Untuk kali kesekian, warga Batui, Kabupatan Banggai, berjuang demi hak atas kepemilikan tanah. Terbaru, mereka yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Batui (ARB) melakukan aksi unjuk rasa di sejumlah instansi pemerintah seperti Ombudsman, ATR/BPN, dan Polda Sulteng, Senin (6/3/2023) pagi.
Warga Batui mengaku telah berkonflik dengan PT Banggai Sentral Shrimp (BSS) sejak 1988. Perusahaan tersebut lantas divonis pailit oleh Pengadilan Niaga Surabaya pada tahun 2011. Setelah itu kurator menjembatani proses penjualan aset PT BSS, namun tak menemui hasil.
Setahun berselang warga mempercayakan Djabar Dahari untuk menggugat status hak guna usaha (HGU) PT BSS ke Pengadilan Negeri (PN) Luwuk.
Dalam amar putusan bernomor: 44/pdt.G/2012/PN.Lwk, diputuskan bahwa sertifikat dengan nomor: 04/HGU/BPN/B51/94 tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum. Sertifikat HGU itu dikeluarkan oleh Pemerintah RI melalui ATR/BPN Sulteng dan Kabupaten Banggai yang jadi tergugat pertama dalam persidangan.
Namun belakangan, sebuah perusahaan yakni PT Matra Arona Banggai (MAB) beroperasi di areal eks tambak udang itu. Menurut Aulia Hakim, koordinator lapangan aksi, masuknya PT MAB bikin warga kebingungan.
“Tanah seluas 164,2 hektare yang jadi objek sengketa ini telah dikelola oleh rakyat sejak 1970-an oleh leluhur. Kemudian berkonflik dengan PT BSS yang pada akhirnya dikembalikan kepada warga setempat. Kenapa tiba–tiba PT MAB melakukan aktivitas di lokasi yang dikelola itu? Padahal warga punya surat keterangan penguasaan tanah (SKPT) dari Pemerintah Kabupaten Banggai yang dikeluarkan sejak 2019,” ujar Aulia kepada Tutura.Id.
Salah seorang warga Batui, Herman Lamudu, menambahkan bahwa mereka juga telah menjalankan kewajiban sebagaimana seharusnya atas tanah itu. “Pasca SKPT diberikan, warga sudah membayar pajak bumi dan bangunan (PBB) di atas lahan itu,” ungkap Herman.
Mereka juga menyayangkan sikap PT MAB yang mengkriminalisasi enam orang warga. Padahal mereka beraktivitas di tanah yang sah secara hukum, baik dari keputusan pengadilan maupun legalitas dari pemerintah.
“Selain membingungkan, hal ini menimbulkan kerancuan hukum yang jadi pemicu konflik ini,” tambah Sarpin Umbel, seorang warga lain yang ikut melakukan unjuk rasa.
Dalam rapat dengar pendapat (RDP) antara DPRD Banggai dan ATR/BPN Banggai yang berlangsung bulan lalu, instansi pertanahan ini bersikukuh pihaknya tidak pernah menerbitkan sertifikat HGU bernomor: 04/HGU/BPN/B51/94. “Biarpun ditembak tetap kami nyatakan bahwa kami tidak pernah mengeluarkan sertifikat itu,” tegas BPN.
Iman Soedrajat, Kepala Bidang Pengendalian dan Penanganan Sengketa ATR/BPN Sulteng, memperkuat pernyataan ATR/BPN Banggai.
“Kami hanya menerbitkan sertifikat HGU bila status lahan itu telah clear and clean. Bila melihat hasil amar putusan ini, maka lahan yang digugat dan boleh digunakan hanyalah empat bidang tanah atas nama Djabar Dahari. Bila warga lain ingin mendapatkan hak atas tanah, maka harus mengajukan gugatan ke pengadilan. Sama seperti yang dilakukan Djabar Dahari pada tahun 2012 silam,” kata Iman dalam pertemuan bersama warga Batui (6/3).
Ihwal polemik agraria yang dialamatkan kepada perusahaannya, Direktur Utama PT MAB. Soetono bilang bahwa ada kejanggalan dalam penerbitan SKPT di lahan eks tambang udang itu.
“Sejak kami membeli aset PT BSS, objek sengketa itu tidak pernah ada. Bahkan dari investigasi kami, ada temuan bahwa SKPT yang dikeluarkan tidak pernah teregister dalam Pemerintah Kelurahan Sisipan, Kecamatan Batui,” ujar Soetono kepada wartawan (2/11/2022).
Asa mencari keadilan atas kepemilikan tanah
Herman dan Sarpin menilai hukum adalah panglima tertinggi dalam mencari keadilan. Dalam konteks ini adalah UUD 1945 pasal 33, UU Pokok Agraria, dan putusan PN Luwuk. Sehingga tidak ada tafsir lain, seperti tuduhan yang dialamatkan kepada mereka yang berakhir pada kriminalisasi.
“Bukan sekali ini kami melawan. Saat PT BSS masih beroperasi, tahun 2012, orang tua kami yang dipimpin oleh Djabar Dahari telah melakukan perlawanan. Kami dimenangkan. Berdasarkan keputusan itu kami kembali mengelola lahan yang diambil oleh PT BSS. Bahkan kami sempat dibantu Kementerian Pertanian,” jelas Herman.
Tujuh tahun berselang setelah putusan PN Luwuk, Pemerintah Banggai melalui Pemerintah Kelurahan Sisipan menerbitkan sejumlah SKPT bagi warga sebagai legalitas penguasaan tanah.
Namun yang terjadi kemudian, PT MAB muncul dan mengklaim sebagai pemilik tanah yang selama ini jadi objek sengketa antara PT BSS dengan warga Batui.
Beberapa warga sempat mengalami intimidasi maupun pengusiran paksa dari pihak perusahaan dan oknum aparat penegak hukum. “Enam orang, salah satunya saya, dikriminalisasi karena dugaan penyerobotan lahan dan pemalsuan dokumen,” tutur Sarpin.
Sarpin bilang, sebelum ada upaya hukum, warga Batui lebih dulu melakukan upaya persuasif dengan PT MAB. “Kami beberapa kali dialog dengan Pak Soetono agar warga diberikan lahan sekitar 20 persen untuk dikelola dengan berbagai model, seperti petani plasma. Tapi, sayangnya beliau bergeming,” katanya.
Jika segala ikhtiar yang mereka tempuh secara damai tidak memberikan hasil, apa boleh bikin, Sarpin dkk. akan tetap terus berjuang melawan. Tak peduli jika kemudian harus mendekam di balik jeruji besi.
“Kalau misalnya ada kesepakatan yang adil (hak atas kepemilikan tanah), tapi kalau tidak? Konflik akan terus berlanjut,” pungkas Sarpin.
Dalam pertemuannya dengan Aliansi Rakyat Batui, pihak ATR/BPN Sulteng berupaya untuk mendinamiskan polemik ini lewat penelitian terhadap objek perkara, meninjau langsung objek konflik agraria, dan memediasi warga bersama perusahaan.
konflik agraria konflik lahan Kecamatan Batui Banggai tambak udang PT MAB PT BSS Badan Pertanahan Nasional Pengadilan Negeri Luwuk Hak Guna Usaha surat keterangan penguasaan tanah Ombudsman