“Work, work, work away
Honey, take me to this paradise
With a miracle kiss
All we need is an island.”
Demikian sepenggal lirik lagu “All We Need Is an Island” yang ditembanglaraskan duo Sammy Hagar dan Nancy Wilson.
Lagu yang dirilis 2013 itu semerta mengalun di kepala saat Randhy Andi Baso melayangkan ajakan untuk trip singkat menuju Kepulauan Togean.
Randhy adalah kawan sekaligus pengampu Tripinera, jasa pariwisata dengan spesialisasi memandu para wisatawan menuju ke kepulauan yang secara administratif berada di wilayah Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah.
Kunjungan terakhir saya delapan tahun silam ke tempat berjuluk “a piece of heaven in the center of Celebes” itu juga memanfaatkan jasa Tripinera.
Sejak dekade 90-an kepulauan ini sudah mendunia dan jadi favorit pelancong, termasuk yang berasal dari mancanegara. Mereka menyebutnya sebagai the hidden paradise. Surga yang tersembunyi.
Ada banyak pilihan yang bisa dilakukan untuk menghabiskan waktu libur di tempat ini, mulai dari berjemur, berenang, menyelam, dan trekking.
Jika ingin merasakan sensasi yang tak berkaitan dengan laut, maka opsi melakukan wisata sejarah di Masjid Jami Una-Una, menjelajahi hutan dengan segala kekayaan flora dan fauna di dalamnya, merasakan hempasan air terjun Tanimpo, hingga sekadar bertafakur melepas penat dari riuh kehidupan kota bisa dilakukan.
Pendeknya Kepulauan Togean adalah destinasi terbaik bagi mereka yang mencari kebahagiaan hidup sederhana dikelilingi oleh keindahan alam.
Di sini kita bisa melupakan sejenak tenggat kerja yang memburu keseharian, menetralkan gendang telinga dari pekak lalu-lalang kendaraan, dan mengisi paru-paru dengan oksigen yang membaur di tengah udara bersih.
Nikmati saja hamparan keindahan gugusan pulau berpadu birunya laut dengan suka cita. Retret.
Randhy bilang episode berpelesir kali ini saya akan bergabung dengan rombongan kawan-kawan dari Halaman Belakang Films yang dikomandoi Yusuf Radjamuda. Kebetulan mereka sedang mengerjakan proyek merekam berbagai pesona keindahan alam yang ada di Teluk Tomini.
Gugusan pulau yang memanjang sekitar 102,7 kilometer itu memang melintang di tengah Teluk Tomini. Luas perairan lautnya kurang lebih 340 ribu hektare. Sementara luas kawasan daratnya sekitar 25 ribu hektare.
Sejak 19 Oktober 2004, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.418/Menhut-II/2004, Kepulauan Togean akhirnya ditetapkan sebagai Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dengan status Taman Nasional.
Per Juni 2019, Taman Nasional Kepulauan Togean masuk dalam lis Jaringan Cagar Biosfer Dunia UNESCO, sebuah organisasi pendidikan, keilmuan, dan kebudayaan di bawah payung PBB.
Menumpang sebuah mini bus pariwisata, saya ditemani Randhy dan seorang kawan lagi berangkat dari Palu menuju Ampana, Kamis (17/11/2022), sekitar pukul 10.00 WITA.
Perjalanan menyusuri rute sepanjang 369 kilometer ini memakan waktu sekitar sembilan jam. Ada satu kali perhentian di rumah makan demi memberikan kesempatan kepada para penumpang untuk makan siang.
Apa boleh bikin, moda transportasi darat merupakan satu-satunya opsi jika hendak melancong ke Togean.
Sebenarnya sempat ada opsi menuju Ampana via udara seiring dibukanya Bandar Udara Tanjung Api medio 2015.
Efek panjang pandemi dan terhentinya pemberian subsidi penerbangan membuat tidak ada lagi maskapai pesawat yang melayani rute dari Palu-Ampana dan sebaliknya.
Padahal kita bisa menghemat banyak waktu dan tenaga dengan bepergian menggunakan pesawat. Hilir-mudik wisatawan juga bisa makin ramai lancar.
Kenyataan tersebut sungguh ironis mengingat janji pemerintah daerah setempat yang ingin menggenjot sektor pariwisata di Kabupaten Tojo Una-Una.
Estafet perjalanan terhenti sejenak untuk menghabiskan malam di Ampana, pusat pemerintahan Kabupaten Tojo Una-Una. Pasalnya kapal-kapal yang melayani rute menuju Kepulauan Togean hanya berlayar pagi hari.
Rombongan kami bertolak dari hotel menuju pelabuhan yang terletak di Tanjung Api menggunakan bentor.
Embusan angin pelan menerpa wajah. Matahari bersinar terang nan hangat menyapa kulit. Permukaan laut pun datar tanpa hempasan ombak berarti. Cuaca bersahabat yang tercipta berkat hujan semalam yang mengguyur Ampana.
Sepanjang perjalanan membelah lautan, kapal cepat yang kami tumpangi melewati hamparan pulau-pulau karst kecil. Bebatuan cadas yang ditumbui pepohonan itu seolah mengambang di atas lautan.
Ada satu kejadian tak terlupakan yang menimpa perjalanan kami. Mesin kapal yang semula melaju mulus di atas permukaan laut mendadak “batuk-batuk” dan tak lama kemudian mati.
Untuk beberapa saat kami mengapung di atas lautan. Berusaha saling berkoordinasi menjaga keseimbangan kapal agar tak oleng.
Beruntung setelah upaya perbaikan beberapa saat di Desa Kulingkinari, Kecamatan Batudaka, mesin kapal kembali berfungsi normal.
Tanpa buang waktu nakhoda langsung tancap gas menuju Poyalisa Cottages, lokasi yang menjadi perhentian pertama kami.
Poyalisa menempati “sepetak” pulau berukuran tak lebih dari lima hektare. Jika melongok Google Maps, pulau ini bahkan tak tampak oleh radar.
Ismail, seorang mantri kesehatan di Bomba, membeli pulau ini dan mengubahnya dari onggokan tak bertuan yang hanya dipenuhi kelapa dan belukar menjadi destinasi bagi pelancong yang membutuhkan ketenangan.
Rasa kagum langsung menguar saat menyusuri sisi belakang dermaga yang menjadi gerbang kedatangan kami.
Hamparan pasir putih nan lembut memenuhi liukan garis pantainya yang serupa tanjung. Rimbun nyiur dan semilir angin yang beradu dengan deburan ombak sungguh bikin teduh. Kaki seolah enggan beranjak menikmatinya.
Di Poyalisa, sisi pantai dipenuhi semak yang menutupi kaki tebing karst. Terdapat beberapa pondokan pula di atas tebing. Air lautnya berwarna pirus, perpaduan biru dan hijau.
Kala siang berganti malam, kami menerima kunjungan Pia Sundström dan Elly, pasutri pemilik sekaligus pengelola Araya Dive Resort. Mereka berdua ditemani oleh seorang kawannya yang lain.
Lahan sanggraloka Araya yang hanya selemparan batu di depan Poyalisa Cottages terselip anggun di antara rimbun pepohonan.
Menurut keterangan Randhy inspirasi nama resor itu diambil dari Tom Araya (basiss dan vokalis kelompok Slayer). “Soalnya Pia penggemar berat Slayer,” kata Randhy.
Dengan penuh rasa ragu, karena mengaggapnya kelakar belaka, saya lempang saja mengunyah informasi tersebut.
Pia dengan penuh semangat mengobrol panjang lebar tentang spot-spot menyelam yang baru saja mereka telusuri. Termasuk kondisi bawah laut di Pulau Una-Una yang jadi tempat banyak ikan berukuran besar hilir-mudik. “Ukurannya sebesar meja ini,” jelas Pia sambil memegang meja makan.
Usai menghabiskan sehari semalam di Poyalisa, tiba saatnya menuju titik destinasi berikutnya; Pulau Kadidiri. Kami menginap di Paradise Resort yang dikelola oleh Elisabeth Yusuf. Kami menyapanya dengan panggilan Cik Ellys.
Reputasi pulau ini sebagai tempat persinggahan kadung populer di kalangan pelancong, terutama turis asing.
Airnya bening dan sejuk, pasir putih terhampar sejauh mata memandang, keindahan bawah lautnya dipenuhi terumbu karang yang mengundang banyak kawanan ikan menari.
Jumlah pesanggrahannya jauh lebih banyak dan lega ukurannya dibandingkan Poyalisa Cottages. Wisatawan yang menginap, campur baur antara asing dan lokal, otomatis juga lebih banyak.
Banderol menginap di Kadidiri Resort Rp310 ribu per kepala per malam. Sama seperti di Poyalisa, di tempat ini ada suguhan tiga kali makan dalam sehari dengan menu ikan-ikan segar fresh from the ocean.
Sementara itu, sekitar 34 kilometer dari dermaga kayu Paradise Resort tempat saya berdiri, tampak Pulau Una-Una yang jadi kampung halaman Kasim Latjuba—kakek Sophia Latjuba, dan Galib Lasahido—mantan gubernur Sulawesi Tengah.
Bagian tengah Pulau Una-Una berdiri kokoh Gunung Colo yang menjulang 508 meter di atas permukaan laut. Letusan dahsyat gunung ini pada 23 Juli 1983, sekira pukul 16.23 WITA, telah membumihanguskan dua per tiga bagian pulau ini. Sebagian daratannya mengalami down lift.
Sekira 16 kilometer dari Pulau Kadidiri, pelancong bisa melongok jasad pesawat tempur B-24 Liberator sisa perang dunia kedua milik sekutu yang terkubur abadi di bawah laut.
Lipatan waktu menelan cepat masa liburan kami di Kadidiri yang hanya sehari semalam. Pertanda saatnya berkemas kembali ke Palu. Perahu ketinting sudah menanti di dermaga. Bersiap mengantarkan kami menuju Wakai, lalu bablas kembali ke Ampana.
Belum puas rasanya terbuai oleh iringan sepoi angin di atas ayunan hammock. Pun masih banyak tempat yang belum sempat dieksplorasi. Suatu hari dalam kunjungan berikutnya akan saya tuntaskan.
Togean Kepulauan Togean liburan vakansi wisata Halaman Belakang Films Kadidiri Paradise Resort Pulau Una-Una Gunung Colo Ampana Poyalisa Cottages Araya Resort Tripinera pelancong Tojo Una-Una taman nasional Kasim Latjuba Galib Lasahido