Lindu dahsyat berikut tsunami dan likuefaksi yang mengirinya di Palu, Sigi, dan Donggala (Pasigala) pada 28 September 2018 membuat banyak warga kembali belajar banyak hal.
Belajar tentang literasi bencana pada satu sisi, sementara yang lain menopang dengan mitigasi yang salah satunya membuat dan memperkuat benteng alami.
Sejarah telah membuktikan, demikian pula sejumlah fakta, betapa tembok paling kokoh untuk meredam amuk tsunami adalah menanami kawasan pesisir dengan mangrove.
Terlebih posisi negara kita yang rentan terhadap gempa karena dilalui oleh jalur pertemuan tiga lempeng tektonik, yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik.
Indonesia juga masuk dalam gugusan Ring of Fire alias Cincin Api Pasifik sehingga rawan bencana gunung meletus. Antara gempa dahsyat dan letusan gunung hebat biasanya memicu terbentuknya gelombang raksasa yang bergulung cepat dari laut menuju daratan di depannya.
Kala bencana nahas terjadi empat tahun silam, Kelurahan Kabonga Besar, Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala, yang ditanami mangrove tidak mengalami kerusakan berarti. Berbeda jauh dengan wilayah-wilayah permukiman lainnya yang langsung porak-poranda.
Pentingnya menanam mangrove di sepanjang pesisir Teluk Palu menjadi fokus dalam diskusi kelompok terpumpun yang diselenggarakan Publicness Forum, Magister Manajemen dan Kebijakan Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada, Selasa (1/11/2022) siang.
Diskusi bertajuk “Gerakan Penguatan Benteng Pertahanan Pesisir oleh Masyarakat - Konservasi Mangroves di Daerah Pesisir Pantai Kota Palu” berlangsung secara daring. Muhammad Alfian, salah satu mahasiswa S2 di UGM asal Kota Palu, duduk menjadi pemandu.
Sebagai pembuka, Alfian berbagi cerita bahwa sebagian pesisir Kota Palu rawan terhadap tsunami. Oleh karena itu, keberadaan hutan mangrove bisa menjadi mitigasi yang efektif mencegah jatuhnya banyak korban.
Dalam buku Tsunami yang ditulis oleh Subandono Diposaptono dan Ir. Budiman disebutkan bahwa wilayah pesisir Indonesia memang rawan tsunami, mulai dari barat Pulau Sumatera, selatan Pulau Jawa, selatan Pulau Bali, selatan Sumbawa, selatan dan utara Flores, pulau-pulau di Maluku Utara, sebagian di selatan Papua, hingga utara Pulau Sulawesi.
Muhammad Najib, salah satu narasumber dari Mangrove Rangers yang berbasis di Kota Palu, mengungkap kerja-kerja menanam dan merawat mangrove sudah mereka lakukan sejak April 2018 sebelum tsunami menghantam.
Ketebalan, kerapatan, dan diameter batang mangrove yang belum memadai karena masih berusia muda bikin usaha mereka turut lenyap tak berbekas.
Selepas tsunami, gerakan pemuda peduli mangrove ini perlahan memulai kembali apa yang sebelumnya pernah mereka rintis.
Jika sebelumnya tujuan menanam mangrove untuk meneliti pengaruh sampah terhadap tumbuh kembang mangrove, seiring waktu niat-niat positif yang lain bermunculan. Mereka kemudian menelusuri manfaat mangrove terhadap lingkungan.
Mangrove memang punya banyak manfaat. Bukan hanya bisa meredam dan memecah gulungan ombak raksasa yang menerjang dari laut, tapi juga bisa mencegah abrasi, menyimpan karbon jauh lebih besar dibanding hutan tropis, jadi habitat keragaman hayati, sumber pangan dan ekonomi, bahkan menjadi ekowisata seperti Wisata Hutan Mangrove Gonenggatidi Kelurahan Kabonga, Donggala.
Dengan berbagai manfaat yang dimilikinya, aktivitas menanam mangrove yang dilakukan Mangrove Rangers tak juga lantas berlangsung mulus tanpa tantangan.
Secara umum, disebutkan Najib, tantangan berasal dari faktor alam dan manusia. Keberadaan tanggul Teluk Palu, misalnya, menjadikan sebagian pesisir teluk kini tidak lagi bisa ditanami mangrove.
Lalu, usai bencana tsunami, tepian pantai di beberapa titik berubah. Kondisinya yang dalam membuat bibit mangrove sukar ditanam. Atau, saat Sungai Palu banjir, beberapa kayu berukuran besar hanyut dan terdampar di wilayah tanam.
Kesadaran warga tentang pentingnya merawat mangrove juga jadi tantangan lain. Misal, bibit mangrove yang mereka tanam saat air laut sedang surut, tak nampak lagi saat air berganti pasang. Aktivitas warga yang memancing dan mencari kepiting bikin beberapa mangrove kena tebas atau terinjak.
Hambatan lainnya terbilang klasik namun krusial; anggaran. Ketiadaan anggaran bikin mereka sulit untuk memasifkan program menanam mangrove. Bentuk Mangrove Rangers yang bukan komunitas juga turut membatasi jumlah mangrove yang ditanam. Cara mereka bersiasat adalah dengan memanfaatkan momen-momen tertentu sehingga bisa mengajak dinas-dinas terkait.
Ketika hendak menanam, Mangrove Rangers terlebih dahulu melakukan survei untuk menentukan lokasi tanam. Tak lupa mereka menyampaikan kepada warga yang tinggal di lokasi tanam untuk menjaga dan merawat tumbuh kembang mangrove demi kebaikan bersama.
Najib sungguh berharap terbit peraturan yang menetapkan area tanaman mangrove sebagai kawasan konservasi mangrove. Agar mereka tak perlu lagi khawatir lokasi yang dipilih untuk menanam mangrove akhirnya beralih fungsi lantaran belum adanya payung hukum pada lahan tersebut.
Harapan lain kepada pemerintah adalah hendaknya gerakan menanam diikuti dengan program pemeliharaan. Sebab tanpa upaya pemeliharaan, bukan mustahil usaha menanam ribuan bibit mangrove berakhir sia-sia. Untuk itu penting bagi pemerintah menyediakan tempat bernaung semacam pos pantau untuk mangrove.