Pada satu magrib di hari Jumat, 28 September 2018, patahan Palu Koro bergerak kencang.
Gempa bermagnitudo 7,4 mengguncang Palu dan sekitarnya. Tsunami menerjang Teluk Palu. Pembuburan tanah alias likuefaksi terjadi di beberapa titik.
Orang-orang panik. Komunikasi terputus. Listrik padam. Palu dan sekitarnya mendadak menjadi kota mati.
Jumlah korban tewas yang pernah tersebut dalam satu berita Jakarta Post mencapai 4.340.
Jumlah orang hilang menyentuh angka 667 jiwa. Lebih dari sepuluh ribu orang juga mengalami luka-luka. Sedangkan rumah-rumah yang hancur lantaran bencana melebihi angka 70 ribu.
Petaka barangkali akan selalu membawa kenangan tentang tangis dan kehilangan. Memori-memori luka yang separuhnya juga menjelma jadi trauma mendalam. Suka tidak suka, kita hidup bersamanya.
Di sejumlah sudut Kota Palu, kenangan-kenangan itu juga masih berserakan. Ia menjadi puing-puing, bangunan roboh nan terabaikan, atau jalanan yang bergeser. Ia seolah jadi monumen tanpa nama atas luka dan petaka.
Di tempat lain, bangunan-bangunan baru bermunculan beriring label rekonstruksi pasca-bencana. Hunian tetap korban bencana, misalnya, jadi rumah baru bagi mereka yang bertahan dan belajar soal membiasakan diri hidup berdampingan dengan bencana.
Fotografer Tutura.Id, Moh. Rifky mencoba mendatangi ulang monumen tanpa nama yang menjadi saksi bisu bencana 28 September 2018. Ia juga berusaha melihat optimisme dengan menyinggahi area permukiman Hunian Tetap Duyu, yang sangkar baru korban bencana.