“Eh, pigi menonton film Cek Toko Sebelah 2 kita?”
Demikian bunyi pesan singkat yang nongol di ponsel saya akhir pekan lalu. Pengirimnya seorang kawan yang mengaku penggemar karya-karya film arahan Ernest Prakasa (40).
Berselang beberapa jam kemudian meluncurlah kami berdua menuju XXI, jaringan bioskop terbesar di Tanah Air, yang berlokasi di lantai teratas Palu Grand Mall, Jalan Diponegoro, Kelurahan Lere, Palu Barat.
Lantaran kami menonton pas akhir pekan, harga tiket sedikit lebih mahal dibandingkan hari kerja. Untuk hari-hari biasa, harga karcis dibanderol Rp40.000 per lembar.
Demikianlah cara kita menikmati keajaiban sinema. Harus merogoh kocek untuk menebus selembar tiket menonton film di bioskop. Kebiasaan ini sudah berlangsung dari seabad lalu ketika gedung ekshibisi jadi tonggak utama penopang laju industri film.
Sejarah mencatat, kegiatan pemutaran perdana film untuk khalayak dan berbayar terjadi pada 28 Desember 1895. Tempat pemutaran berlangsung di Le Salon Indien, sebuah ruangan bawah tanah Grand Café yang kini beralamatkan di 14 Boulevard des Capucines, Paris, Prancis.
Auguste dan Louis Lumière sebagai inisiator awalnya mengincar Folies Bergère, sebuah gedung pertunjukan kabaret, dan Museum Grevin sebagai tempat berlangsungnya pemutaran. Niatan mereka bersambut penolakan dari masing-masing pengelola gedung tersebut.
Berdasarkan pamflet acara yang disebarkan untuk menggaet animo publik, acara bertajuk “Cinematographe Lumière” itu memutarkan 10 film. Judul-judulnya tak lupa disertakan dalam lembaran.
Tentu saja bentuknya kala itu masih hitam putih dan bisu. Pembuatan film menggunakan pita seluloid 35mm dengan aspek rasio 1.33:1 yang bergerak 16 bingkai per detik. Durasi tiap film juga masih sangat terbatas. Tak ada satupun film yang temponya melebihi satu menit.
Acara pemutaran tersebut dihadiri 40 orang penonton. Alhasil turut mengukuhkan Lumière Bersaudara sebagai pelopor bioskop. Mereka sebelumnya telah angkat nama sebagai penemu kamera sekaligus proyektor bernama cinematographe.
Demi melihat antusiasme khalayak, niat Lumière Bersaudara mendirikan gedung bioskop sendiri yang mereka istilahkan sebagai sinema jadi tumbuh makin kuat.
Bioskop hadir di Hindia Belanda
Lahirnya medium gres bernama moving pictures alias gambar idoep yang bikin heboh orang-orang Eropa beredar kencang dari mulut ke mulut. Akhirnya teknologi tersebut menyambangi tanah air.
Dalam berbagai tulisan, seperti buku Film Indonesia. Bagian I (1900-1950), 100 Tahun Sejarah Bioskop di Indonesia, dan Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa, disebutkan bahwa pemutaran film pertama di Hindia Belanda (Indonesia) berlangsung di Kebondjae, Tanah Abang, Batavia, pada 5 Desember 1900.
Fakta berbeda ditemukan Dr. Dafna Ruppin yang tertuang dalam jurnal The Emergence of a Modern Audience for Cinema in Colonial Java (2017).
Berdasarkan halaman iklan surat kabar Java-Bode (Utusan Jawa) edisi 9 Oktober 1896, Louis Talbot, fotografer berkabangsaan Prancis yang tinggal di Batavia, telah memutar film pada 11 Oktober 1896. Tempat pemutaran di Batavia Schouwburg (sekarang Gedung Kesenian Jakarta).
Sementara pemutaran film di Kebondjae, Tanah Abang, Batavia, pada 5 Desember 1900, turut pula diiklankan. Surat kabar Bintang Betawi menulis iklannya sebagai berikut:
“Besok hari Rebo 5 Desember 1900 PERTOENDJOEKAN BESAR JANG PERTAMA didalem satoe roemah di Tanah Abang, Kebondjae (Menage) moelain poekoel toedjoe malem, Harga Tempat: klas Satoe f2, klas Doewa f1, klas Tiga f0,50.”
Jangan bayangkan tempat pemutaran film berbayar yang diakses masyarakat kala itu seperti wujudnya yang sekarang. Tempat pemutaran biasanya menyewa gedung atau rumah. Tak jarang pemutaran berlangsung pula di lapangan terbuka alias gerimis bubar (misbar).
Harga karcis terbagi menurut klasifikasi ras yang digunakan oleh pemerintah kolonial Belanda, yaitu kelompok warga Eropa, keturunan Tionghoa, dan warga pribumi alias inlander.
Bioskop menjadi bentuknya yang sekarang alias gedung permanen setelah dianggap sebagai bisnis yang menjanjikan. Satu per satu gedung bioskop hadir di Batavia, mulai dari Cine Lumen di Tanah Abang, Thalia Theatre di Mangga Besar, Globe Bioscope di Pasar Baru, Flora Theatre di Pasar Senen, dan Elite Bioscope di daerah Pintu Air.
Sementara kehadiran bioskop pertama di Kota Palu bisa ditelusuri melalui koleksi foto Tropenmuseum Belanda.
Ada sebuah foto sebuah bangunan terbuat dari kayu dengan papan nama Elite terpampang di bagian atas.
Penjelasan pada arsip foto bertitimangsa 1920 itu menyebut Elite merupakan bioskop di Paloe. Tidak ada keterangan spesifik lokasi bioskop tersebut.
Kemudian pada 1951, merujuk iklan yang dikeluarkan Djawatan Penerangan, hadir lagi Bioskop Nasional yang terbuat dari anyaman bambu alias pitate. Lokasinya sekarang beralamat di Jalan Imam Bonjol, Palu Barat.
Bioskop Nasional memutarkan film-film Malaysia, Indonesia, dan India. Rerata jumlah penonton setiap harinya 50 orang. Bioskop ini hanya beroperasi selama enam tahun, kemudian tutup. Ketika buka kembali namanya sudah berganti jadi Fujiyama, lalu Istana.
Pencinta film di Kota Palu makin punya banyak opsi seturut hadirnya bioskop lain, mulai dari Karya (kemudian berganti Benteng), Nusantara, Queen, Surya, Isabella, dan Palu Studio.
Semua nama bioskop tadi hanya tersisa cerita. Kini warga Palu yang doyan nonton film hanya mengandalkan XXI jika ingin mengalami keajaiban sinema.
bioskop film sinema sejarah Lumiere Bersaudara Cinematographe Batavia Tropenmuseum sinematografi gambar idoep Palu Studio Bioskop Nasional Bioskop Istana Bioskop Nusantara Bioskop Benteng Bioskop Elite Bioskop Fujiyama Bioskop Karya misbar