Rusdy Toana. Bukan tak mungkin bakal jadi satu nama jalan di Kota Palu, ibu kota Sulawesi Tengah, provinsi yang turut dia perjuangkan pembentukannya—terbentuk sekira dua dekade setelah revolusi Agustus 1945.
Nama Rusdy Toana memang sudah diusulkan untuk menjadi nama jalan oleh Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Palu.
Medio 2022, organisasi itu meminta kepada Pemerintah Kota Palu untuk mengubah nama salah satu poros menjadi Jalan H.M. Rusdy Toana. Usulan perubahan nama itu menyasar Jalan Jabal Nur, poros yang membentang dari Jalan Hangtuah hingga Bundaran STQ di Jalan Soekarno-Hatta.
Sebagian Gen Z dan Milenial mungkin punya ingatan terbatas tentang Rusdy Toana. Itupun kemungkinan besar sekadar mengingat namanya sebagai salah seorang tokoh pers di Sulteng.
Beliau memang dikenal sebagai pendiri Mercusuar, surat kabar tertua di Sulteng. Sebagian lagi mungkin pula mengenangnya sebagai rektor pertama Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Palu.
Barangkali, yang jarang diingat, ialah peran tokoh kelahiran 9 Agustus 1930 ini dalam pembentukan provinsi Sulteng. Rusdy memang sudah malang melintang di Jawa, utamanya Yogyakarta sejak akhir 1940-an. Ia sudah berada di Yogyakarta dan tergabung dengan Tentara Pelajar di Kesatuan Brigade 16 Yon Matalatta sebagai seksi pelajar Sulawesi.
Semasa perjuangan fisik, Rusdy menerbitkan majalah Bakti Suara Pelajar Pejuang Sulawesi, bersama Palangky Dg. Lagu. Selepas itu Rusdy melanjutkan sekolah SMA dan melanjutkan kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada (UGM). Pada fase mahasiswa inilah Rusdy berkenalan pula dengan organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Andi Maddukelleng menulis bahwa Rusdy ikut mengurusi majalah yang jadi corong PB HMI pada 1953. “Dua tahun selanjutnya, 1955 ia menjadi staf redaksi pada harian Suara Umat Yogyakarta. Kemudian dipanggil PB HMI ke Jakarta untuk memimpin harian Abadi,” tulis Maddukelleng dalam buku Biografi H. Rusdy Toana.
Di luar urusan Korps Hijau Hitam, Rusdy juga aktif bergiat bersama mahasiswa, pelajar, dan pemuda Sulteng. Pada medio 1960, diadakan Musyawarah Besar Mahasiswa dan Pelajar Sulteng se-Indonesia, dan Rusdy terpilih sebagai pemimpin presidium.
Kelompok inilah yang aktif dalam gerakan pembentukan Sulawesi Tengah. Perjuangan itu yang akhirnya menemukan pintu gerbang pembentukan Sulteng pada 1964. Konsep yang diajukan para mahasiswa Sulteng, dengan pentolan Rusdy Toana dan Mene Lamakaratte, pun menjadi acuan dari wilayah Sulteng yang sekarang kita kenal.
Setelah Sulteng terbentuk, Rusdy berkiprah di macam-macam bidang, mulai dari pers, pendidikan, sosial, hingga kemasyarakatan. Ia mengurusi Mercusuar, surat kabar legendaris di Sulteng; hingga mewujudkan cita-cita membangun Univesitas Tadulako, sebagai bagian dari komitmen pendirian provinsi Sulteng.
Tutura.Id mencoba merangkum beberapa hal penting dan menarik dari ketokohan Rusdy Toana.
Tokoh Muhammadiyah Sulteng
Untuk mengenang sosok Rusdy Toana sebagai tokoh Muhammadiyah, Tutura.Id berkesempatan berbincang dengan Syamsuddin H. Chalid. Tokoh sepuh Muhammadiyah yang pernah menjabat sebagai Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM ) Sulteng pada 1985.
"Beliau itu (Rusdy), punya revitalisasi yang luar biasa menggerakkan Muhammadiyah. Sebelum kami belajar Muhammadiyah, ia telah menjadi tokoh Muhammadiyah," terang Syamsuddin saat ditemui kediamannya Jalan Marjun Habi, Kecamatan Palu Barat, Kamis (6/4/2023).
Dia bersaksi bahwa di masa kepengurusan Rusdy, Muhammadiyah Sulteng menjadi organisasi sosial yang sangat dihargai amal usahanya.
Akademisi Sejarah Untad, Haliadi-Sadi dan pengajar UIN Datokarama, Dr. Syamsuri--dalam buku Sejarah Islam di Lembah Palu (2016)--menyebut bahwa Rusdy dan tokoh lain seperti M. Ridwan, dan Ishak Arep, menjadi pentolan kepengurusan Muhammadiyah di Sulteng sekitar 1965-1970.
Pada periode ini pula dibangun Sekolah Dasar Muhammadiyah, yang menjadi institusi pendidikan pertama Muhammadiyah di Kota Palu. Bersamaan dengan pembangunan Masjid Al-Furqan. Pada masa kepemimpianan Rusdy juga dibangun Masjid Al-Haq di Jalan Suprapto.
Hingga sekarang persona Rusdy selalu jadi panutan bagi kader Muhammadiyah Sulteng. Sosoknya pun terus dirindukan.
Pendiri Untad, dan rektor pertama Unismuh
Pada 1990-1995, Rusdy Toana diangkat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Muhammadiyah Sulteng. Pada saat itu pula ia memangku jabatan sebagai rektor pertama Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Palu.
Dalam catatan sejarah Muhammadiyah Sulteng, belum ada sosok yang menduduki dua jabatan sekaligus dalam organisasi tersebut; sebagai ketua DPW Muhammadiyah Sulteng, dan rektor Unismuh Palu.
Sebenarnya upaya merintis Unismuh Palu sudah dimulai sejak 1960-an. Ikhtiar menyatukan sejumlah institusi pendidikan tinggi Muhammadiyah di Kota Palu menemukan momentum pada 2 Agustus 1983, momen peresmian Unismuh Palu dengan Rusdy Toana sebagai rektor pertamanya.
Konon Rusdy nyaris tak pernah menikmati honornya sebagai rektor Unismuh Palu. Honornya memang selalu tekor, lantaran orang yang berbondong-bondong datang ke rumahnya. Mulai dari mahasiswa, pelajar, hingga pengurus Muhammadiyah dari berbagai pelosok.
Rusdy juga tercatat ikut jadi pelopor berdirinya Universitas Tadulako (Untad). Ia bersama Danrem 132 Tadulako pada 8 Mei 1963, mempelopori berdirinya Universitas Tadulako Cabang Universitas Hasanuddin dengan Rektor Drs. Nasri Gayur.
Untad, yang kini Menjadi perguruan tinggi terbaik Se-Sulteng, digagas menggunakan konsep Kebudayaan Tadulako. Rusdy konon ikut bersumbangsih dalam pemberian nama Tadulako yang dianggapnya mewakili semua suku di Sulawesi Tengah. Beriring waktu konsep itu diterima dan jadilah Untad sebagai universitas negeri yang tak lagi menjadi cabang dari Universitas Hasanuddin.
Pendiri surat kabar tertua
Pada sela-sela kesibukannya dalam perjuangan pembentukan Sulteng, Rusdy mendirikan surat kabar mingguan, Suara Rakyat, yang terbit pertama kali di Palu pada 1 September 1962.
Suara Rakyat menjadi corong Rusdy untuk menyuarakan berita berbasis dakwah yang condong pada nilai-nilai kemuhammadiyahan. Dalam perkembangannya, Suara Rakyat bertransformasi menjadi surat kabar harian dan ganti nama menjadi Mercusuar.
Mercusuar kini diteruskan dalam putra ketiga Rusdy, Tri Putra Toana, dan tetap bertahan menjadi salah satu surat kabar utama di Sulteng.
Seorang pebisnis
Rusdy wafat pada medio Agustus 1999. Namun warisan nilai-nilai dan inspirasinya tak luntur. Tutura.Id mengobrol pula dengan Izma Dwi Ariesta Toana atau Amira Toana. Ia merupakan cucu dari Rusdy Toana, dan anak dari Tri Putra Toana.
Amira mengingat ulang hari-hari di masa kecilnya yang dihabiskan bersama Datok Rusdy--sapaan hormat yang dipakainya untuk menyapa Sang Kakek.
Saat Amira remaja yang masih duduk di bangku SMP, Datok Rusdy pernah mengajarinya perihal bisnis. Konsep berbisnis sederhana menurut ajaran Datok Rusdy ialah sesuai dengan pemenuhan anggota tubuh.
"Jika kamu ingin kepalamu berilmu, maka buatlah koran berisi Informasi. Jika anggota tubuh lain seperti perut, butuh makan maka buatlah bisnis kuliner," kenangnya sembari membuat lukisan rangka tubuh manusia.
Lewat wasiat lawas mendiang sang Datuk, kini perempuan yang baru saja menamatkan pendidikan pasca sarjana MBA di Binus Internasional University (JWC) ini, mengembangkan bisnis berbagai bidang seperti kuliner, properti, dan desainer.
"Aku ingin memberi kontribusi lewat bisnis agar Sulteng bisa menjadi kota yang berkelas," ujar Amira.
Rusdy Toana Muhammadiyah Muhammadiyah Sulteng Sulawesi Tengah Sulteng tokoh ulama Tutur Ramadan 1444 H Unismuh Palu Untad Palu Sejarah Sulteng