Di balik kemajuan industri nikel di Morowali, tersembunyi kisah buruh perempuan yang jarang diungkap. Mereka bekerja dengan upah rendah, jam kerja panjang, dan minimnya perlindungan.
Eksploitasi terhadap buruh perempuan ini bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga gambaran ketimpangan gender yang terus terjadi. Meskipun mereka menjadi pendorong utama roda produksi, nasib mereka tetap berada di pinggiran.
Fenomena feminisasi industri menggambarkan bagaimana semakin banyak perempuan dipekerjakan dalam sektor-sektor tertentu, seringkali karena dianggap lebih mudah diatur dan bersedia menerima upah yang lebih kecil.
Menurut feminis Sylvia Walby, feminisasi ini biasanya juga disertai dengan marjinalisasi perempuan di posisi subordinat yang memperparah ketidaksetaraan di dunia kerja.
Dinamika pekerjaan buruh perempuan
Buruh perempuan di industri nikel Morowali menjalani rutinitas kerja yang penuh tekanan. Jam kerja yang panjang dan target produksi yang ketat membuat mereka bekerja nyaris tanpa henti.
Setelah seharian bekerja di pabrik, banyak di antara mereka masih harus menjalankan tugas rumah tangga. Tak heran, banyak dari mereka yang mengalami masalah kesehatan, seperti kelelahan kronis, sakit punggung, dan gangguan pernapasan akibat polusi di tempat kerja. Ironisnya, perusahaan tampaknya masih mengabaikan kondisi ini.
Salah satu contoh yang menonjol adalah pengalaman RT, buruh perempuan berumur 25 tahun, yang bekerja di PT IHIP. Dia terpaksa berhenti selama empat bulan akibat kondisi kesehatannya yang memburuk. Ketika kembali bekerja, dia justru merasa semakin tertekan oleh atasan yang sering mencari kesalahannya.
Kondisi seperti ini membuat banyak buruh perempuan terjebak dalam siklus kerja yang melelahkan tanpa adanya perhatian yang memadai terhadap kesehatan mereka.
Menurut Dr. Ellen Galinsky, presiden Families and Work Institute, perempuan yang menjalankan peran ganda—baik sebagai pekerja maupun pengurus rumah tangga—sering mengalami kelelahan yang lebih besar dibandingkan dengan laki-laki.
Kelelahan ini, jika terus-menerus terjadi, dapat menyebabkan masalah kesehatan serius seperti gangguan pernapasan dan nyeri tubuh. Di industri nikel, di mana tekanan kerja sangat tinggi, kesehatan fisik dan mental buruh perempuan kerap kali berada dalam risiko.
Fenomena feminisasi industri menunjukkan bahwa meskipun lebih banyak perempuan bekerja di sektor ini, tantangan yang mereka hadapi juga semakin berat.
Setelah bekerja selama 12 jam sehari, mereka masih harus pulang untuk mengurus keluarga yang mengakibatkan kelelahan fisik dan mental.
Tantangan dalam menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan pribadi ini memperlihatkan bahwa feminisasi industri nikel bukan hanya soal peningkatan jumlah pekerja perempuan, tetapi juga tentang kualitas hidup mereka yang kian terancam.
Eksploitasi dan kondisi kerja yang sesungguhnya
Di PT IMIP, buruh perempuan yang bekerja di kantin harus menghadapi jadwal yang sangat padat. Mereka harus masuk kerja mulai pukul 04.00 atau 08.30 Wita. Jam kerja ini bisa berlangsung hingga 12 jam.
Waktu untuk istirahat pun terbatas, hanya mendapatkan dua hari libur per bulan, sementara banyak perusahaan lain memberikan empat hari libur. Tidak jarang, para buruh ini tetap bekerja pada hari libur demi menutupi kebutuhan hidup yang semakin berat.
Di tempat kerja, risiko kecelakaan juga tinggi. Salah satu contoh tragis adalah seorang rekan SYS yang kehilangan beberapa jari saat bekerja dengan alat pemotong.
Jam kerja yang panjang serta minimnya perlindungan keselamatan dan kesehatan menambah tekanan bagi para buruh perempuan. Mereka merasa terjebak dalam situasi kerja yang melelahkan.
Di perusahaan ini, belum ada kebijakan khusus untuk buruh perempuan yang baru melahirkan. Tidak ada Izin Tanpa Dibayar (ITD) yang memungkinkan mereka beristirahat setelah melahirkan. Cuti melahirkan sering kali dianggap sebagai bagian dari cuti biasa.
Ketentuan yang berlaku dalam banyak perusahaan di Morowali ini membuat para ibu pekerja merasa kurang mendapat perlindungan memadai untuk memulihkan diri.
Buruh perempuan juga tidak diizinkan mengambil Surat Keterangan Sakit (SKS) kecuali dari klinik yang disediakan perusahaan, yang seringkali jauh dari lokasi kerja. Kondisi ini jelas menyulitkan, terutama bagi buruh yang bekerja pada malam hari, seperti yang terjadi di PT GCDMR. Selain itu, fasilitas seperti toilet yang layak masih sangat terbatas.
Fenomena feminisasi industri menciptakan wajah baru dalam industri pengolahan nikel di Morowali. Peningkatan jumlah buruh perempuan di sektor ini tidak sebanding dengan kesejahteraan yang mereka dapatkan.
Keuntungan besar yang dinikmati perusahaan seperti PT IMIP dan PT IHIP tidak tercermin dalam kondisi kerja yang dialami buruh perempuan.
Kisah feminisasi industri ini mengungkap bagaimana perempuan menjadi bagian integral dari eksploitasi tenaga kerja. Sementara perhatian terhadap hak-hak dan kesejahteraan mereka sangat minim.
Richard Fernandez Labiro, Direktur Eksekutif Yayasan Tanah Merdeka
Catatan redaksi: Tulisan opini merupakan pandangan pribadi penulis. Tutura.Id menerima tulisan berbentuk opini sebagai usaha untuk memperkaya perspektif dalam melihat sebuah fenomena dan isu tertentu.
pekerja perempuan buruh perempuan diskriminasi feminisasi tambang nikel PT IMIP PT IHIP Morowali kesehatan kesejahteraan keadilan