Mata publik Indonesia sedang tertuju ke Sulawesi Tengah, lebih khusus lagi ke Parigi Moutong. Selama sepekan terakhir (25 Mei-1 Juni 2023), mesin pendeteksi tren pencarian warganet, Google Trends mencatat bahwa pencarian kata kunci “pemerkosaan” didominasi dengan tambahan lema “Sulawesi Tengah” dan “Parigi.”
Pemicunya ialah kasus pemerkosaan nan laknat yang diduga kuat dilakukan oleh 11 orang dewasa terhadap seorang anak perempuan berusia 16 tahun--saat peristiwa terjadi baru 15 tahun. Perkara ini memang tengah jadi sorotan media massa nasional. Tokoh-tokoh papan atas pun ikut angkat suara.
Misalnya, Puan Maharani, Ketua DPR-RI dan politisi PDI Perjuangan, yang turut mengutuk kasus ini. “Tidak ada tolerir terhadap kekerasan seksual. Tindak tegas pelaku kekerasan seksual seberat-beratnya,” ujar Puan.
Pengacara kondang Hotman Paris juga ikut angkat suara. Lewat Instagram, Hotman bahkan menyatakan siap jadi kuasa hukum bagi korban.
Adapun Konselor hukum dan pendamping korban, Salma Masri menjelaskan bahwa kondisi psikologis korban masih sangat terguncang. Kondisi kesehatan juga memburuk lantaran infeksi akut pada organ reproduksi.
Salma menjelaskan bahwa semula ada tindakan operasi yang sudah dijadwalkan akan dilakukan di RSUD Undata pada Rabu (31/5/2023). Namun operasi urung terjadi lantaran kondisi kesehatan korban belum memungkinkan. .
“Jadwal tadi keluar itu akan dilakukan hari Selasa pekan depan (6/6/2023). Tapi tetap kembali lagi melihat kondisi korban,” ujar Salma, via pesan WhatsApp kepada Tutura.Id, Rabu (31/5/2023).
Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Sulteng, Patricia Yabi menegaskan bahwa pihaknya akan terus melakukan pendampingan bagi korban. Saat ini, kata Patricia, pihaknya memprioritaskan kondisi psikis dan fisik korban.
“Kondisi kesehatan korban saat ini tidak memungkinkan untuk assesment kembali. Yang jelas, kami berharap kepada kepolisian agar proses hukumnya terus dilanjutkan,” ujar Patricia, yang dihubungi Tutura.Id pada Selasa (30/5/2023).
Polisi sebut kasus persetubuhan, tepatkah?
Peristiwa ini bermula ketika korban yang berasal dari Poso ikut dalam aktivitas penyaluran bantuan ketika terjadi bencana banjir di Desa Torue, Parigi Moutong, pada Juli 2022. Saat itulah korban berkenalan dengan salah satu pelaku yang memberikan iming-iming pekerjaan.
Korban pun memutuskan untuk tinggal di Parigi Moutong. Semasa itulah aksi bejat para pelaku terjadi. Para predator melakukan aksi laknatnya berkali-kali dengan waktu dan tempat kejadian yang berbeda-beda. Para pelaku juga kerap mengiming-imingi sesuatu. Ada pula melempar ancaman dengan senjata tajam.
Kasus ini mulai tersingkap setelah korban pulang ke Poso, dan mengeluhkan sakit di bagian organ intimnya. Orang tua korban, yang tak tahan mendengar cerita anaknya, akhirnya melaporkan kasus ini pada 25 Januari 2023.
Kini polisi telah menetapkan 10 orang tersangka, yakni HR (43), ARH (40), AK (47), AR (26), MT (36), FN (22), K (32), AW, AS, dan AK. Selain para tersangka, ada pula seorang terduga yang berstatus anggota brimob.
Sebagai catatan, HR merupakan seorang kepala desa. Sedangkan ARH berprofesi sebagai guru SD di Desa Sausu. Enam dari 10 tersangka sudah diringkus oleh kepolisian.
Kabid Humas Polda Sulteng, Kombes Pol. Djoko Wienarto, menyebut bahwa para pelaku bakal dijerat dengan Pasal 81 ayat 2 UU Perlindungan Anak, juncto Pasal 65 KUHP. Rujukan hukum itu mengatur ihwal “persetubuhan dengan tipu muslihat.” Ancaman hukumannya maksimal 15 tahun penjara dan denda Rp5 miliar.
Kapolda Sulteng, Agus Nugroho juga menolak pakai istilah "pemerkosaan" dalam kasus ini. Sudut pandang kepolisian itu memicu kritik publik.
Pemerhati anak dan pendidikan, Retno Listyarti, salah satu yang menyampaikan kritiknya. Dalam intreviu dengan Kompas TV, Retno menyatakan bahwa kasus ini lebih tepat disebut “eksploitasi seksual terhadap anak.”
Ia merujuk pada Pasal 76D UU Perlindungan Anak, yang memuat larangan “melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.”
Ada dugaan unsur relasi kuasa yang menjerat korban, terutama dari pihak pemberi kerja. Pasalnya, dari lintasan kronologis kasus, konon korban diberikan pekerjaan pada sebuah warung, lantas dipaksa melayani nafsu bejat para pelaku dengan berbagai iming-iming serta ancaman.
Adapun Salma, pendamping korban, menyebut bahwa kasus ini seharusnya ditangani dengan mengacu kepada UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Ia menyatakan bahwa UU TPKS lebih menjamin rasa keadilan bagi korban, antara lain dengan instrumen restitusi (ganti rugi).
“Baiknya untuk mempermudah alat bukti, sebaiknya (tuntutan) dikompilasi dengan UU TPKS,” kata Salma.
Selain itu, Pasal 15 UU TPKS juga mengatur ihwal pemberatan hukuman bila tindakan kekerasan seksual “dilakukan terhadap anak” atau "dilakukan dengan dua orang atau bersekutu.” Pun tercantum pula kalimat bila aksi bejat itu “mengakibatkan terhentinya dan/ atau rusaknya fungsi reproduksi.” Pemberatan hukuman tersebut bisa mencapai sepertiga dari total ancaman hukuman.
Kepala UPTD PPA Sulteng, Patricia juga menyoroti latar belakang sejumlah tersangka dan terduga.
“Ada terduga oknum brimob. Terus oknum guru dan kepala desa yang sudah ditetapkan (tersangka). Kenapa mereka melakukan hal tersebut? Jadi kami berharap nanti juga ada pasal pemberatan terhadap pelaku-pelaku tersebut,” katanya.
Sulteng darurat kekerasan seksual
Kasus kekerasan seksual, terkhusus yang menimpa perempuan dan anak, kian marak di Sulteng.
Merujuk data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, antara Januari-Juni 2023 (setengah tahun berjalan), sudah terjadi 98 kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan dan anak.
Bila datanya dibuka lebih jauh, dalam kurun waktu 2020-2022, kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak di Sulteng juga terus meningkat drastis. Pada 2020, jumlah kasus hanya mencapai 155. Angkanya naik jadi 236 pada 2021. Lantas melonjak hingga 310 kasus pada 2022.
Kasus yang terjadi Parigi Moutong ini juga menambah daftar kelam kekerasan pada anak di Sulteng.
Pada awal 2023, ada kasus “gang rape” di Tojo Una-Una yang juga menggemparkan pemberitaan. Korbannya masih berusia 13 tahun. Sedangkan jumlah pemerkosa mencapai 13 orang.
Bulan lalu, Pengadilan Negeri Buol juga baru saja menjatuhkan hukuman penjara 16 tahun, denda Rp1 miliar dengan subsider enam bulan kurungan, dan langkah kebiri kemiawi terhadap Baharudin Kasim. Terhukum merupakan pelaku kekerasan seksual kepada anak kandung, dan anak angkatnya.
Menimbang situasi ini, rasa-rasanya tak berlebihan bila menyebut Sulteng berada dalam situasi darurat kekerasan seksual.
pemerkosaan parigi moutong kasus kekerasan seksual kekerasan seksual persetubuhan sulawesi tengah perempuan anak