Pencegahan selalu lebih baik dari pengobatan. Ini juga berlaku pada kanker serviks atau kanker mulut rahim pada perempuan.
Di Indonesia, penyakit kanker menduduki urutan kedua penyebab kematian terbesar. Satu tingkat di bawah penyakit kardiovaskuler.
Kementerian Kesehatan RI mendefinisikan penyakit kanker merupakan penyakit tidak menular yang ditandai dengan adanya sel/jaringan abnormal yang bersifat ganas, tumbuh cepat tidak terkendali dan dapat menyebar ke tempat lain dalam tubuh penderita.
Berdasarkan data Global Burden Of Cancer Study (Globocan) di Tahun 2018, terdapat 18,1 juta kasus baru dengan angka kematian 9,6 juta. Dengan kata lain, terdapat 1 dari 8 laki-laki dan 1 dari 11 perempuan meninggal akibat kanker.
Globocan juga mengungkap di tahun 2020 Indonesia berada pada urutan ke 8 negara di Asia Tenggara untuk kasus penyakit kanker, dengan total 396.914 kasus. Adapun dan total kematian akibat kanker mencapai 234.511 kasus.
Khusus kanker serviks di Indonesia, Kementerian Kesehatan RI mengungkap penyakit ini menempati urutan kedua setelah kanker payudara. Kasus kanker serviks berjumlah 36.633 kasus atau setara dengan 9,2% dari total kasus kanker secara keseluruhan.
Belum ditemukannya obat kanker turut membuat prevalensi kanker terbilang tinggi. Begitu juga dengan kematian akibat kanker yang tinggi. Olehnya, Dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Sis Aljufrie Kota Palu dr Syahrir Abdurrasyid, Sp.OG menyarankan langkah pencegahan adalah yang terbaik untuk menyelamatkan nyawa dari kanker.
Virus HPV
Meski belum ditemukanya obat, namun penyebab dari beberapa kanker telah diketahui. Dengan begitu, langkah pencegahan bisa dilakukan dan terukur.
Misalnya, kanker serviks yang turut disebabkan oleh infeksi Human Papillomavirus (HPV). Virus ini kemudian menginfeksi sel mulut rahim yang sehat.
dr Syahrir Abdurrasyid, Sp.OG menyebut sebagian besar besar kasus kanker serviks (leher rahim) disebabkan oleh infeksi Human Papillomavirus (HPV), yang ditularkan selama aktivitas seksual. Virus ini menginfeksi sel serviks dan menyebabkan perubahan di dalamnya sehingga dianjurkan untuk rutin melakukan tes 1-3 tahun untuk wanita yang sudah menikah.
“Tidak dianjurkan untuk yang belum menikah, karena kira-kira mau dirusak itu selaput darahnya,” ujarnya kepada Tutura.id saat ditemui di ruang parktiknya pada Jumat (9/6/2023).
Dia menyebut dua cara yang sering digunakan untuk mendeteksi adanya kanker leher rahim yaitu melalui tes pap smear dan Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA). Keduanya diyakini merupakan upaya pencegahan yang efektif bagi kanker serviks, karena mendeteksi secara dini dan mencegah penyebaran kanker lebih luas.
Pap smear dan IVA
Pap smear adalah singkatan dari Papanicolaou smear. Tindakan ini menurut dr. Syahrir, bukanlah tes melihat sel kanker. Tapi upaya mendeteksi gejala seperti infeksi atau perubahan yang mengarah pada keabnormalan sel.
“Pap smear itu bukan untuk melihat kanker, tapi mendeteksi yang lain dulu, kalau ada tanda infeksi yang lain diobati. Tapi kalau ada kelainan itu baru kita curiga kanker,” imbuhnya.
Sedangkan IVA merupakan pemeriksaan skrining dari pap smear karena biasanya murah, praktis, sangat mudah untuk dilaksanakan dan peralatan sederhana serta dapat dilaksanakan selain oleh dokter ginekologi.
Perbedaan pap smear dan IVA, dapat dilihat dari tindakan yang dilakukan. Lebih rinci dr. Syahrir menjelaskan kedua pemeriksaan ini.
Untuk pap smear, tes dilakukan dengan memasukan alat spekulum (cocor bebek) ke dalam vagina. Alat ini berfungsi untuk membuka dinding vagina sehingga bagian leher rahim dapat terlihat.
Setelah itu diambil sampel jaringan di leher rahim menggunakan spatula, sikat halus khusus, atau keduanya. Kemudian akan diletakkan di wadah khusus dan akan diperiksa di laboratorium.
Sementara tindakan tes IVA menggunakan asam asetat 5 persen yang dioleskan ke bibir rahim selama 30-60 detik. Setelah itu, serviks dilihat secara kasat mata dengan bantuan lampu. Dengan penambahan asam asetat, dapat dilihat dimana yang normal tidak akan berubah warna. Namun, bila ada kelainan misalnya infeksi atau lesi pra-kanker, akan tampak putih bisa dicurigai kanker.
Untuk mendeteksi secara lebih jelas pap smear lebih efektif karena hasilnya melalui uji laboratorium, namun dr Syahrir menyebutkana IVA lebih cepat proses deteksinya.
Sebab pemerikasan IVA bisa langsung didiagnosa dan dilakukan proses penghilangan/ bintik-bintik yang di curigai kanker menggunakan alat crayo, yang ditempelkan pada leher rahim dan membentuk bola es yang akan mencair dan merontokkan sel yang dicurigai kanker. Namun hal itu hanya bisa dilakukan jika kanker masih pada masa stadium awal.
Olehnya, dr Syahrir menyarankan agar ada baiknya jika pemerintah menyediakan vaksin anak kelas 5 SD untuk mencegah terjadinya kanker serviks. Di samping deteksi dini pap smear dan IVA, yang terbatas hanya pada perempuan yang aktif secara seksual.
Jika tidak dicegah sejak dini, dia khawatir kasus kanker di Indonesia akan semakin tinggi. Begitu pun angka kematian menjadi tinggi. Sebab bila kanker serviks baru terdeteksi pada stadium akhir, akan berpengaruh pada rahim dan bisa menyebar ke organ lainnya.