Riwayat hagala sebagai upaya menyucikan harta
Penulis: Juenita Vanka | Publikasi: 26 April 2023 - 15:03
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Riwayat hagala sebagai upaya menyucikan harta
Ilustrasi memberikan hagala yang diisi dalam amplop kepada anak yang berkunjung ke rumah saat Hari Raya Idulfitri (Foto: Gatot Adri/Shutterstock)

“Om, tante, minta hagala leh.” Demikian kalimat kerap terlontar dari mulut bocah-bocah yang datang pesiar ke rumah-rumah saban Idulfitri.

Jika bocah yang datang bersilaturahmi ditemani kedua orang tuanya, dalam konteks keluarga dekat, biasanya permintaan hagala blak-blakan meluncur dari salah satu antara ayah atau ibu. “Mana hagala untuk kemenakanmu?” Begitu kurang lebih bunyinya.

Terkadang permintaan tadi tak harus dilontarkan lantaran tuan rumah mafhum belaka. Pasalnya memberi atau meminta hagala telah lama berlangsung. Menjadi semacam tradisi yang kerap mengisi suasana lebaran di Kota Palu.

Menurut keterangan Farid Djavar Nasar, S.H., salah satu tokoh keturunan Arab yang telah lama bermukim di Palu, istilah tersebut berasal dari kata “haqqallah” yang bermakna haknya Allah SWT sebab rezeki yang diberikan kepada manusia sejatinya hanya titipan. Sementara.

“Kalau orang sini (Palu, red.) sudah mengadaptasi sebutannya jadi hagala. Sebetulnya itu kayak zakat. Jadi orang-orang yang meminta itu adalah orang yang meminta haknya Allah SWT. Dan diberikan kepada orang-orang yang memang pantas menerima. Cuma sebenarnya semua orang yang datang meminta itu wajib dikasih,” ungkap Farid Djavar saat ditemui Tutura.Id di kediamannya yang berlokasi di Jalan Mangga, Kelurahan Siranindi, Palu Barat (24/4/2023).

Sekilas pemberian hagala mirip dengan angpau yang lestari oleh warga keturunan Tionghoa di bumi persada. Kalangan awam juga menyebutnya dengan “salam tempel”.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan makna kiasan tersebut dengan salam yang disertai uang (atau amplop berisi uang) dan sebagainya yang diselipkan dalam tangan orang yang disalami.

Negara-negara di Jazirah Arab sudah lama mempraktikkannya. Lazim dikenal dengan istilah eidiyah alias hadiah Idulfitri. Biasanya diberikan kepada anak-anak sebagai hadiah karena mereka telah melaksanakan puasa.

Momen membagikan eidiyah berlangsung saat kumpul keluarga usai pelaksanaan salat Ied. Isinya tak melulu uang, bisa juga dalam bentuk mainan.

Istilah hagala juga akrab oleh warga Bima, Nusa Tenggara Barat. Gerombolan pemburu hagala ini biasanya akan menyambangi rumah ke rumah saban lebaran tiba. Berharap mendapatkan hagala alias sedekah dari sang empunya rumah.

Berpindah ke Padang, Sumatra Barat. Istilah hagala alias salam tempel lebih akrab dengan sebutan “nambang”. Artinya juga berbagi uang kepada anak kecil yang datang bertamu saat Hari Raya Idulfitri.

Masyarakat di Natuna, Kepulauan Riau, ajek memakai istilah “uang tepuk kening” sebagai padanan hagala. Pasalnya setiap anak yang mendapatkan uang akan menerimanya sembari menepuk kening.

Anak-anak di Bungku Tengah, Kabupaten Morowali, alih-alih menyerukan hagala lebih sering menggunakan kata tambaru saat meminta uang kepada penghuni rumah.

 
 
 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by Komunitas_Historia_Sulteng (@komunitashistoria_sulteng)

Pemberian hagala menyatu dengan tradisi iwadh

Bagi warga keturunan Arab yang bermukim di Palu, kebiasaan memberikan hagala akhirnya menyatu dengan tradisi iwwadh yang juga muncul saban lebaran.

Pelaksanaannya biasa saat hari kedua Idulfitri. “Karena hari pertama itu biasanya dikhususkan untuk keluarga,” demikian Farid Djavar menjelaskan.

Cara pemberian hagala saat iwwadh cukup unik. Empunya rumah akan menghamburkan uang dari lantai kedua atau bagian yang lebih tinggi di rumah mereka. Para warga sekitar yang telah menunggu tak sabar di bawah kontan bersuka cita berebutan uang hagala tersebut.

Tradisi menghamburkan uang hagala saat iwwadh, lanjut Farid Djavar, sebenarnya muncul belakangan. Sebagai bentuk ungkapan syukur dan euforia berbagi yang dilakukan oleh generasi muda sekarang.

“Apa yang dilakukan orang tua dulu itu berbagi  dengan jemaah dan juga warga sekitar yang datang berkunjung ke rumah,” tambah mantan Ketua Umum Himpunan Pemuda Alkhairaat (HPA) itu.

Lebaran ala keturunan Arab di tanah air yang akrab dengan istilah iwwadh juga masih lestari di daerah lain. Warga Kampung Arab di Kelurahan Istiqlal, Kecamatan Wenang, Manado, misalnya, akan mengitari perkampungan pada hari kedua perayaan Idulfitri mulai pukul 07.00 WITA hingga 16.00 WITA.

Rombongan berjalan diiringi musik hadrah mengunjungi sekitar 450 rumah untuk saling bermaafan dan mendoakan.

Pun warga Kampung Arab di Kelurahan Tanjung Selor Ulu, Kecamatan Tanjung Selor, Bulungan, Kalimantan Utara. Tradisi saling mengikat tali persaudaraan dari rumah ke rumah secara beramai-ramai tetap awet dijalankan. Masyarakat di sana juga turut membagikan hagala dalam bentuk uang atau makanan.

“Lebaran Arab atau yang biasa kita kenal iwwadh merupakan tradisi yang dilakukan sejak lama oleh tetua kami. Kalau dulu itu dipimpin langsung oleh Habib Idrus bin Salim Al-Jufri atau Guru Tua,” sambung Farid Djavar.

Tujuan pelaksanaan tradisi ini semata untuk menjaga silaturahmi dan saling berbagi. Al-Qur’an Surah Az-Zariyat, Ayat 19 menjelaskan, “Dan pada harta benda mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta.”

Memberi hagala yang sama maknanya dengan mengeluarkan zakat berarti upaya untuk menyucikan harta dan juga ungkapan syukur.

Istilah iwwadh terangkut dari kata “yaudu” yang bisa berarti kembali, pulang, terulang, mengunjungi, atau menyinggahi. Maknanya secara umum adalah kembali kepada keadaan semula alias fitrah (fitri). Setelahnya diharapkan seseorang bisa memulai kehidupan dengan hati yang suci.

Farid Djavar memaparkan pelaksanaan iwwadh biasanya bermula di Masjid Jami, Kampung Baru, sebagai masjid tertua di Lembah Palu yang sudah ada sejak abad ke-19. Setelah itu rombongan akan bergerak ke Masjid An-Nur, Kelurahan Siranindi, dan tuntas di Masjid Alkhairaat yang berlokasi di Jalan Sis Aljufri, tak jauh dari Masjid An-Nur.

Berbagai wejangan dan tausiah kemudian disampaikan oleh para tetua kepada generasi muda dan anak-anak di sana. Setelahnya para warga keturunan Arab ini akan melakukan ziarah kubur.

Akhir dari tradisi iwwadh akan diisi silaturahmi dari rumah ke rumah orang yang dituakan. Biasanya tiap-tiap rumah sudah menyediakan berbagai makanan khas dari keluarga tersebut.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
1
Jatuh cinta
1
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Semarak Lebaran Mandura dan Kampung Baru Fair
Semarak Lebaran Mandura dan Kampung Baru Fair
Warga Kampung Baru senantiasa merawat tradisi Lebaran Mandura dengan penuh sukacita. Penyelenggaraan Kampung Baru Fair…
TUTURA.ID - Arak-Arakan Bhuta Kala terbanyak ada di langit Torue
Arak-Arakan Bhuta Kala terbanyak ada di langit Torue
Total ada 36 patung menyeramkan diusung dalam pawai Ogoh-Ogoh di Kecamatan Torue, Kabupaten Parimo. Jumlah…
TUTURA.ID - Keriuhan Kampung Baru Fair 2024
Keriuhan Kampung Baru Fair 2024
Pelaksanaan Kampung Baru Fair yang memasuki tahun kesembilan tak luntur daya tariknya. Istikamah memadukan tema…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng