi bersama terduga pelaku.
“Saya tidak bisa langsung simpulkan kalau itu benar terjadi, karena bukti dan informasi belum cukup kuat,” kata Lina.
Untuk membuktikan bahwa laporan itu benar adanya. Lina dengan penuh kehati-hatian menanyakan langsung kepada anak tersebut. Jawabannya iya dan terhitung satu tahun sudah pelaku mengajaknya untuk melakukan hubungan seksual.
“Saya lemas mendengarnya, apalagi orang tuanya sudah lama tau dan membiarkan saja,” ujar Lina penuh kegetiran.
Menurut keterangan Lina, alasan orang tua anak tersebut membiarkan pelaku karena pelaku membantu menunjang kebutuhan hidup mereka, seperti bantuan sambungan aliran listrik dan air ke rumah mereka.
“Faktor ekonomi, jadi keluarga menutupi bahkan cenderung membiarkan kekerasan, ini menjadi tantangan bagi kami,” ungkapnya.
Karena kasus tersebut baru terkuak, Lina belum bisa memberikan informasi lebih banyak. Tidak bergerak sendiri, ia akan bekerja sama dengan pihak sekolah, kepala desa, dan gereja untuk sama-sama memutus prostitusi anak. Kemungkinan besar kasus ini akan dibawa ke pengadilan.
Sebelum menangani kasus, Lina memerlukan kesepakatan orang tua korban dalam selembar surat yang ditanda tangani di atas materai. Karena kerap kali dalam penanganan kasus, keluarga korban meminta kasus untuk tidak dilanjutkan. Perjanjian hitam di atas putih juga sebagai bentuk resmi komitmen orang tua agar kasus diselesaikan hingga dibawa ke meja hukum.
“Sudah menjadi prosedur wajib untuk meminta perjanjian dari orang tua, jika tidak dilakukan pihak keluarga dengan mudah menyudahi kasus karena permintaan dari pelaku,” tuturnya.

Pengorbanan besar paralegal
Peran paralegal di daerah Tentena mendapat respons yang beragam dari masyarakat. Ada yang mengecam karena menganggap persoalan kekerasan seksual merupakan masalah pribadi dan bisa diselesaikan secara hukum adat.
Ada pula yang mendukung eksistensi paralegal demi keadilan yang ingin didapatkan korban. Salah satunya Andrew Perori, seorang pemuda desa yang bermukim tidak jauh dari rumah Lian tinggali. Ia mengaku terkesima dengan aktivitas paralegal yang dilakoni oleh sejumlah perempuan di daerahnya, termasuk Lina.
Sebagai seorang kakak yang mempunyai dua adik perempuan dan satu adik laki-laki, membuat Andrew memiliki khawatiran terhadap adiknya. Bukan tanpa alasan, kasus kekerasan seksual bisa terjadi oleh siapa saja, tanpa memandang gender korban maupun pakaian yang sedang dikenakan.
“Saya takut bisa saja kejadian menimpa saya atau orang terdekat saya. Kewaspadaan jadi perlu ditingkatkan berkali-kali lipat setelah mendengar banyaknya kasus yang mulai terungkap,” gusarnya.
Adanya peran paralegal membuat Andrew yakin bahwa masyarakat dari kalangan biasa dan tidak memiliki pendidikan tinggi, akan tetapi memiliki rasa empati besar, bisa menjadi sosok pahlawan bagi para korban. Menurutnya Lina bisa menjadi pemantik orang lain untuk ikut membantu para korban.
“Saya mengenal bu Lina di beberapa kegiatan yang saya ikut. Saya meyakini menjadi paralegal merupakan keputusan yang besar, karena konsekuensinya tinggi. Bisa dapat teror atau ancaman, bahkan bisa menyerang anggota keluarga juga,” timpalnya.
Umar K. Ato, seorang Politikus Ampana yang juga membantu Lina menangani kasus kekerasan seksual yang terjadi sembilan tahun yang lalu itu, menceritakan bahwa Lina yang dikenalnya adalah sosok pemberani, karena Umar menyadari risiko menjadi paralegal sangat besar.
Selain risiko mendapatkan ancaman dari pihak pelaku, menjadi paralegal juga harus siap berkorban atas waktu, uang, dan tenaga untuk mengawal kasus sampai di pengadilan.
“Pada waktu itu korban masih tingkat tsanawiyah (setara SMP), ditemani ibu dan tantenya korban diberikan perlindungan oleh Bu Lina, bahkan biaya makan hingga ke pengadilan ditanggung. Semasa perlindungan itu juga, korban difasilitasi untuk mendapatkan pendidikan yang layak sesuai jenjangnya,” ucapnya, mengingat kasus sembilan tahun silam.
Berkaca dari itu, Umar berharap semakin banyak daerah di Sulawesi Tengah mengambil langkah berani untuk membentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau sebagai individu yang turut andil memberantas tindak kekerasan seksual.
“Sejatinya kekerasan seksual ini dapat ditekan kasusnya lewat peraturan yang memberatkan pelaku, kepedulian orang sekitar, dan juga kepekaan dari keluarga. Saya berharap setiap daerah memberikan sanksi tegas kepada pelaku dan menumbuhkan rasa peduli kita kepada para korban,” ujarnya.
Perempuan akar rumput lindungi perempuan dan anak
Sepanjang jalan upaya menghentikan kasus kekerasan kepada anak dan perempuan, Mosintuwu sudah mencetak kurang lebih 25 perempuan paralegal yang tersebar di 23 desa di Kabupaten Poso. Perempuan itu semua berasal dari masyarakat akar rumput yang memiliki tujuan menumpaskan kasus terhadap perempuan dan anak.
Dikutip dari artikel yang diterbitkan mosintuwu.com, pada 25–29 Januari 2016, paralegal dilatih oleh Sondang Sidabutar, seorang psikolog praktisi lapangan. Ia menekankan berulang kali “belajar mendengarkan korban,” karena kecenderungan pendamping memberikan nasihat kepada korban dapat menjadi hambatan dan malah mengobjekkan korban.
Cerita tentang penolakan keluarga korban, tiba-tiba dicabutnya laporan kasus oleh korban, hingga keterlibatan tokoh penting melindungi pelaku, menjadi sekelumit kisah yang dihadapi para pendamping.
Lian Gogali, Ketua Institut Mosintuwu, mengatakan impian yang ingin dirajut ialah desa yang bebas dari kekerasan terhadap perempuan dan anak.
“Perlindungan perempuan dan anak sebagai perwujudan membangun gerakan bersama masyarakat atas kesetaraan dan kemanusiaan, di mana tidak ada kekerasan dalam bentuk apapun terhadap perempuan dan anak di desa,” ucap Lian menuntaskan.
Editor: Wan Ulfa Nur Zuhra
Liputan ini didukung oleh beasiswa peliputan “Yang Muda, Yang Mewartakan” yang diadakan oleh Rutgers Indonesia dan Project Multatuli.
Institut Mosintuwu Lian Gogali Lina Laando kekerasan seksual kekerasan perempuan anak project multatuli Hari Perempuan Internasional


