Pertunjukan musik "Esom Lite New Chapter"yang menghadirkan band-band asal Palu sudah menciptakan hingar-bingar dan membuat para penonton bisa merayakan malam akhir pekan dengan bahagia.
Ada empat band lokal Palu yang tampil di Star Up Cafe & Resto, pada Jumat (21/7/23) malam. Mereka adalah Blurum, Prince Of Mercy, Season Candy dan CMGN. Kebanyakan penonton yang datang berasal dari kalangan anak muda. Hujan deras bukan penghalang berarti. Antusiasme mereka tiada berkurang.
Satu hal yang menarik dari penyelenggaraan "ESOM Lite" kali ini adalah hadirnya sebuah meja tempat memajang puluhan eksemplar kertas berukuran mini.
Ketika didekati dan dilihat secara saksama, lembaran-lembaran kertas ini mirip buletin atau majalah mini. Isinya berupa gambar, sketsa, dan tulisan. Ketiga elemen ini disesuaikan dengan tema atau topik tertentu.
Adjust (33) selaku Manager Program Esom Lite menerangkan, lembaran-lembaran kertas tersebut adalah zine. Secara fisik serupa dengan buletin atau majalah mini, namun berbeda dalam kegunaan.
Zine merupakan salah satu bentuk media cetak terbatas dan bersifat eksklusif. Berbeda dengan buletin atau majalah yang ditujukan oleh pembaca secara luas, zine dicetak dan disebarkan hanya untuk beberapa orang atau sekelompok orang dengan pandangan dan perhatian yang sama.
Olehnya, zine digunakan oleh komunitas untuk berbagi ide dan pandangan. Isi zine juga disesuaikan dengan minat komunitas itu. Maka tak heran isinya bisa sangat bertalian dengan apa yang diyakini oleh para pembacanya. Sebaliknya, isi zine bisa membuat orang-orang yang punya ideologi berbeda jadi naik pitam.
Adjust menerangkan bahwa pameran zine bertujuan memperkenalkan lagi medium publikasi tersebut kepada generasi muda Kota Palu. Bahwa dulu kultur membuat dan saling berbagi zine pernah “hidup” dan populer di Kota Palu.
"Zine ini masih asing di Palu. Mungkin hanya beberapa saja yang tau. Biar kultur zine ada dan ramai lagi, makanya kami tampilkan di sini," beber Adjust saat ditemui di lokasi acara.
Menurutnya, zine menjadi sarana menumpahkan ide di kepala seseorang dengan bebas dan ekspresif. Tidak ada aturan dan penyuntingan (sensor) laiknya dalam media cetak resmi. Olehnya, tak jarang jika zine digunakan sebagai media perlawanan, protes, kritik-kritik sosial, dan membicarakan budaya populer yang dianggap tabu.
"Zine itu bebas. Biasanya kalau konten di medsos terbatas. Cenderung eksplisit pasti banyak yang tidak bisa ditayangkan. Nah, alternatifnya di zine. Siapa pun bisa bikin, siapa pun bisa baca," tambahnya.
Sejumlah zine yang ditampilkan “Zine Market” ini berasal dari berbagai komunitas kolektif, produksi pribadi (perorangan), dan ada yang dibuat khusus untuk ditampilkan di "Esom Lite". Sebagiannya dibagikan secara gratis ke pengunjung dan ada pula yang dijual.
Kami sempat membaca beberapa zine. Salah satunya Tuai, Tumbuh Bersemi. Isinya tentang ajakan menjaga lingkungan dengan cara menanam tumbuhan. Ilustrasi yang ditampilkan terasa estetik.
Ada juga salah satu edisi Primitif Zine rilisan 2012. Isu utama edisi tersebut memuat gambar ilustrasi tampilan ragam anak skena, topik yang belakangan ramai kembali jadi perbincangan.
Selain Adjust yang mengumpulkan arsip-arsip zine koleksinya untuk dipamerkan dalam acara ini, turut terlibat pula Naldi (33), salah satu ilustrastor lokal, membuat zine yang khusus untuk ditampilkan di "ESOM Lite".
Naldi mengaku telah mengenal zine sejak tahun 2019 dan kerap menggunakannya sebagai media untuk mengarsipkan karya. "Meskipun peminatnya di Kota Palu masih belum banyak, tapi ternyata penonton di sini suka juga dengan hal-hal yang ada di dalam zine," tutur Naldi.
Kemunculan zine Uwentira di komunitas Palu Underground
Untuk melongok lebih ke belakang ihwal periode awal kemunculan zine di kancah musik arus pinggir Kota Palu, kami menemui Irfan Datuiding sang penggagas Uwentira, zine yang sempat terbit dan menyebar di kalangan Palu Underground (Plug) awal tahun 2000-an. Formatnya fotokopian berisi beberapa halaman. Kertasnya ukuran A4.
Saat itu, tidak banyak media cetak alternatif di Kota Palu. Hanya ada media arus utama seperti koran lokal dan majalah nasional yang diproduksi secara ketat dengan pakem jurnalistik dan melalui penyuntingan berlapis.
Isu dan topik yang diangkat dalam media arus utama lokal juga kurang menyasar tentang musik dan budaya pop lokal anak muda Kota Palu. Oleh karena itu, vokalis Viata Ritual yang lebih familier dengan sapaan Iwan ini memilih zine sebagai media alternatif.
"Tidak ada media lokal yang mempublikasikan bandnya teman-teman di Palu. Saat itu band-band mulai berkarya utamanya band underground yg kurang terekspos. Padahal gigs lokal kala itu cukup ramai dengan band lokal. Jadi kami berinisiatif untuk membuat zine," terang Iwan via WhatsApp, Sabtu (22/7).
Melalui zine tersebut, Iwan dkk. menyebarkan berbagai info mengenai geliat seputar dunia bawah tanah di Palu. Terbitan zine Uwentira biasanya berisi profil band-band asal Palu dan kota lain, resensi kaset demo, info acara alias gigs, hingga tulisan opini.
"Jun (gitaris Viata Ritual, red.) sama Iwan Ziegha urusan bikin desain sampul dan atur layout. Saya dengan Ikbal, vokalisnya Sawerigading, biasanya tulis review kaset demo dan opini. Papa Al juga ikutan menulis di kolom opini," tambah Iwan saat kami hubungi juga lewat aplikasi berkirim pesan, Minggu (23/7).
Untuk lebih meluaskan pertukaran informasi, Iwan kerap melakukan korespondensi dengan sejumlah komunitas underground di kota-kota lain yang sama memproduksi zine. Sebut misal dengan Nino Aspiranta, vokalis band death metal Trauma asal Jakarta, yang militan memproduksi Morbid Noise. Alhasil terjadilah pertukaran zine sesama komunitas penggemar musik bawah tanah dari berbagai daerah.
Lantaran kesibukan masing-masing orang yang membidaninya, napas zine Uwentira yang sejak awal tak punya jadwal terbit berkala itu harus berhenti setelah perilisan edisi kedua. "Soalnya saya waktu itu pindah kerja di Banggai Laut. Tidak ada sudah yang urus zine," tutup Iwan.
zine subkultur pameran zine Esom Lite musik Kota Palu Band Kota Palu Zine Uwentira komunitas Palu Underground komunitas