Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pernah memaparkan data tentang kekerasan seksual di lingkungan pendidikan antara 2015-2021.
Kasus terbanyak terjadi di perguruan tinggi atau universitas alias kampus. Ada 35 laporan kekerasan seksual di perguruan tinggi yang masuk ke Komnas Perempuan dalam periode tersebut.
Jumlah kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi itu turut melatari terbitnya Permendibuk Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.
Salah satu amanat peraturan tersebut ialah pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Di Universitas Tadulako, pembentukan satgas, yang sudah dimulai 22 September 2022, akhirnya rampung lewat seremoni pengesahan pada Kamis (17/11/2022).
Komposisi Satgas PPKS Untad terdiri dari enam mahasiswa, empat dosen, dan satu staf administrasi.
Ketua Satgas PPKS Untad, Nudiatulhuda Mangun (61), menjanjikan bahwa pihaknya akan tancap gas mengerjakan amanat Permendikbud Ristek 30/2021.
Kemudahan akses pelaporan, kata Nudiatulhuda, menjadi fokus awal Satgas PPKS Untad. “Minggu depan kami akan susun standar operasional (SOP), hotline, dan prosedur pelayanan, hingga sanksi yang akan diberikan, serta program kerja satgas ini,” ucap dosen Fakultas Ekonomi tersebut, saat diwawancarai Tutura.Id, Jumat (18/11/2022).
Fenomena gunung es
Selama ini, belum ada statistik kekerasan seksual di Untad. Namun, perlu diingat bahwa kekerasan seksual sering dilukiskan sebagai fenomena gunung es. Apa yang tampak di permukaan, tidak menggambarkan jumlah kasus di level bawah yang lebih besar.
Sepekan terakhir, Untad juga dihebohkan dengan kasus kekerasan seksual di Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Pada kasus ini, seorang mahasiswa baru (17 tahun) dilecehkan oleh seorang staf pelayanan administrasi. Kasus ini tengah ditangani Polres Palu. Terduga pelaku, telah dinonaktifkan.
Nudiatulhuda bersepakat dengan istilah fenomena gunung es dalam kasus kekerasan seksual. Ia menyebut intimidasi dan relasi kuasa antara korban serta pelaku bisa menimbulkan keengganan untuk melapor.
“Misalnya mahasiswa yang jadi korban pasti takut sama dosennya kan. Tapi kami tidak akan terkontaminasi dengan kekuasaan,” katanya.
Selama ini, menurut Nudiatulhuda, penanganan kasus juga kerap mengabaikan perspektif korban. “Kita juga perlu memikirkan dampak ke depan bagi korban sehingga perlu berhati-hati dalam memutuskan. Kami tidak pandang bulu, kita akan bekerja secara profesional sesuai dengan aturan yang berlaku,” ujarnya.
Bila melihat komposisi di tim Satgas PPKS Untad, Nudiatulhuda optimistis. Ia mengatakan bahwa beberapa mahasiswa yang jadi anggota Satgas PPKS Untad sudah punya pengalaman mendampingi korban kekerasan seksual sebagai aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Adapun Nudiatulhuda bukan orang baru di isu kekerasan seksual. Ia pernah 14 tahun tergabung dalam Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A); dengan posisi terakhir sebagai ketua divisi pendampingan korban.
Saat ini, Satgas PPKS Untad masih dalam penyusunan program kerja. Mereka juga akan melakukan sosialisasi tentang pencegahan dan penganan kekerasan seksual ke tiap fakultas. Bahkan mahasiswa baru angkatan 2022 punya kewajiban ikut pelatihan pencegahan dan penganan kekerasan seksual.
Nudiatulhuda pun menyebut bahwa Satgas PPKS Untad siap menerima laporan.
“Kami dapat menerima laporan kasus kekerasan seksual yang terjadi di dalam kampus maupun di luar kampus, yang pelaku dan korbannya merupakan warga kampus, baik yang baru terjadi maupun yang sudah lama selagi bukti tersedia,” katanya.
kekerasan seksual universitas Tadulako Untad Untad Palu Kasus kekerasan seksual kekerasan seksual untad nudiatulhuda mangun