Ragam tradisi menyambut perayaan Idulfitri di Parigi Moutong
Penulis: Mughni Mayah | Publikasi: 21 April 2023 - 21:38
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Ragam tradisi menyambut perayaan Idulfitri di Parigi Moutong
Anak-anak berbondong ambil bagian menyalakan pelita untuk meramaikan malam menyambut Idulfitri (Foto: Mughni Mayah/Tutura.Id)

Menyambut datangnya hari kemenangan setelah sebulan lamanya berpuasa alias Idulfitri, beragam bentuk selebrasi berkembang di tanah air. Puncaknya biasa berlangsung saat malam lebaran.

Beberapa daerah ada yang sifatnya meneruskan karena sudah menjadi tradisi. Sementara yang lain coba mengombinasikan kebiasaan lama dengan menambahkan unsur kebaruan mengikuti perkembangan zaman.

Intinya bikin suasana tetap meriah dan hati gembira menyambut lebaran.

Kami sempat mengunjungi beberapa desa yang ada di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, untuk mengintip semarak acara-acara tersebut.

Rentetan cahaya kelap-kelip dari beragam jenis lampu menghiasi pagar rumah warga di sepanjang sisi jalan.

Mereka yang menggunakan lampu tradisional menghiasinya hingga membentuk seperti lentera. Sementara pengguna lampu yang lebih modern memanfaatkan Light Emitting Diode (LED) jenis strip untuk membentuk semacam terowongan cahaya.

Warga di Desa Palapi, Kecamatan Taopa, misalnya, membuat hiasan berupa replika kubah masjid yang berpendar karena dipasangi LED strip. Sementara di sekitarnya dipasangi lampu minyak tradisional di tanah lapangan yang cukup luas.

Karena keindahannya, ramai orang berkunjung untuk sekadar menyaksikan malam dengan ratusan lampu itu bersama keluarga.

Anak-anak bermain sambil berlari untuk ikut memasang obor. Tak ketinggalan beberapa remaja tampak asyik berswa foto mengabadikan momen itu untuk kepentingan sosial media.

Sementara kelompok yang lebih tua tampak asyik mengobrol sembari melihat sekeliling.

Keadaan biasanya makin ramai usai salat tarawih. Umumnya para jamaah akan menyempatkan waktu singgah untuk menikmati pemandangan bermandikan cahaya tadi.

Kreativitas warga Desa Lobu, Kecamatan Moutong, yang bersebarangan dengan Desa Palapi juga tak kalah.

Saat memasuki area desa, jejeran LED tampak sudah terpasang membentuk terowongan. Panjangnya hingga beberapa ratus meter.

Ada pula sebuah replika kubah masjid dari bambu yang cukup besar terpampang. Agar terlihat lebih jelas saat malam, barisan LED strip dijadikan penghias.

Menurut salah satu warga, aktivitas memasang dan menghiasi desa tadi disebut “malam pasang lampu”.  

“Ini pertama lagi setelah beberapa tahun tidak dilaksanakan di Desa Lobu,” ujar Hendra yang tergabung dalam organisasi pemuda Karang Taruna Raja Basar (KTRB) kepada Tutura.Id (18/4/23).

Hendra mengungkapkan ada sekitar 20 bagian LED berukuran 100 meter yang terpasang di tiang terowongan bambu. Kubah masjid dan tiang di belakangnya adalah tiang bagian terakhir.

Hendra dan kawan-kawannya di KTRB mempersiapkan “malam pasang lampu” dua pekan sebelum lebaran. Tradisi ini hanya ada saat menjelang Idulfitri, biasanya tiga hari terakhir bulan Ramadan.

Tradisi “malam pasang lampu” yang konon sudah berlangsung sejak berabad silam berasal dari kalangan etnis Gorontalo.

Adanya pengaruh budaya itu lantaran Kecamatan Taopa dan Kecamatan Moutong secara geografis berdekatan dengan wilayah Gorontalo. Sehingga ada percampuran dari dua provinsi tersebut.

Lidah orang Gorontalo menyebut kebiasaan malam pasang lampu dengan istilah “tumbilotohe”. Tradisi yang sarat dengan nilai religi ini diperkirakan telah berlangsung sekitar abad ke-15 atau ke-16 ketika Islam pertama masuk dan berkembang di daerah tersebut.

Warga biasanya akan menyalakan tohe alias pelita dan meletakkannya di halaman rumah, jalan menuju masjid, hingga sawah. Pasalnya dahulu sangat minim cahaya sehingga penduduk kesulitan melakukan aktivitas salat berjamaan di masjid saat malam hari. Alhasil warga menyalakan pelita di sepanjang jalan sebagai penerang.

Masa itu lampu penerangan masih terbuat dari wamuta atau seludang (daun berukuran besar) yang dihaluskan dan diruncingkan, kemudian dibakar. Alat penerangan ini disebut mayango atau obor.

Seiring waktu, alat penerangan mulai menggunakan tohetutu atau damar, semacam getah padat yang menjadi bahan bakar.

Kemudian, berkembang lagi memakai lampu yang menggunakan sumbu dari kapas dan minyak kelapa. Wadahnya terbuat dari kima (sejenis kerang) dan pepaya yang dipotong dua. Lampu ini disebut padamala.

Melintasi zaman, bahan lampu untuk penerangan berganti minyak tanah hingga sekarang. Bahkan untuk lebih menyemarakkan tradisi ini sering ditambahkan dengan ribuan lampu listrik.

Sebagian masyarakat percaya bahwa dengan melakukan tradisi “malam pasang lampu” alias “tumbilotohe”, mereka akan mendapatkan keberkahan pada malam lailatul qadar.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
1
Jatuh cinta
0
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Rusdy Toana: Tokoh Muhammadiyah, dan perintis pembentukan Sulteng
Rusdy Toana: Tokoh Muhammadiyah, dan perintis pembentukan Sulteng
Nama Rusdy Toana diajukan menjadi pengganti Jalan Jabal Nur. Tokoh Muhammadiyah ini memang punya rekam…
TUTURA.ID - Aksi sosial merawat kebhinekaan dan kepedulian antarumat
Aksi sosial merawat kebhinekaan dan kepedulian antarumat
Aksi sosial yang diinisiasi Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Sulteng mengajak bukber sahabat difabel.
TUTURA.ID - Tok! mulai besok resmi puasa Ramadan
Tok! mulai besok resmi puasa Ramadan
Hasil pemantauan hilal di Desa Marana, Kecamatan Sindue, Kabupaten Donggala, mengungkapkan munculnya bulan sabit muda.…
TUTURA.ID - Horor berebut jatah kue Lebaran di bioskop
Horor berebut jatah kue Lebaran di bioskop
Menayangkan film bergenre komedi dan drama keluarga untuk mengisi libur Lebaran hanya ada di televisi…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng