"Ini panggilan akrab dalam pergaulan di Lembah Palu. Istilah ini merujuk pada anak muda laki-laki. Sekarang ketika menyebut ‘RADJAL’, harapannya orang-orang makin tahu dengan sosok saya," ujar Rico Andi Tjatjo Djanggola ihwal pemilihan akronim namanya dalam sosialisasi jelang pemilihan umum legislatif 2024.
Rico memang tengah mempersiapkan diri untuk bertarung pada Pemilu 2024. Putra Gubernur Sulawesi Tengah (2011-2021), Longki Djanggola itu mengincar satu kursi di Gedung Dewan Kota Palu dari daerah pemilihan Palu Timur dan Mantikulore (Dapil I Kota Palu). Namanya telah tercatat dalam daftar bacaleg Partai Gerindra Kota Palu.
Pria berusia 38 tahun itu berusaha memperkenalkan “RADJAL” sebagai akronim namanya. Akun media sosialnya @RicoDjanggolaOfficial rajin menggunakan tagar #RADJAL serta #SobatRADJAL. Tagar terakhir merujuk pada tim pemenangan alias jejaring relawan dan pendukung Rico.
"Seperti politisi lainnya, saya juga butuh tim pemenangan. Saya juga mendapat dukungan dari keluarga dan teman-teman yang sedari kecil jadi teman bermain," ujar Rico via sambungan telepon kepada Tutura.Id, pada satu hari di pertengahan Juni 2023.
Rico memang sengaja memilih akronim bernuansa lokal agar mudah diingat. Ketua Karang Taruna Sulawesi Tengah itu juga menyebut media sosial sebagai elemen penting dalam komunikasi politik pada era kekinian.
Alhasil penggunaan media sosial mulai dilirik oleh para politisi. Bahkan bagi kepala daerah, menteri, hingga presiden, media sosial telah menjadi ujung tombak komunikasi.
"Saya memanfaatkan medsos untuk memperkenalkan diri. Bersosialisasi. Dan apa adanya saja. Akun medsos @ricodjanggolaofficial, saya pribadi yang kelola," kata tokoh pemuda yang disebut-sebut sebagai sosok di balik keberhasilan ajang basket, KFC DBL CAMP 2023 di Palu itu.
***
View this post on Instagram
Dari empat daerah pemilihan untuk DPRD Kota Palu, Palu Timur dan Mantikulore (Dapil I) merupakan dapil dengan pemilih tetap terbanyak dengan yakni 88.242 orang. Lebih dari 180 calon anggota legislatif bakal bertarung memperebutkan 11 kursi dari area yang kerap dilukiskan sebagai “Dapil Neraka" tersebut.
Julukan itu tak berlebihan. Selain Rico, dapil ini juga diisi oleh orang-orang muda potensial, seperti pengusaha sektor minyak dan gas, Ucu Susanto (Partai Demokrat). Ada pula nama Mohammad Anugrah Perdana (Partai NasDem), putra pertama Ahmad Ali–politisi teras Partai NasDem.
Belum lagi menyebut para petahana di DPRD Kota Palu yang juga kembali bertanding, misal Diah Tri Purwantini (Partai Gerindra), dan Irsan Satria (Partai Hanura).
Nama lain yang bakal berlaga di Dapil I ialah Anggun Apriciellia Savitri dari PDI Perjuangan. Anggun juga mencuri perhatian lewat tagline “Si Paling Anggun.” Pun di media sosial (Facebook dan Instagram), ia mulai memperkenalkan diri lewat akun @SiPalinggAnggun11.
“Nama ini murni ide saya sendiri. Pertimbangannya, supaya lebih mudah diingat dan diterima oleh anak muda. Apalagi dari banyaknya caleg yang maju, hanya saya yang punya nama Anggun. Sedangkan angka 11 merupakan nomor urut yang ditetapkan oleh PDI Perjuangan,” katanya.
Sekretaris Banteng Muda Indonesia (BMI) Sulteng itu menyebut bahwa medsos bisa menjadi corong strategis untuk berkomunikasi dengan konstituen. Penggunaannya juga harus dikombinasikan dengan alat peraga sosialisasi (APS) berupa baliho atau poster.
“Sebagai anak muda, saya mengikuti tren yang ada saat ini. Semua variabel untuk meningkatkan popularitas saya lakukan, termasuk berinteraksi langsung melalui media sosial,” ujar mantan pegawai di salah satu bank pelat merah itu.
Anggun pun sudah membentuk tim khusus yang mengelola medsos. “Saya juga pakai jasa konsultan politik. Kemudian ada tim pemenangan yang mengelola medsos. Ada juga yang bertugas memasang APS, dan bersama saya menjumpai konstituen. Itu demi menjangkau 13 kelurahan yang tersebar di Palu Timur dan Mantikulore,” katanya.
***
Seperti yang dilakukan oleh Rico dan Anggun, para politisi di Sulteng--khususnya di Kota Palu--memang melirik media sosial sebagai kanal sosialiasi. Lebih-lebih untuk politisi yang rentang usianya masih masuk kategori Gen Z dan Milenial.
Selain pakai istilah atau slogan unik untuk mencuri atensi. Ada pula yang bikin akun relawan dan pendukung di medsos. Nama akun-akun tersebut tak merujuk pada pribadi politisi, melainkan pada kelompok pendukungnya.
Sebagai misal, pada kompetisi politik menuju DPRD Kota Palu, ada nama-nama akun seperti @UcuSusantoSquad (Ucu Susanto, Partai Demokrat), @KeluargaMFL (Muhammad Farid Lawira, Partai NasDem), dan @MAP.brotherhood (Mohamad Anugerah Perdana, Partai NasDem).
Contoh lain terlihat pada kancah pertarungan menuju DPRD Provinsi Sulteng dari dapil Kota Palu. Pada arena ini, ada contoh akun seperti @teman_taufan (Mohammad Taufan, Partai Demokrat), dan @SahabatErickAgan (Erick Robert Agan, PDI Perjuangan).
Relawan memang bukanlah hal baru. Fenomena ini tumbuh bak jamur di musim hujan sejak Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2012. Pada waktu itu ada relawan-relawan pendukung Jokowi-Ahok, seperti JASMEV dan Relawan Jakarta Baru.
Di Sulteng, gerakan relawan politik tumbuh subur jelang Pilkada Sulteng 2015. Kala itu, duet Rusdy “Cudy” Mastura-Ihwan Datu Adam punya kelompok pendukung garis keras seperti Arus Bawah Sulteng dan Nasional Kerakyatan Rusdy Ihwan (NKRI-70).
Di sisi lain, ada pula jejaring relawan yang mendukung Longki Djanggola-Sudarto, yang kala itu terkenal pula dengan akronim Longki’s.
Pengamat komunikasi politik dari Universitas Tadulako (Untad), Achmad Herman menjelaskan bahwa relawan bisa digolongkan dalam kelompok kepentingan baru (interest group), yang cenderung tidak terwadahi dalam partai politik.
“Ruang psikologis yang tak bisa disentuh oleh struktur parpol ini kemudian dikelola oleh segelintir kandidat dengan memanfaatkan. Dengan gerakan relawan politik agar elektabilitasnya meningkat,” ujar Achmad.
Achmad juga mengamini bahwa aktivitas relawan juga banyak beraktivitas di media sosial. Merujuk riset Achmad, Efektifitas Media Sosial Sebagai Sarana Kampanye Dalam Pilkada di Sulawesi Tengah Tahun 2020, hal itu juga berjalan beriringan dengan pergeseran platform media dalam kampanye politik.
“Riset ini menunjukkan bahwa kompetisi pilkada sekarang bukan lagi kompetisi antarmedia mainstream (arus utama), melainkan kompetisi di dunia maya,” kata Achmad.
Meski demikian, Achmad mengingatkan bahwa media sosial punya dua sisi mata uang dalam kampanye politik.
“Penggunaan media sosial dianggap paling efektif dalam mengampanyekan pesan-pesan politik. Karena proses distribusi pesannya yang bisa mencakup wilayah yang luas dan murah biayanya. Namun tidak bisa dipungkiri produksi hoaks juga akan bertambah,” katanya.
Guna menghindari masalah negatif seperti hoaks, Achmad menyebut bahwa lembaga penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) perlu mengatur kampanye di media sosial. Misalnya, lewat pembatasan jumlah akun.
Ia pun mengingatkan agar kampanye menuju pesta demokrasi tak dikotori oleh pesan-pesan yang sarat politik identitas, atau bernuansa negatif atas suku, agama, ras, dan antargolongan di media sosial.
pemilu 2024 Rico Djanggola Anggun Apriciellia calon legislatif politik medsos media sosial