Lukisan potret sosok yang familiar itu tampak kontras dengan warna-warna cerah. Jika diperhatikan lebih dekat, terdapat banyak komposisi gambar kecil kaya dengan simbol yang membuat lukisan itu utuh dengan maknanya sendiri.
Bentuk sosok di lukisan mengingatkan pada patung palindo di Padang Sepe, Lembah Bada, Poso. Tidak seperti bentuk nyatanya, di tangan seniman Lampurio, arca peninggalam zaman megalitikum ini dikemas dalam konsep pop art dengan pilihan warna vinbrant, lebih bebas, dan penuh warna.
Total ada delapan lukisan potret profesi manusia dengan bentuk palindo yang terpajang di Dunia Art Gallery Jakarta, sebuah galeri seni sekaligus perusahaan bingkai berusia 25 tahun yang mendedikasikan diri mendukung praktik-praktik kesenian serta menemukan dan memunculkan bakat-bakat baru seniman Indonesia.
Karya seniman dengan cambang lebat ini terpampang sejak bulan lalu dan masih dipamerkan hingga kini. Rio Simatupang, demikian nama aslinya, sengaja memilih konsep pop art. Alasannya ingin menampilkan potret gambar yang tak melulu mengikuti kunci dalam pakem realis.
"Secara bentuk delapan karya saya ini terinspirasi dari patung palindo yang ada di Sulawesi Tengah. Dalam pendekatan penciptaan karya, saya tidak pada bentuk kerja lukis realis yang literal memindahkan objek secara fotografis ke dalam media. Saya merestrukturisasi dan menginterpretasi objek sehingga memperluas visibilitas dalam karya saya,” ungkapnya saat dihubungi Tutura.Id, Sabtu (15/7/2023).
Ketertarikannya terhadap patung palindo yang menjadi peninggalan peradaban prasejarah di tanah kelahirannya diakuinya sudah muncul sejak lama.
Sementara di satu sisi, dia juga menyukai tema tribal (kesukuan), etnik, dan sesuatu yang memiliki nilai budaya. Kerap kali lukisan tema ini menjadi gagasan yang disematkan dalam lukisannya.
Maka jadilah lukisan-lukisan profesi yang dilukisnya itu dalam bentuk patung palindo, semisal lukisan sosok tentara, penjahit, penambang, dan lainnya.
"Jejak peninggalan tertua itu ada di kampung saya. Selama ini di Indonesia yang populer itu peninggalan yang ada di Jawa, seperti Borobudur atau candi-candi lainnya. Padahal di wilayah Indonesia lainnya banyak jejak peradaban yang punya nilai budaya," kata Rio.
Inspirasi lukisan potret profesi dengan bentuk patung palindo pada karya terbarunya ini, jelasnya, lekat dengan kebudayaan megalitikum. Bukan hanya bentuk dari patung palindo. Contohnya, ciptaan garis-garis yang tersemat dalam pakaian kulit kayu. Simbol tersebut diadopsinya dalam komposisi lukisannya.
"Yang saya jemput dari patung palindo secara imajinatif adalah irama kehidupan sosial yang mengelilingi patung palindo kala itu. Dimana satu profesi dan profesi lain saling mendukung untuk membangun peradaban,” jelasnya.
Soal ini, Lampurio menyebut tarian raego. Sebuah tarian syair tradisional yang hidup berkembang di masyarakat Suku Kulawi, Suku Bada, dan Kaili. Potret dari tarian raego yang membentuk lingkaran dari sekelompok orang dengan beragam profesi inilah yang ditampilkan dalam keselarasan lukisannya.
Ia mencoba memberikan spot light pada kenyataan bahwa satu profesi memberi kontribusi yang saling berhubungan. Seperti itu ia mengartikan konstelasi connection the dot antarmanusia melalui disiplin lintas profesi.
Saat ini, Lampurio tengah merampungkan 17 lukisan potret profesi lainnya. Dia punya rencana membuat total 25 tulisan dengan tema ini. Termasuk patung palindo sebagai tokoh utama di dalamnya yang diadaptasi dari tarian raego tadi.
"Inspirasinya ada di dalam tarian raego. Setiap orang dalam tarian satu lingkaran itu punya profesi yang berbeda. Entah dari nelayan, petani, pedagang, atau siapa pun itu. Ketika mereka keluar dari lingkaran itu mereka adalah dengan profesinya masing-masing," jelasnya penuh semangat.
Ia berharap 25 buah penciptaan lukisan karya yang semuanya dikemas dalam konsep pop art ini mendapat kesempatan menggelar pameran tunggal dirinya di Jakarta tahun depan.
Tentang Lampurio
Rio lahir di Masani, Kabupaten Poso. Dulunya adalah seorang fotografer dan videografer. Ia pernah terlibat dalam film dokumenter maupun layar lebar. Seperti film "Perempuan-Perempuan Liar" yang rilis pada 2011 lalu, ia menjadi kru penata artistik.
Pria kelahiran 25 September 38 tahun lalu ini menamatkan kuliah di Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta pada tahun 2008 mengambil jurusan Ilmu Komunikasi.
Memulai menekuni dunia kesenian sejak 2014, ia berkelana ke Jakarta, Jogjakarta, dan Bali. Saat kembali ke Palu pada tahun 2015, secara tak sengaja kameranya rusak. Ia membangun rumah tinggal sebidang tanah diberi nama Rumah Hutan Drupadi (RDH). Tempat ini menjadi ruang alternatif berkesenian tak hanya untuk dirinya. Tetapi siapa pun yang ingin belajar memahami seni, khususnya seni lukis.
Tak jarang di masa itu, beberapa seniman dari Palu maupun luar Palu berkumpul di Rumah Hutan Drupadi yang terletak Jalan Bukit Alia, Kelurahan Tondo, tepatnya berada di belakang kampus Universitas Tadulako.
Di sana ia fokus tidak hanya pada satu gambar, tapi karya lukis cukil kayu. Menurutnya saat itu, tren seni lukis cukil kayu masih sedikit. Lukisan-lukisan yang diciptakan saat itu banyak berasal dari keresahan sosial di sekitarnya, misalnya persoalan lingkungan, laut, dan sampah yang beberapa kali mengikuti event dan pameran.
Sayangnya, sebuah insiden terjadi. Tahun 2016, RHD mengalami kebakaran. Beberapa karya lukisan didalam turut dilalap api.
Sebagai seniman seni rupa, Lampurio banyak membuat karya yang sifatnya proyek pribadi. Karya yang dihasilkan membawanya ke beberapa pameran bersama.
Kini, sejak menikah ia menetap di Bekasi, Jawa Barat, bersama anak dan istrinya. Ia masih terus mengerjakan karya-karya lukisan visual dan terus terlibat kerja-kerja kolaborasi.
Rio akhirnya berhasil menggelar pameran tunggal perdana bertajuk "RESIPROKAL" pada 1 April hingga 1 Mei 2023 di Smiljan Space, Ciputat, Tangerang.
Lampurio lukisan Rio Simatupang patung palindo megalitikum pop art Dunia Art Gallery pameran Rumah Hutan Drupadi kesenian kebudayaan kearifan lokal